TETAPLAH MENJADI INSPIRASI BAGI ANAK CUCUMU

Untuk 70 Tahun Cak Nun

Kelelahan fisik yang menerpa wadag saya kemaren hingga semalam rupanya tak bisa saya tolerir. Saya ‘tepar’ sejak sore selepas Isya’ sehingga niatan untuk bergabung di acara Tawashshulan di Kadipiro tidak terlaksana, dan saya terlelap selelap-lelapnya malam tadi. Lelap yang sangat!

Bangun pagi saya mendapat tenaga penuh. Saya buka channel caknun.com di YT dan saya menyimak pertemuan semalam yang sangat mesra. Doa dan harapan tercurah dari hadirin di gang Barokah 287 beserta 63 simpul Maiyah dari seluruh dunia, termasuk dari Jeddah, Korea dan Amsterdam-Belanda. Beberapa testimoni dari anak-cucu Cak Nun yang langsung diutarakan di acara semalam, yang (kata Sabrang) dilihat dari sisi: ide, karya, mbeling bahkan sampai sisi mistis yang juga disampaikan oleh beberapa anak cucunya.

Satu-satunya jamaah wanita yang memberi testimoni adalah Ainun Jamilah yang berasal dari Makasar, yang menceritakan tentang keinginannya bertemu dengan mbah Nun di tahun 2020, dan kemudian Mbah Nun hadir di dalam mimpinya.

Saya sendiri mengenal sosok Emha Ainun Nadjib mulai awal 80-an ketika saya masih SMA. Saat itu bersama beberapa teman SMA teman pengajian di kampung nDukuh, kami sering membahas sosok EAN ini. Berbagai tulisan di koran-koran yang menulis tentang sosoknya juga saya ikuti. Salah satunya adalah ketika tak seorang pun mengetahui sosoknya sewaktu beliau diundang di sebuah masjid di Purwokerto, dan beliau sudah hadir dini hari, kemudian ‘numpang tidur’ di masjid di mana pagi harinya beliau berbicara di mimbar.

Pertama Kali saya bisa bermuwajjahah ldengan beliau, ketika beliau pentas musik puisi bersama Narto Piyul, Butet, dan Jaduk di Pugeran Yogyakarta. Walaupun tidak bisa berbicara langsung dengan beliau, saya sangat senang bisa melihat pentasnya, bahkan saya mempunyai rekaman audio pentas tersebut, lewat Mas Kelik Nugroho, penyelenggara acara dan sekaligus ternyata sahabat beliau.

Tahun 1985, ketika saya berkiprah di radio Geronimo Yogyakarta, kami punya acara pendek 30 menit menjelang berbuka puasa. Dengan usaha dari Mas Banar, maka kita berhasil ‘memaksa’ Cak Nun datang ke Gayam 24, tempat di mana saya siaran. Nah di situ saya pertama kali bisa berbincang-bincang langsung dengan beliau. Saya sebagai penyiar, beliau sebagai ‘narasumber’ acara tersebut. 

Saya masih ingat apa yang kita bicarakan, tentang puasa, tentang lapar, dan tentang yatim.

“Kita ini semua adalah yatim,” kata beliau. 

“Maksudnya apa Cak?” kejar saya. 

“Ya…. Kita semua yatim, kita tidak punya orang tua, kita diyatimkan oleh negara yang mestinya memelihara dan mengayomi kita,” jawabnya.

Mulai dari situlah saya menjadi lebih karib dengan Cak Nun. Bahkan saya diberi 2 buah lagu musikalisasi beliau yang berjudul ‘Kubakar cintaku’ dinyanyikan oleh Neno Warisman dan ‘Akan kemanakah angin’ yang dilagukan oleh Reda Gaudiamo dan Nana Soebijanto. Kedua lagu tersebut diaransir oleh Mimi Larasati. Geronimo menjadi satu-satunya radio yang mengudarakan lagu yang eksklusif tersebut. 

Cak Nun sendiri ternyata kadang mendengarkan siaran saya. Bahkan beliau bisa bercerita tentang asbabun nuzul-nya sebuah lagu yang waktu itu saya putar. ‘A spaceman came travelling’ dinyanyikan oleh beberapa orang penyanyi, di antaranya adalah Chris de Burgh dan juga oleh Samuel Hui. Saya cukup surprised juga dengan pengetahuan musikal beliau, termasuk pecinta lagu-lagu dari Andi Williams, Frank Sinatra, Lobo sampai Cat Steven! 

Banyak momen dan tempat yang bisa saya bisa kisahkan seperti Wirobrajan, Kasihan, Gayam, Alun-alun kidul, Kotagede, Salatiga, Amsterdam, Paris, Enschede, dan lain tempat. 

Awal 90-an beliau membuat pentas Teater yang ini menunjukkan ‘kesadaran futuristik’ dari beliau. Lakon tersebut berjudul ‘Lautan Jilbab’ yang dipentaskan di beberapa kota, dengan mendapat ‘dinamika’ dari penguasa  waktu itu. Kala itu ‘makhluk berjilbab’ masih sangat  langka, mungkin tidak ada 5% dari populasi. Coba lihat sekarang, hampir 100% muslimah berjilbab, sehingga terbuktilah ‘angan-angan futuristik’ dari Cak Nun yang dituangkan dalam syair di tahun 1988.

‘Lautan Jilbab! 

Lautan Jilbab! 

Gelombang perjuangan, luka pengembaraan, tak mungkin bisa dihentikan

Wahai! Sunyi telah memulai bicara!”

(1988)

Saya pribadi mempunyai banyak dinamika pengalaman pribadi dengan beliau, mulai dari kuliner, travelling, mengawali pengajian Padhangmbulan, sampai pemberian ‘ijazah’ kepada saya untuk saya amalkan, ketika keluarga besar saya mendapat cobaan saat itu.

Satu hal lagi yang bisa saya ungkapkan di antara puluhan, ratusan bahkan ribuan pengalaman pribadi saya dengan Cak Nun adalah support beliau untuk menulis. ”Tulislah tentang apapun, dan tetaplah menulis.” 

“Jangan pernah berhenti menulis, kapanpun dan dimanapun.” “Begitu mendapat ide maka segera tuangkan dalam tulisan.” Begitu pesan Cak Nun. “Tapi tolong nanti hasil tulisan saya ‘dibiji’ (dinilai/dikritik), ya Cak,” pinta saya.

Kemudian saya mulai menulis, dengan tertatih-tatih. Menulis dan tetap menulis. Di sinilah saya menyadari kehebatan beliau, produktivitasnya, idenya, semangatnya, pengalaman batinnya dalam menulis. Menulis apapun, puisi, prosa, syair, naskah drama, ‘ijazah’,  dan masih banyak lagi macam tulisan yang beliau tulis. 

Sudah hampir 2 tahun saya mencoba menulis, dan sudah 3 tulisan saya sodorkan kepada beliau. Sampai saat ini belum ada ‘komentar’ dari beliau. Artinya kalau tidak ada ‘komentar’ dari beliau, tulisan saya masih di jalurnya. Lha memang baru belajar menulis. Sangat berbeda menulis di dalam sebuah jurnal. Sangat berbeda!

Cak, sugeng ambal warsa! tetaplah menjadi inspirasi bagi anak cucumu. Saya akan tetap menulis. No matter what! 

27 Mei 2023 (+1 hari) 

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button