SELEMBUT KEMATIAN DALAM ATAY BINA’NA’ 4011

Teko perak berleher angsa berdiri di atas meja kecil. Tangan ini tidak berani menyentuhnya, apalagi kemudian menggosoknya. Bukan takut akan ada jin Aladdin keluar dari sana, melainkan karena teko itu panas.

Gelas kecil diletakkan Sidi Nour di samping teko. Sambil melapisi tangannya dengan kain kecil, ia memegang gagang teko. Lalu menempelkan mulut teko ke gelas, menuangkannya sedikit sambil perlahan mengangkatnya. Semakin lama ia mengangkat teko itu agak tinggi. 

Hati ini khawatir air panas kemerahan itu tumpah dan nyiprat ke mana-mana. Tetapi Sidi Nour menuangkannya dari jarak yang tinggi dengan sangat meyakinkan. Air panas yang meluncur ke gelas kecil dari ketinggian hampir setengah meter ini menghasilkan buih pada permukaan gelas. Seketika menjelang penuh, ia menghentikan tuangannya.

Ini bukan Sidi Nour. Foto oleh Kathrine Sund-Henriksen — Wikipedia.

“Silakan diminum,” ujarnya. Uap panas membumbung tipis di atas gelas. Aromanya segar. Perlahan saya menyeruput. Hmm, lidah tidak terkejut dengan panasnya. Sejenak mencecap dan mengenali rasanya. Super manis dipadu kuatnya daun mint menutupi pahitnya teh panas. 

“Ini Atay Bina’na’,” tambahnya. Saya seruput dua hingga tiga kali lagi sambil menyelami kenikmatannya.

Lihat juga

Sidi Nour sedang tidak melakukan atraksi. Itu adalah cara normal menuang teh di Maroko. Semakin tinggi tuangannya, tandanya sang tamu semakin terhormat. Kadar tinggi rendahnya tuangan menandakan seberapa penting seorang tamu itu. Saya lalu membayangkan bila tamunya Raja Maroko, setinggi apa ia akan menuangkan teh itu.

Selain sebagai bentuk etika tuan rumah kepada tamu, katanya ada tiga alasan teknis ilmiah mengapa teh harus dituang dari ketinggian tertentu.

CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=27269164
Ini juga bukan Sidi Nour. Foto oleh Arnaud 25 — Wikipedia.

Pertama, untuk menghasilkan buih. Kalau Anda pernah memperhatikan, ini serupa dengan metode yang dilakukan penjaja teh tarik di kedai-kedai Aceh atau Malaysia. Mencampur teh panas dan susu dilakukan dengan cara saling menuang ke cangkir besar sambil ditarik setinggi mungkin beberapa kali. Sehingga teh susu yang tersuguh akan berbuih. 

Sementara dalam tradisi Maroko, buih menandakan proses peracikan teh telah menggunakan teh segar dan menghasilkan minuman yang fresh.

Kedua, saat dituang, teh akan berpadu dengan oksigen di udara. Proses ini menggantikan kadar oksigen yang hilang saat perebusan air. Juga dipercaya akan membantu proses pencernaan.

Ketiga, untuk mengurangi panas. Karena itulah waktu saya menyeruput teh suguhan Sidi Nour, bibir dan lidah tidak menjerit kesakitan.

Teh sangat mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Maroko. Ia menubuh dalam tradisi dibandingkan kopi. Sejak pagi bangun tidur sampai malam menjelang tidur lagi, teh selalu menemani. Bisa sebelum makan, setelah makan, atau sambil ngemil kue dan biskuit. 

Namun yang lebih penting dari itu semua, teh panas adalah etika “wajib” dalam keramahan orang Maroko kepada tamu, kolega, teman, atau pelanggan. Ini agak berbeda dengan kebudayaan di tanah air ketika teh hukumnya mungkin cukup “sunnah”. Seperti bila ada tamu yang datang menemui Mbah Nun atau staf Progress di Kadipiro, default yang akan dilakukan Mas Agus atau Mas Awik adalah membuatkan teh panas, meskipun kadang juga kopi. Terlepas dari siapapun tamunya, entah itu panitia pengundang, pak dukuh, ketua RT/RW, sahabat, ataupun pembesar-pembesar negara.

Maka inilah keramahan Sidi Nour kepada saya. Harus dia yang menyiapkan dan menyuguhkannya. Karena biasanya, tersuguhnya Atay Bina’na’ ini tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga. Ia mewarisi tradisi itu dari ayahnya dan kelak “beban” itu juga akan diemban anak laki-lakinya. Ini bukan berarti perempuan tak mengambil peran itu. Dalam keseharian di rumah tangga, perempuan juga sering melakoninya.

Foto oleh Andy Dincher — Wikipedia.

Keramahan ini juga hadir di toko-toko apapun, tanpa harus berstatus kedai makanan atau minuman. Para pedagang tak jarang menyapa satu dua orang lalu mengundangnya menghampiri kios dan menawari segelas kecil teh panas. Orang yang diundang tidak bisa mengelak karena penolakan bisa berarti bentuk ketidaksopanan. Menyeruput teh di kios itu cukup untuk menemani ngobrol sejenak tanpa harus membeli barang dagangannya. Teh adalah perekat silaturahmi.

Sering bisa djumpai kala melintasi gang-gang kecil ‘Kota Tua’ Marrakesh, hampir di setiap kios-kiosnya ada teko perak kecil berisi teh di atas tabung gas kecil yang bagian atasnya sudah langsung menempel kompor. Penjual sayur langganan saya pun begitu. Sempat saya hampir menyenggol teko berisi teh yang umup di sela-sela gerobaknya tatkala sedang belanja harian. 

Teko perak dan kompor juga tampak di ruang-ruang workshop para seniman pengrajin keramik, kayu-kayu ukir, dan karpet di sebuah pusat pelatihan kerajinan Marrakesh. Seniman-seniman di sini menjadi mentor pelatihan segala bentuk kerajinan masyarakat Maroko untuk menjaga tradisi karya seni budaya Maroko kepada generasi muda. Mereka setiap hari berkarya di tempat ini ditemani teh.

Foto oleh Dennis Jarvis — Wikipedia

Atay Bina’na’ maksudnya adalah mint tea alias teh yang dicampur daun mint. Atay sendiri selain berarti teh, menurut beberapa cerita ia juga mengandung makna proses penyajian teh, mulai dari menjerang air, pencampuran dengan komposisi pas antara teh, gula, daun mint, dan penuangannya. 

Kedengarannya sih cukup simpel. Intinya teh dicampur daun mint. Saya penasaran dan ingin bikin sendiri di apartemen. Karena apartemen yang kami huni menyediakan peralatan dapur yang lengkap untuk membuat segala macam kuliner budaya Maroko. Termasuk teko perak leher angsa itu.

Pertama kali tentu harus berburu teh. Maka saya harus ke Aswak Assalam lagi. Rak kopi di sana sangat panjang. Banyak sekali koleksi kopinya. Dan ternyata panjang rak teh dua kali lipatnya rak kopi. Karena teh berpengaruh lebih kuat dan dalam. Kebingungan saya untuk memilih teh juga ikut naik dua kali lipat. Hampir satu jam waktu dihabiskan untuk membaca satu persatu kemasannya. Semuanya jenis teh hijau, bukan teh hitam.

Akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada teh merk Sultan. Pertimbangannya karena merk itu paling banyak variannya. Asumsi saya sepertinya ini teh paling top dan rasanya juga pasti joss. Setelah memperoleh teh, saya berjalan pulang dan mampir membeli na’na’. Seikat daun mint seharga satu dirham wajib dibeli. 

Rasanya semua bahan sudah komplit dan saatnya menjerang air, cemplungkan teh dan daun mint, tambah gula sedikit, diaduk dan tuang. Secara tampilan sudah sama dengan karyanya Sidi Nour. Lidah ini sudah tidak sabar mencecap atay bina’na’ kreasi perdana. Dan, sruuuup… Kok, rasanya lain ya. Kurang segar, malah cenderung aneh. Ini pasti ada yang salah. Dan bodohnya saya kok tidak tanya Sidi Nour dulu. Haha. 

Akhirnya saya pun mendapat informasi yang benar. Setidaknya dua hal yang kurang tepat: jenis atau merk teh dan proses penyajiannya. Untuk teh, Sidi Nour merekomendasikan merk Saba’. Kemasannya warna kuning bergambar singa.

Juga hal penting berikutnya adalah kode angkanya–4011. Baru kali ini saya menjumpai kode itu penting dalam dunia teh, setidaknya bagi dia. Karena ternyata, selain merknya bejibun, kode-kodenya juga buanyak. Coba perhatikan: 41022AAAAA; 41022; 4011; 3505AAA; 3505A; 3505; 9371; 9369; 9367; 3505C; 3503; 9375; 8147; 9380; 9366; 9475; 9675; 9501.

Pusing? Rasanya seperti saya harus tanya Badan Sandi Negara dulu sebelum memutuskan untuk membeli teh hijau. Kode-kode itu menandakan level kualitasnya.

Hal lain yang menarik adalah, tidak sebiji kopi dan selembar daun teh tumbuh di negeri maghrib ini. Sama seperti tetangganya di Eropa bahkan Amerika Utara di mana kopi diperoleh dari negara-negara tropis. Pun juga teh. 

Sementara teh hijau pada umumnya berasal dari China. Jadi, kalau China mau mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat Maroko, setop saja mengekspor teh hijau ke sini. Bisa jadi Sidi Nour dan kawan-kawan akan gelagapan karena teh hijau sudah menyatu dalam denyut nadi budaya Maroko.

Bagaimana ceritanya teh bisa merasuk kuat dalam kultur maghrib? Anda bisa tanya eyang ChatGPT perihal itu. Yang jelas, bagi saya mendapatkan info bagaimana proses menyajikan atay bina’na’ dengan baik dan benar jauh lebih penting. Kali ini saya cukup tanya mbah Google yang merekomendasikan jawabannya melalui anaknya–Pak Yutub.

Pada kesempatan kedua ini, saya sudah menyiapkan teh Saba’ 4011. Instruksi Pak Yutub saya ikuti dengan seksama dalam tempo yang sesabar-sabarnya. Karena seni penyajian teh Maroko tidak boleh terburu-buru. Ada tiga tahapan yang harus ditempuh.

Bahan utama Atay Bina’na’. Foto oleh Webrunner — Wikipedia.

Tahap satu. Semua tetap bermula dari merebus air sampai mendidih di panci terpisah. Tuangkan air panas sedikit ke dalam teko untuk menghangatkannya. Buang airnya lalu masukkan tiga sendok teh hijau ke teko. Tuangkan lagi air panas secukupnya, tutup teko dan diamkan kurang lebih satu menit. 

Usai semenit, selanjutnya tuang semua air teh dari teko ke gelas. Kita akan memperoleh segelas teh pekat yang mereka sebut spirit of life. Teh yang ditubruk air pertama kali itulah esensinya.

Spirit of Life (gelas kiri) dan teh “sampah cucian” (gelas kanan). Foto oleh Webrunner — Wikipedia.

Tahap dua. Masukkan lagi air panas ke dalam teko. Secukupnya juga, lalu guncang teko perlahan. Tuangan kedua ini fungsinya untuk “mencuci” daun teh. Kemudian tuang ke gelas. Anda akan memperoleh warna teh yang lebih keruh. Air yang keruh ini tidak berguna, singkirkan atau buang saja. 

Tahap tiga. Tambahkan setengah ikat daun mint ke teko agar menyatu dengan daun teh yang sudah “dicuci” tadi. Masukkan kembali teh esensi atau spirit hasil tahap satu dan tambahkan air sampai penuh. Jangan lupa pula masukkan gula. Ini sangat penting. Setelah semua terkumpul, letakkan teko di atas kompor, rebus hingga mendidih.

Jangan lupa na’na’ dan gula. Foto oleh Webrunner — Wikipedia.

Itulah tiga tahap membuat atay bina’na’. Sebelum menyeruputnya, supaya percampuran di dalamnya sempurna, biasanya bukan mengaduknya pakai sendok. Caranya adalah dengan menuangnya ke gelas kecil dan memasukkan kembali ke teko. Proses ini diulang dua sampai tiga kali. Baru kemudian sajian teh hijau daun mint bisa dinikmati. 

Setelah mengikuti saran Pak Yutub ini, hasilnya memang benar sudah sesuai seperti bikinan Sidi Nour maupun sajian keramahan orang-orang Maroko yang saya rasakan, baik itu di Marrakesh, Rabat, Casablanca, maupun Fes.

Atay Bina’na’ segar. Foto oleh Webrunner — Wikipedia.

Setelah air dalam teko habis disajikan, teh di dalamnya masih bisa digunakan hingga maksimal tiga kali. Cukup dengan menambah air panas, daun mint segar, dan gula. Tidak pernah menambahkan daun teh pada putaran kedua dan ketiga. Dan tentu, efeknya adalah intensitas rasa teh hasil tuangan kedua dan ketiga sudah jauh berkurang.

Sebuah ungkapan menarik saya temukan perihal siklus penyajian teh dalam sebuah teko perak leher angsa ala Maroko ini.

Tuangan pertama rasanya sepahit kehidupan. Tuangan kedua sekuat cinta. Dan tuangan ketiga selembut kematian.”

Memang, dalam segelas kecil atay bina’na’, Anda bisa menemukan rasa yang sangat-sangat manis. Katanya sih, semakin manis tehnya menandakan Anda semakin berharga sebagai tamu. 

Akan tetapi kali ini saya ingin membantahnya. Semakin manis, bisa semakin parah penderita diabetes. Karena menurut pandangan kedokteran modern–meskipun bagi saya penyakit tidak berhubungan langsung dengan mati–komplikasi akibat kencing manis menjadi washilah atau lantaran kuat menuju kematian.[]

Marrakesh, 19 Februari 2023

Lihat juga

Back to top button