KERAMAT

Pagi hari ini saya awali dengan melihat Azlan, yang berumur 2,5 tahun, penderita tumor mata pada mata kirinya. Saya mendekatinya dan mengelus kepalanya. Azlan seperti malu-malu. Saya bertanya sudah sarapan apa. Dia tersenyum dan nampak malu-malu mencoba mendekat ke badan saya. Kemudian Azlan saya ajak selfie, tapi Azlan nampak malu-malu dan sedikit menjauh dari frame selfie di hape saya.

Di bed sampingnya si Ayu senyum-senyum sambil nyuruh Azlan agar mau selfie bersama saya. Akhirnya berhasil mendapat foto selfie bersama Azlan. Juga foto Azlan berdua dengan Ayu, yang berseberangan bed. Saya tunjukkan kepada Azlan hasil foto berdua tadi. Dia tersenyum senang. Ayu juga tersenyum senang. Saya pamit keluar ruangan dan Azlan dadah dadah dengan kegembiraan yang terpancar di wajahnya.

Dok. Foto: dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.

Episode mengelus kepala Azlan dan Ayu, ngobrol, selfie dan guyon adalah kegiatan yang sangat biasa. Tetapi di balik itu ada keskralan yang sangat dalam. Bahkan kami tidak membicarakan protokol pengobatan, jadwal masuk kemo, maupun jenis rasa sakit yang dialaminya. Lupakan sakit, lupakan rasa sakit, kita bergembira. Demikianlah kemudian kita memasuki kegiatan-kegiatan yang ada di dalam wilayah kesakralan antara saya dan Azlan–Ayu. 

Saya asal saja mencomot kata sakral di sini, dan terpaksa saya membuka KBBI, untuk mengetahui makna kata ‘sakral’ sebenarnya. Menurut KBBI kata sakral berarti: suci, keramat.

Memang ternyata saya tidak salah dalam mencomot kata ‘sakral’ dalam satu episode di ruangan Azla dan Ayu. Hubungan saya dengan Azlan dan Ayu dalam episode adalah sebuah hubungan cinta, kasih dan sayang. Azlan dan Ayu memberikan keluguan, kepolosan, dan kejujuran dalam berkomunikasi dan berkekspresi. Saya pun menyambutnya dengan keikhlasan dan kasih sayang.

Demikian pula bila sedang bekerja dengan stetoskop. Ketika menempelkan stetoskop di dada atau perut pasien. Bukan saja mendengar detak jantung, suara paru maupun bising usus, dan kemudian menganalisis berbagai kelainannya, tetapi melalui membran dan selang stetoskop mencoba merasakan getar yang dirasakan oleh pasien. Mencoba mendekati, menyamakan, dan kemudian menangkap frekuensi yang dipancarkan oleh pasien atas keluhan-keluhannya. 

Ini sesuatu yang keramat. Suci! 

Dengan ketulusan, keikhlasan, cinta dan kasih sayang maka akan mensupport kesembuhannya. Jangan berpijak pada kesembuhan fisik lho yaaa. Kesembuhan jiwa, kesembuhan psikis akan sangat menopang kesembuhan fisiknya. Ini yang kadang dilupakan. Seolah manusia adalah barang. Bak sebuah mobil yang bannya gembos, maka ditambal bannya akan selesai masalahnya. Bila businya mati maka diganti businya akan beres lagi mesinnya. Pada manusia tidak demikian halnya. 

Manusia adalah makhluk yang utuh, mempunyai nyawa dan rasa disamping fisik dengan seluruh mekanisme biologisnya. Manusia mempunyai wilayah-wilayah yang hanya bisa dirasakan, tak tampak oleh mata, tak terdengar oleh telinga. Hanya bisa dirasakan getarannya oleh hati yang memeriksanya. Tidak perlu otak yang cerdas atau pintar untuk menganalisisnya. 

Yang dibutuhkan adalah kelembutan hati, keikhlasan, cinta dan kasih sayang.

Jan 2023

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button