SUMBER ENERGI ADALAH CINTA DAN KEIKHLASAN
Kelelahan (fatigue) adalah hal yang biasa dialami semua orang. Namun, jamak kita temui orang-orang yang energinya tak pernah habis. Pagi sampai sore bekerja, malamnya dilanjut dengan kegiatan sosial sampai larut malam. Mereka mendapat cadangan energi dari mana? Apa rahasia mereka?
Dalam buku “Cinta, Kesehatan dan Munajat Emha Ainun Nadjib” (2019) karya dr. Ade Hashman, Mbah Nun mengatakan “Semua orang sibuk dengan kalah-menang, sementara saya sibuk agar maksimal berbuat baik dan bermanfaat, dan sesungguhnya tak ada cukup umur untuk itu. Karenanya, (saya) tak sempat lelah, tak sempat ingat lelah. Kebanyakan orang terbebani oleh tujuan atau maksud tertentu. Saya tidak.”
Rasa cinta Mbah Nun kepada jamaah Maiyah, terutama rakyat jelata, menjadi sumber energi terbesarnya. Ketulusan hati dan kemurnian niat dalam berhubungan dengan manusia tampaknya memiliki peran signifikan bagi sumber energi yang tak berkesudahan. Mbah Nun seperti memiliki Sulthon atau kekuatan ekstra yang merupakan anugerah dari Allah sebagaimana tersurat dalam Surah Ar Rahman (55): “Hai, jamaah Jin dan Manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (sulthon).” Energi itu ditawarkan kepada Jin dan Manusia. Dengan energi sulthon inilah manusia memiliki kemampuan untuk “menembus batas”.
Dikisahkan dalam acara Kenduri Cinta, Mbah Nun melempar pertanyaan retoris ke jamaah yang datang , “Apakah air yang menggenang di kaki para jamaah (saat itu) membuat masuk angin atau tidak? Kenapa tidak? Karena Anda telah menerimanya dengan ikhlas. Rasa tertekan baru muncul ketika Anda menolaknya, kemudian Anda berpendapat ‘seharusnya air ini tidak menggenang’. Namun begitu bisa menerimanya, Anda menjadi kuat, sel-sel tubuh Anda menjadi kuat. Pertahanan kesehatan paling mendasar adalah sel-sel tubuh Anda sendiri, bukan asupan, vitamin, apalagi obat.”
Ringkasnya, rahasia stamina yang Mbah Nun miliki selama ini adalah rasa mau menerima dan menjalani dengan ikhlas lapang dada segala kegiatan atau kesibukan atau apa pun yang diajukan ke hadapannya. Dalam beberapa Maiyahan Mbah Nun sering berujar. “Saya sudah mengikhlaskan diri saya untuk Allah. Semua saya serahkan ke Allah. Jadi, ya, tidak ada beban, karena sudah terserah Allah. Tak ada harapan atas diri ini, yang ada adalah harapan dari Allah.”
Jamaah Maiyah tentu sudah familiar dengan kalimat ini: “Otak kita bukan punya kita, tangan kita bukan tangan kita, kaki kita bukan punya kita, dan badan kita bukan punya kita.” Itu adalah kalimat yang sering Mbah Nun sampaikan kepada Jamaah Maiyah. Istilah itu oleh Mbah Nun disebut dengan topo ngrame, yakni kemampuan menghadirkan Allah dalam keramaian, apa pun. “Kalau sudah bisa ber-zikrullah dalam keramaian, kamu akan mempunyai kekuatan energi.”