PUASA SEBAGAI TEKNOLOGI

(Catatan Majelis Ilmu Maiyah ReLegi Malang, Selasa, 4 April 2023)

Selepas senja pada hari Selasa, 4 April 2023 M, hari ke-13 Ramadlan 1444 H, rintik hujan mulai turun membersamai perjalanan saya menuju Rumah Maiyah Al-Manhal Malang. Malam itu, bertepatan hari Selasa malam Rebo Legi, yang merupakan jadwal Forum Maiyah Relegi Malang biasa menyelenggarakan rutinan. Namun, setiba di Rumah Maiyah Al-Manhal, tak seperti biasanya disambut suasana yang ramai, kali ini masih terlihat lengang. Lantas, saya menuju ndalem untuk bertemu Bu Udhiyah (istri Al-Maghfurlah Ustadz Fuad Effendy) dan beberapa keluarganya.

Sekitar pukul 21.00 WIB, saya menerima pesan dari dr. Christyaji, yang mengabari kalau beliau sedang di Rumah Maiyah Al-Manhal. Lebih dulu, beliau juga ingin berkunjung bertemu Bu Udhiyah, namun lantaran beberapa hal akhirnya menuju ke Rumah Maiyah Al-Manhal, begitupun saya segera menyusul setelah itu.

Keterbukaan Informasi dan ‘Memotong Generasi’

Dari pintu masuk depan Rumah Al-Manhal, terlihat sedang berlangsung ngaji rutin metode Manhal di sisi Selatan, sedangkan di sudut lain terlihat Mbah Dil dan dr. Chris sedang berbincang-bincang. Sedikit yang saya tangkap dari perbincangan Mbah Dil bersama dr. Chris adalah membahas perkembangan teknologi yang menyebabkan informasi semakin terbuka. Sehingga, dengan adanya keterbukaan informasi, ruang kebohongan akan semakin sempit dan ruang kejujuran tampak semakin menemukan jalannya.

Tak hanya itu, dr. Chris juga menyampaikan pandangannya terhadap pendidikan saat ini. Menurutnya, pendekatan yang bisa digunakan untuk kondisi saat ini adalah memperbaiki mindset terlebih dahulu dan berani ‘memotong generasi’, setidaknya dalam hal berpikir. Intinya, bahwa wujud dari potong generasi tersebut adalah generasi tua mulai berani memberi kepercayaan kepada yang muda. Sebagai contoh, sedikit cerita ketika dr. Chris meminta tolong kepada anak-anak muda (mahasiswa) untuk merawat Ustadz Fuad dan merawat Ibu dr. Chris ketika di ICU.

Esensi minta tolong di sini adalah keberanian generasi tua untuk memberi kepercayaan kepada yang muda-muda, terlepas faktanya sudah mendapat bantuan dari berbagai pihak lain. Maka demikianlah, yang paling menakjubkan adalah teman-teman yang diberi kepercayaan itu membalas dengan dedikasinya. Hal itu insyaAllah menyenangkan Ustadz Fuad dan Ibu dr. Chris karena banyak yang mengantar ketika di akhir hayatnya.

Puasa Adalah Teknologi

Setelah itu, pada saat hampir bersamaan, ngaji rutin metode Manhal usai dan disusul Mbah Dil mohon diri lebih dulu. Spontan dr. Chris, Mas Azam, Mas Novan, Mas Awan, Mas Maul, dan saya duduk melingkar melanjutkan obrolan tanpa tema dan tepi. Berawal dari cerita Mas Maul yang terlambat buka puasa karena ketiduran. Kemudian, dr. Chris mengaitkan dengan tidak adanya referensi yang meyakinkan bahwa manusia itu harus makan tiga kali sehari.

Menilik ekologinya, makhluk hidup dimulai dari air, kemudian menjauh dari air (darat) dan yang paling puncak adalah manusia itu. Kalau melihat evolusi makhluk hidup, makanan dan pola makan makhluk hidup seiring waktu terus mengalami perubahan, termasuk pola dasar yaitu tidur. Sementara itu, makhluk hidup darat memiliki kemampuan bisa makan hanya beberapa hari sekali. Misalnya, singa bisa tiga hari tidak makan, ular bisa 15 hari tidak makan. Sedangkan manusia, secara fisik adalah fisik hewan, artinya tanpa makan tiga kali sehari pun sebenarnya manusia bisa bertahan hidup. Oleh karena itu, puasa sebenarnya sebuah teknologi untuk mengingatkan kembali pada kemampuan tubuh manusia itu sendiri.

Disambung oleh Mas Novan yang mengaitkan ekologi makhluk hidup dengan kisah Dewa Wisnu ketika menjelma menjadi ikan dan kura-kura guna menyelamatkan dunia dan menegakkan kebenaran. Disebutkan dalam beberapa sumber bahwa Dewa Wisnu berulang kali bereinkarnasi. Pertama adalah perwujudan Dewa Wisnu menjadi ikan maha besar, lalu bereinkarnasi menjadi sang kura-kura, kemudian juga menjadi sang babi hutan, dst.

Kembali Menata Pikiran

Lebih jauh, dr. Chris bercerita sisi kedokteran, “Coba kalau semua dokter di Indonesia berpikir bagaimana cara kesehatan masyarakat terjamin, dengan tujuan menyejahterakan masyarakat, masalah-masalah rumit menjadi sederhana.” Ini serupa dengan selama kita solid dan kompak, meskipun pemangku kebijakan atau lainnya berubah tidak menjadi masalah. Representasi masalah kita saat ini, begitu kita punya resiliensi, kita akan selalu di-trigger terus supaya terbentur di wilayah horisontal.

Mas Novan menambahkan dengan mengatakan bahwa apa yang disampaikan Mbah Nun tentang aktivasi ruh ada tiga kesimpulan, yakni makanlah bila lapar, mengurangi tidur, dan hati-hati kalau bicara. Maksudnya, kalau urusan fisik, tubuh inginnya malas-malasan, makan dan tidur terus, tapi ruh sebaliknya. “Kalau dalam hal bicara, ketika diam menjadi sombong bagi orang lain, maka berbicaralah, tetapi jika bicara menyakiti seseorang maka diamlah,” sambung Mas Novan.

Tumbuh Bersama, Bersama Tumbuh

Selanjutnya, menengok tantangan zaman ini, di mana masyarakat selalu dibentur-benturkan dan terus-menerus diprovokasi. Semestinya untuk menjawab kondisi tersebut, minimal kita berangkat dari memperbaiki mindset dan punya target waktu. Memperbaiki mindset dimulai dengan menyampaikan fokus dulu. Kita juga perlu saling menjaga untuk tidak reaktif. Kita kuat. Yang membuat lemah adalah ketika kita reaktif. Pendek kata, itu membuka pertahanan kita sendiri.

Selama ini kita telah dilatih dalam Sinau-Sinau Bareng untuk siap menghadapi situasi saat ini. Di Maiyah, kita telah teredukasi untuk terbuka dan jujur. Situasi seperti apapun diupayakan tidak akan memengaruhi karakter kita. Kita dilatih untuk meskipun beda pola pergerakan, pola tindakan (it is oke, gak papa, itu alamiah) harus berusaha untuk tetap satu dalam berpikir, satu dalam prinsip dan tujuan.

Kalau itu bisa berjalan serta semua orang didorong untuk berani mengoptimalkan bidangnya masing-masing, dengan keyakinan nanti kita bisa ketemu pada satu titik tertentu, tidak akan ada yang dirugikan dan tidak akan ada yang jatuh, kita akan tumbuh bersama. Tinggal bagaimana mengelolanya, bagaimana membangun kesolidan dan mengatur langkah pergerakan untuk saling bersinergi.

Perumpamaan pergerakan itu seperti kereta yang tidak pernah bertemu, tapi sama-sama saling maju. Kita menjadi keretanya, yang penting kita menyamakan tujuan,  tujuannya ke mana, paling enak dan ujung ya ke Cahaya Sejati, ke Tuhan dengan versi masing-masing.

Menjelang pukul 24.00 waktu bagian Malang, obrolan dipungkasi. Meskipun tanpa tema saya merasa obrolan malam itu sebagaimana atmosfer pada rutinan Relegi edisi-edisi sebelumnya. Spektrum obrolan malam itu dapat lebih diperluas oleh masing-masing yang hadir, sebagai penggali juga penikmat ilmu-ilmu Maiyah untuk senantiasa membangun laku hidup yang benar, baik, dan indah.

Malang, 5 April 2023

Lihat juga

Back to top button