GUA PUISI

Seorang pemimpin redaksi sebuah media online seketika itu langsung malu yang amat sangat malu atas kealpaannya menyediakan rubrik puisi dalam media yang ia kelola. Memang ada rubrik literasi, tapi ia merasa rubrik tersebut kurang menggigit kalau tidak bernama rubrik puisi.

Ia lupa bahwa gurunya adalah seorang penyair yang begitu serius dengan dunia puisi meskipun gurunya sering menyebut dirinya sendiri sebagai bukan penyair, penyair yang gagal sebagai penyair, meskipun banyak buku kumpulan puisinya telah terbit sejak tahun 70/80an.

Hingga usia 67 tahun sang guru tetap setia menulis puisi. “Itulah sebabnya sampai serenta apa pun usia tua saya, tak berhenti saya menulis puisi. Sebab tanpa puisi, negara, kebudayaan, dan agama: kehilangan manusia,” tulis gurunya dalam epilog buku puisinya yang terbit tahun 2020.

Ia sendiri sadar bahwa sangatlah tak pantas mengaku diri sebagai muridnya. Belum lagi gurunya terang-terangan mengaku bukan guru, bukan kiai, bukan penyair, sehingga tentu saja tak punya murid, tak punya santri, serta tak punya pengikut atawa followers.

Mas Pemred merasa tertampar oleh satu paragraf yang ditulis gurunya: “Maka dulu koran-koran, majalah, dan media massa yang lain selalu menyediakan rubrik puisi, dan sekarang hampir tidak ada lagi. Tidak adanya ruang untuk puisi, mencerminkan musnahnya kesadaran masyarakat untuk memelihara kelembutan kemanusiaan, dan mengindikasikan semakin derasnya arus dehumanisasi.”

Lihat juga

Sejak itu, Mas Pemred serasa diseret memasuki gua-gua perenungan puisi yang sunyi, yang orang lain enggan memasukinya dan duduk tafakur di dalamnya. Beberapa hari menjelang bulan puasa Ramadan, Mas Pemred sengaja semacam mengasingkan diri, menjauh, namun fisiknya tetap bisa dijumpai di warung-warung kopi, di kantor, dan di jalanan.

Mas Pemred tak tahan hatinya. Berdebar-debar menyongsong betapa bercahayanya lapar dan haus dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, sehingga di dalam gua puisi batinnya, ia berbisik: “Ya Allah, andai tak Engkau ajari kami berpuasa, andai tak Engkau ajari kami menahan diri, Engkau pun Ya Allah, pasti akan segera menghancurkan orang-orang yang durjana di muka bumi-Mu.”

Ramadan sesaat lagi. Dan Mas Pemred memasuki gua puisi, menyelami jalan sunyi.

Banyuwangi, 23 Februari 2025

Moh. Husen

Jamaah Maiyah tinggal di Banyuwangi Jawa Timur

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button