FARHAN

Setelah belajar bersama kawan-kawan dari segala penjuru dunia dan lima benua, penuh dengan cita-cita dan semngat yang menggelora, saatnya kini giliran untuk berhadapan dengan dunia nyata. Sebuah atmosfer kasunyatan yang tiap hari kami hadapi dan membutuhkan sentuhan-sentuhan yang komplet dan utuh.

Tidak hanya melulu dari aspek medis, tetapi segala aspek yang berhubungan dengan insan yang bernama manusia serta aspek yang berhubungan dengannya. Bisa aspek lingkungan, aspek biopsikososial, aspek alam, fasilitas, dan masih banyak aspek yang perlu kita pikirkan dan kita elaborasi, untuk tercapainya sebuah tujuan pengobatan: kesembuhan! 

Kesembuhan memang salah satu aspek dari kesehatan. Jadi kalau ngomong tentang kesehatan, maka saya jadi merasa terlalu kecil.

Saya mulai berbincang dengan para residen (saya sematkan kata ‘para’ walaupun hanya ada 2 orang) serta seorang fellow, yang kali ini menemani saya di bangsal Estella. Fellow adalah sebutan yang kami sematkan untuk seorang dokter anak yang sedang memperdalam cabang ilmu yang lebih dalam, dalam hal ini adalah ilmu penyakit darah dan kanker anak. 

Estella adalah nama sebuah bangsal perawatan yang didedikasikan oleh keluarga Estella untuk penderita kanker anak di Jogja ini. Estella sendiri sudah almarhumah, dan keluarganya bercita-cita agar perawatan anak-anak penderita kanker bisa optimal. Ayahnya seorang bankir di Belanda. Secara finansial tentu lebih dari cukup, dan mereka mengumpulkan para donatur di negara Belanda sana untuk ikut bersama-sama membantu membangun gedung perawatan anak yang menderita kanker ini. 

Wilona, residen tingkat madya, yang memulai diskusi pagi ini setelah saya menanyakan situasi pasien pasien yang ada di bangsal ini.

“Pasien Farhan situasinya tidak begitu baik, Dok,” Wilona memulai. 

“Bagaimana ceritanya?” tanya saya. 

Kemudian Wilona bercerita tentang progress Farhan dari saat mulai dirawat sampai hari ini. Farhan tampak tertidur, dengan napas yang agak cepat dari semestinya. Kemudian kami berdiskusi dengan ibu dan bapaknya tentang rencana-rencana yang akan kita lakukan.

Akhirnya, kami berkesimpulan bahwa perawatan terhadap Farhan ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. 

Selang sehari kemudian kami, seperti biasa, ‘menyapa’ guru-guru kami setelah kami mendiskusikan mana yang ‘bermasalah’ dan mana yang tidak. Tentu semua bermasalah terhadap kesehatannya. Maksud saya di sini adalah apakah ada yang membutuhkan perhatian lebih dibanding yang lain.

Kamar Farhan yang pertama kali kita jenguk. Saya mendapati kondisinya yang ‘tidak baik baik saja’ dengan napas yang terengah-engah dan memakai sungkup oksigen. Farhan berusaha menyapa saya dan berusaha berkomunikasi. Di samping kanannya, Bapak Farhan berusaha menerjemahkan apa yang disampaikan Farhan kepada saya. Sedangkan di samping kirinya adalah ibunya yang meneteskan air mata sambil membisikkan kalimah syahadat tak henti-hentinya. 

Tiba tiba Farhan memandangi saya dan berusaha mengucap sesuatu, dan akhirnya dia berucap sampai seisi ruangan bisa mendengarkannya.

“Dokter… kowe kancaku!”

Bapaknya berusaha menyampaikannya kepada saya, walaupun saya bisa sangat jelas mendengarnya.

“Dokter, dokter adalah sahabat Farhan!”

Seketika saya beranjak dari tempat saya (dan kawan-kawan) berdiri, menuju ke samping kiri Farhan, sambil berujar, “Iya Farhan, kamu bukan sekadar sahabatku, tapi kamu (Farhan) adalah guruku! Guru kami semua!”

Ibu Farhan sedikit bergeser, memberi kesempatan kepada saya untuk mendekat ke Farhan. Sambil saya peluk, saya usap kepalanya, dan saya bisikkan ke telinga Farhan,

Asyhadu an laa ilaaha illallaah….” pelan dan lembut ke telinga Farhan. 

“Wa Asyhaduanna muhammadar rasuulullah,” Farhan menyahut.

Demikan saya ulangi dan saya ulangi berulangkali. Ibu dan bapak Farhan berderai air mata. Tak tahan ikut merasakan apa yang sedang dialami Farhan. Semua di dalam ruangan terdiam. Bisu.

Kedua orang tuanya sudah berketetapan untuk mengambil keputusan DNR (do not resucitate). Suatu keputusan untuk tidak mengambil tindakan resusitasi makakala kondisi emergensi terjadi. Tetapi, bapak dan ibunya paham betul bahwa penyakit yang sudah mengalami dua kali kekambuhan akan sangat kecil kemungkinan bisa disembuhkan. Maka, bapak ibu Farhan mengambil keputusan itu agar di akhir hidupnya Farhan tak perlu ‘merasa menderita’ dengan tindakan-tindakan yang akan dilakukan.

Saya kemudian menyingkir dari samping Farhan, saya lepaskan pelukan saya, dan saya serahkan kembali kepada ibunya, yang lebih berhak untuk mendampingi dan memeluk Farhan! Farhan kodisinya lebih tenang, parameter medis yang berupa tanda vital membaik dengan signifikan. Saya pamit meninggalkan ruangan Farhan untuk sowan kepada sahabat-sahabat yang lain.

Sore hari ketika saya masih membahas masalah pendidikan, datang text dari Wilona, 

“Selamat sore dokter, mengabarkan kabar duka. Farhan baru saja berpulang pukul 16:50.”

Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’un. Saya balas text dari Wilona. ‘Selamat jalan sahabatku!’  

Beribu bahkan berjuta raa berkecamuk dalam hati dan perasaanku. 

Bangsal Estella Nov 2022

Lihat juga

Back to top button