SUPREMASI KEUNTUNGAN DAN HILANGNYA SENTUHAN MANUSIAWI
Di bangsal-bangsal, termasuk bangsal di mana “guru-guru” saya dirawat, suasananya hampir sama. Ruang perawatan dengan lorongnya yang khas dan ada sebuah nurse station lengkap dengan meja dan kursi serta ada sejumlah (baca: banyak) komputer. Aktivitas yang mencolok adalah manusia yang sedang menghadap komputer (minimal ada 5 buah komputer yang terhubung dengan LAN) dan beberapa laptop milik pribadi masing-masing.
Ketika saya menghampiri mereka, saya coba bertanya kepada salah satu perawat di bangsal.
“Mbak, ngapain sih asik di depan komputer?”
“Lha ya gini ini, Dok, nanti kalo isian kita tidak lengkap, kita yang dibunyi-bunyiin, dan nanti akan berimbas kepada klaim, dan seterusnya, dan nanti akan berpengaruh kepada pendapatan RS dan akhirnya pendapatan kita juga terimba,” jawab si mbak sambil tetap asik di depan komputer.
Pemandangan seperti ini tampaknya lazim terlihat di hampir semua tempat pelayanan. Ada sesuatu yang baru, tapi ada sesuatu yang hilang.
Sesuatu yang baru adalah sebuah pemandangan yang baru. Seperti cerita tadi di mana teknologi menguasai situasi dan keadaan termasuk waktu yang banyak tersita. Semua bermuara kepada sebuah tujuan yang bernama ‘keuntungan’. Apapun bentuknya keutungan itu. Biasanya kita menilai dengan besaran rupiah yang dihasilkan. Penggunaan teknologi, dalam hal ini komputerisasi, berlangsung pada semua aspek yang berhubungan dengan pasien, data demografi pasien, data keluarga, data dasar penyakitnya, hasil pemeriksaan baik lab maupun pemeriksaan yang lain termasuk radiologi, patologi, mikrobiologi maupun pemeriksaan tambahan lainnya.
Tentu komputerisasi ini baik dan positif dilihat dari berbagai segi. Dari segi data, data-data akan tertata lebih rapi. Tetapi, apabila data yang dimasukkan tidak akurat, maka yang dihasilkan juga adalah sesuatu yang tidak berguna. GIGO istilahnya, garbage in – garbage out. Bila yang masuk sampah, maka keluarnya juga sampah. Terlepas dari berbagai keuntungan yang diperoleh (secara manajerial), saya menyoroti sesuatu yang hilang sebagai dampak pemberlakuan hal (yang boleh dikatakan) baru.
Hilangnya sentuhan lembut antara perawat dengan pasien. Hilangnya sentuhan manusiawi antara dokter dengan pasien. Semua menjadi tersibukkan dengan entry data yang biasanya dahulu dilakukan secara tulis-menulis tangan, dan sekarang harus entry lewat papan kunci dan komputer. Banyak hal yang ‘terampas’ akibat perubahan ini. Saya memang memakai kata ‘hilangnya’ bukan ‘berkurangnya’ semata-mata untuk menekankan bahwa ada sesuatu yang sangat berkurang di dalam hubungan/interaksi dua manusia di mana satu pihak menjadi penderita dan pihak lain menjadi pengobat.
Saya jarang melihat obrolan antara pasien dengan perawat maupun dokter. Yang saya lihat adalah obrolan antara sesama (orangtua) pasien yang terasa hangat. Entah apa yang mereka obrolkan. Apakah mereka mengobrolkan anak mereka, apakah mereka mengobrolkan keadaan keluarga mereka atau justru mereka ‘ngrasani’ perawat dan dokter mereka. Entahlah, saya tidak begitu tahu.
Dokter ngobrol dengan komputer.
Perawat ngobrol dengan komputer.
Residen ngobrol dengan komputer.
Pasien mencari info dari komputer.
Dokternya digantikan oleh Gugel.
Mestinya ada suatu penelitian tentang bagaimana kualitas pelayanan, kesembuhan, dan kepuasan pasien sebelum dan sesudah era komputerisasi. Jika penelitian ini dilakukan rasanya akan lebih fair, karena studi atau peneletian atau pengamatan ini menjadi salah satu tolok ukur sekaligus sebagai kritik menyangkut bagaimana dampak perubahan ini terhadap kualitas pelayanan dan kepuasan pasien terhadap pelayanan yang ada.
Secara manajerial sistem ini akan memudahkan. Apakah dari sisi (keluarga) pasien akan mendapatkan keuntungan setara?
Sisi kapitalistik yang terjadi dan yang mau tidak mau kita hadapi sudah seharusnya kita sikapi dengan selalu mengedepankan prisnsip-prinsip luhur ‘kedokteran’.
Saya tidak mampu membayangkan bagaimana bila Hippocrates atau Ibnu Sina masih hidup, dan melihat fenomena yang ada sekarang ini.
Jan 2023