FEARLESS
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Poci Maiyah Tegal Edisi Februari 2025)

Para pemberani bukan mereka yang tak memiliki rasa takut – itu alamiah, melainkan mereka yang mampu mengelola tekanan dalam diri menjadi kekuatan dan aksi.
Siapa yang tak takut tidak punya uang? Tak perlu malu, bahkan, Tuhan saja merendahkan diri-Nya untuk meminta pinjaman (hutang) pada manusia.
Wa Aqridlullohu qordlon hasanah
(Dan berikanlah pinjaman (hutang) yang baik pada-Nya)
Bahkan, Tuhan mengajarkan pada manusia agar tidak merasa hancur hanya karena kekhawatiran-kekhawatiran pikirannya. Bahwa manusia, memang hidup berawal dari otak reptilnya. Naluri mempertahankan hidup dan melanjutkan keturunan menjadi prioritasnya. Seseorang yang telah selesai dengan rasa takut ‘perut’ (kelaparan, kemiskinan, terhina, dsb) dan isi kancut (birahi-nya), ia akan menjadi sosok yang bernilai lebih di tengah-tengah masyarakatnya. Bukan berarti ia tak takut apapun, bisa jadi, ia hanya tak peduli pada dirinya, dan telah mengesampingkan rasa takut dalam jiwanya, pada apapun itu.
Dari otak reptil, ke otak mamalia (tempatnya simpati) dan terakhir ke lobus frontal, kemampuan berpikir dan mempertanyakan, menggradasi apa saja yang dibutuhkan dalam hidup ini agar tidak dikuasai bayangan ketakutan dan kesedihan dunia.
Sebab, seringkali justru keberanian bukan milik mereka yang kuat secara fisik, tetapi juga mereka yang tampak lemah namun memiliki kekuatan batin yang tangguh. Hasil dari pertarungan batin yang panjang dan melelahkan, namun ia menang. Seseorang yang sangat kuat, selalu, lahir dari pertempuran yang sangat pedih selama hidupnya.
Bagaimana kita mendefinisikan keberanian dalam kehidupan nyata? Apakah keberanian berarti tanpa rasa takut, atau justru bertindak meski takut?
Kepemimpinan sejati tidak hanya tentang kekuatan, tetapi juga kebijaksanaan dalam mendengar dan mengambil keputusan. Di saat menjadi rakyat, belajarlah berbicara. Dan ketika menjadi pemimpin, belajarlah banyak mendengar, dan cerdas dalam seimbangnya kebijaksanaan dan pengambilan keputusan yang tepat.
Seorang pemimpin yang tangguh akan lahir, dari seseorang yang mengenal dirinya. Memaafkan, berdamai, dengan dirinya sendiri, lalu mulai memahami bahwa orang lain juga sama sepertinya. Permaafan dan pengampunan yang bukan sekadar belas kasihan, tetapi juga kebesaran jiwa dalam menghadapi provokasi, khususnya provokasi dalam diri yang lebih halus namun meruntuhkan keteguhan hati.
Pertanyaan lain dalam diskursus mengelola ketakutan adalah menejemen dilema, atau paradoks kehidupan.
Di tengah dilema moral, bagaimana kita menyeimbangkan antara ketegasan dan kelapangan hati?
Seberapa jauh batas antara keberanian dan kesombongan, antara pengampunan dan kelemahan?
Apakah kekuasaan selalu harus dipertahankan dengan kekuatan?
Bagaimana peran kebijaksanaan dalam menghadapi situasi yang menuntut keberanian?
Kapan harus bertindak tegas, dan kapan harus mundur untuk melihat gambaran yang lebih besar?
Ketakutan adalah bagian dari perjalanan, tetapi keberanian adalah pilihan.
Momen-momen di mana kita harus berani melawan arus dan menghadapi konsekuensi dari pilihan kita.
”Fearless” bukan berarti tanpa rasa takut, tetapi bertindak meskipun ada rasa takut. Sebab, seperti halnya keburukan, rasa takut dan kesedihan akan selalu ada. Yang selalu kurang adalah orang-orang yang mampu mengelola, dan lalu mengajarkan itu pada banyak orang.
Jumat, 7 Februari 2025
(Redaksi Poci Maiyah/Abdullah Farid)