LAILATUL QADAR DAN DOSEN ES TELER

Bukan bermaksud mendewa-dewakan atau apa, tapi untuk Lailatul Qadar ini terus terang saja saya memang mengintip esai Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun) berjudul Kiai Sudrun Dapat Lailatul Qadar, yang beliau tulis pada, 5 Juli 2016, dan kita semua bisa melihatnya di website CakNun.com.

Cerita Kiai Sudrun dalam esai Mbah Nun tersebut mungkin terasa mengejutkan bagi sebagian orang. Di malam Lailatul Qadar, saat orang-orang berharap ada kisah tentang cahaya gemerlap atau mukjizat duniawi, Kiai Sudrun justru hanya memeluk mushaf Al-Qur’an yang lusuh.

Masyarakat kampung yang gempar karena berita “Kiai Sudrun mendapat Lailatul Qadar” itu merasa kecewa. Mereka berharap Kiai Sudrun akan menunjukkan emas, uang, atau keajaiban lain yang lebih “masuk akal” bagi pemahaman awam mereka tentang keberkahan. Tetapi ketika bungkusan putih Kiai Sudrun dibuka paksa, yang mereka dapati hanyalah Al-Qur’an yang kusam, sobek-sobek pinggirnya.

Di tengah kekecewaan itu, Kiai Sudrun hanya tersenyum. Ia berkata: “Allah menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, bukannya Lailatul Qadar akan diturunkan oleh Allah dan kita menanti-nantikannya, apalagi dengan bayangan bahwa Lailatul Qadar adalah rezeki materiil dan keduniawian.”

Ucapan Kiai Sudrun ini bisa saja memancing perdebatan. Tidakkah ini bertentangan dengan hadits Nabi Muhammad yang menyuruh kita mencari Lailatul Qadar di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadan? Bukankah Nabi bersabda: “Carilah Lailatul Qadar di malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lihat juga

Namun, jika kita mencoba melihat lebih dalam, apa yang dikatakan Kiai Sudrun justru tidak keluar dari jalur yang diajarkan Nabi. Nabi tidak pernah menyebut secara pasti tanggalnya berapa. Ia tetap bersifat misteri. Akan tetapi yang perlu diingat esensi dari Lailatul Qadar itu sendiri adalah inna anzalnahu fi lailatil qadr—turunnya Al-Qur’an di malam yang penuh kemuliaan.

Mbah Nun melalui Kiai Sudrun ingin menunjukkan, bahwa makna Lailatul Qadar lebih luas daripada sekadar menunggu mukjizat langit. Lailatul Qadar adalah malam turunnya Al-Qur’an. Maka siapa saja yang hatinya terbuka dan disentuh oleh Al-Qur’an, kapan pun dan di mana pun, sesungguhnya ia sedang mengalami pancaran Lailatul Qadar dalam hidupnya.

Kiai Sudrun melanjutkan: “Apa maksud pertanyaan kalian tadi ‘Kok Qur’an?’ Untung kalimatnya tidak lebih menjadi ‘Kok hanya Qur’an?’ Tunjukkan kepadaku sesuatu yang lain, kecuali ‘ahsanu taqwim’, yang lebih mahal dan tinggi nilainya dibanding Qur`an?”

Di sini Kiai Sudrun menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah harta yang lebih berharga daripada seluruh kekayaan dunia. Ia melampaui tafsir duniawi tentang berkah. Sebab Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, melainkan cahaya yang mampu menerangi jiwa manusia, bangsa dan negara, bahkan lebih dari seribu bulan.

Dalam konteks ini, kisah Kiai Sudrun justru memperjelas tafsir hadits Nabi tersebut. Nabi mengajarkan kita agar bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah di malam Ramadan, sedangkan Kiai Sudrun mengingatkan: “Malam itu menjadi Lailatul Qadar ketika Al-Qur’an benar-benar turun ke dalam hatimu.”

Kiai Sudrun menutupnya dengan kalimat yang dalam: “Aku yang tua renta ini tidak diadzab Allah saja sudah Lailatul Qadar. Utangku kepada-Nya tak terbayarkan, meskipun seratus kali aku hidup mati, kuisi ruang dan waktuku hanya dengan terima kasih dan memohon ampun terus-menerus kepada-Nya.”

Sampai di sini, saya jadi ingat seorang dosen universitas swasta yang sekaligus pelaku bisnis es teler. Seorang teman di grup WhatsApp memanggilnya Pak Dosen Es Teler. Orderannya ramai. Apalagi ini bulan puasa, cocok untuk persiapan takjil atau berbuka. Dia share es telernya di berbagai platform media sosial.

Saya sengaja tidak menyebutkan nama atau identitas lengkapnya supaya related dengan atmosfer Lailatul Qadar. Para pembaca boleh berdebat siapa Pak Dosen Es Teler itu, bagaimana kira-kira wajahnya, apa saja hobinya, masih bujangan atau sudah punya istri, dan seterusnya.

Sebagaimana kita sering berlaku serupa saat bicara tentang Lailatul Qadar. Kita terlalu sibuk mencari “siapa dan kapan”-nya. Kita hitung malam ganjil, kita raba tanda-tanda di langit, kita sibuk mengintip isyarat, seakan-akan Lailatul Qadar adalah semacam sosok yang bisa kita ajak ngopi dan begadang.

Padahal, yang sesungguhnya harus kita siapkan adalah bersih atau tidaknya hati kita, mati atau hidupnya hati kita, dan bukan logika yang terlalu fokus kepada tanggal atau waktu, sehingga inna anzalnahu fi lailatil qadr menjadi “terlewatkan” begitu saja bersama nikmatnya es teler atau berbagai menu hidangan buka puasa kita.

Banyuwangi, 24 Maret 2025

Lihat juga

Back to top button