TUJUH DASAWARSA MBAH NUN

Tepat hari ini, 27 Mei 2023, usia Mbah Nun menapaki tahun ke-70. Salam takzim kami haturkan dengan penuh cinta dan harapan, semoga kesehatan senantiasa Tuhan karuniakan kepada sumber cahaya dan panutan kami. Sumber ilmu tak terduga yang Tuhan pertemukan dengan kami.

Di balik sukacita ini, filosofi angka tujuh membawa memori kami teringat pada pertemuan tak terduga dengan Ustadz Fuad dan Mbah Nun awal tahun lalu. Dengan perantaraan dr. Christyaji Indradmojo, Sp.EM, kami, lima mahasiswa beruntung dari Pendidikan Dokter UIN Malang, berkesempatan untuk ikut khidmat merawat langsung Ustadz Fuad yang kondisinya sedang menurun. Seperti yang diketahui, filosofi angka tujuh ini berasal dari Ustadz Fuad yang cukup memilih angka tujuh dari 1-10, untuk menggambarkan ‘kesederhanaan dan syukur dalam hidup’ versi beliau. 

Menempatkan Skala Prioritas

Perjalanan untuk bertemu dua mata air dalam masa kemarau akhlak itu bermula dari telepon dr. Chris kepada saya, Jum’at malam (6/01). Saat itu, beliau tiba-tiba meminta bantuan saya dan dua teman lainnya untuk ikut merawat ‘pasien’ paliatif di Landungsari, yaitu guru beliau. Kami yang jauh dari kata ‘mengerti dan berpengalaman’ tenggelam dalam euforia diberi kesempatan dokter idola merawat sosok panutan. Saya pun mengiyakan tawaran beliau tanpa berpikir panjang.

Keesokan harinya, beliau mengajak kami untuk bertemu dan sowan langsung ke Landungsari. Namun, sebagai mahasiswa, kami mengabaikan ajakan beliau sebab masih idealis terikat tanggung jawab untuk menghandle acara perkumpulan mahasiswa Fakultas Kedokteran se-Indonesia yang saat itu diambil tender oleh jurusan kami. Minggu (8/01), beliau kembali menghubungi kami dengan tujuan serupa, namun dengan ringannya kami tetap mengutamakan acara tersebut yang berakhir di hari yang sama.

Dokter Chris adalah dosen kami di Kedokteran UIN Malang yang terkenal tegas, sigap, inovatif, dan out of the box. Terbukti, beliau tiga kali bertugas menjadi P3JH. Beliau sangat total dalam pelayanan kesehatan dan selalu melibatkan mahasiswa dalam segala aspek pelayanan yang beliau lakukan. Tujuannya tiada lain memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi anak didiknya. 

Hari demi hari berlalu, saat itu merupakan waktu libur semester. Kami sempat kehilangan kontak dengan dr. Chris, sehingga sempat membuat kami terbersit rasa sungkan dan berinisiatif untuk menghubungi beliau. Namun sesalnya, rasa itu tidak kami telisik lebih lanjut. Kamis (12/01), saya sempat berpapasan dengan dr. Chris dalam agenda Sumpah Dokter Angkatan satu fakultas kami. Namun anehnya, saya tidak berani menyapa beliau, sebab diliputi rasa bersalah. Malam harinya, kegelisahan saya terjawab. Saya tersadar bahwa tanpa sengaja, kami telah mengecewakan sosok guru dengan memprioritaskan hal yang tidak seharusnya.

Jum’at siang (13/01), saya memberanikan diri sowan secara langsung kepada dr. Chris di kampus. Duduk berhadapan empat mata dengan beliau membuat saya membisu. Saya hanya bisa mengucap maaf, sisanya hanya tertunduk malu sambil menangis. Beliau kemudian mengambil alih dan menyadarkan bahwa dengan lisan “menjawab iya”, sama saja kita telah berjanji dan mengambil amanah. Ketiga aspek tersebut lengkap terabaikan oleh saya. Beliau juga menyinggung tentang kelemahan kami menempatkan skala prioritas. Sebagai dokter dan calon dokter, tentu pasien yang seharusnya berada di opsi pertama.

Sore harinya, dr. Chris kembali mengajak saya ikut ke ndalem Landungsari. Saya sempat merasa tidak pantas untuk berangkat, namun kesempatan kedua yang diberikan ini menguatkan langkah saya bahwa saya harus sowan ke Ustadz Fuad untuk menebus rasa bersalah dan hormat kepada guru.

Pertemuan intens kami untuk observasi ketat kondisi Ustad Fuad berawal dari Jum’at malam (13/01), hingga kapundutnya Ustadz Fuad pada Jum’at (20/01). Tujuh hari yang singkat namun memberi pelajaran yang sangat kuat. Saat itu, kami yang awam dapat merasakan betul tentang kentalnya figur pengajar, kebijaksanaan, dan kekeluargaan dari kedua sosok guru, Ustadz Fuad dan Mbah Nun.

Jum’at malam (13/01), setelah dr. Chris dan kami melakukan follow up keadaan Ustadz Fuad, beliau yang didampingi Bu Udhiyah menyempatkan untuk bercerita dan memberikan wejangan kepada kami berenam. Sudah seperti cucu sendiri, malam itu kami diizinkan untuk menginap di ndalem beliau.

Sabtu pagi (14/01), rombongan Mbah Nun dari Jogja rawuh di ndalem Landungsari dan langsung menuju kamar utama tempat Ustad Fuad dirawat. Tidak berapa lama, kami juga dipanggil masuk ke kamar tersebut. Mbah Nun sempat menanyakan perkembangan Ustadz Fuad dan dilanjutkan dengan ngobrol santai. Perbincangan singkat di kamar harus berakhir setelah Bu Udhiyah dengan ramah mengetuk pintu kamar sembari tersenyum ramah dan berucap, “Makanan sudah siap”. 

Pengetahuan Kognitif dan Pengetahuan Metakognitif

Mbah Nun selanjutnya mengajak kami untuk ikut sarapan dengan beliau. Di meja makan, Mbah Nun bertutur dengan banyak topik sambil menyantap sarapan. Salah satu yang menarik, beliau sempat membahas mengenai datang ke majelis ilmu (Maiyah) meskipun tidur tidak  masalah, sebab ilmu akan tetap masuk. “Setiap sel anda punya pendengaran, punya kesadaran, punya penglihatan, punya daya kognisi. Orang ngertinya hanya intelektual. Di Maiyah tidak (seperti itu). Meskipun datang lalu tidur, ilmu akan tetap dapat, akan tetap masuk. Bentuknya tidak seperti yang Anda bayangkan di sekolahan. Pengetahuan tersebut belum tentu kamu sadari, tapi begitu kamu ditantang, kamu ngerti. Itu namanya kognisi ruh, metakognisi”, tutur Mbah Nun.

Singkatnya, pengetahuan kognitif didapat setelah kita belajar, namun dengan metakognitif, kita tiba-tiba bisa mengetahui tanpa tahu asal muasalnya. Kata Mbah Nun, hal itu tidak perlu dipelajari. Cukup menjalani hidup dengan  benar, tulus, rajin ibadah, dan baik kepada orang lain, ilmu tersebut akan keluar sendirinya.

Beliau juga menambahkan, kebanyakan orang berpikirnya selalu mingkup, tidak melebar. “Ojo iso sek kaet niat. Niatlah berbuat baik dulu”. Petuah ini sangat familiar bagi kami, sebab dr. Chris seringkali menyampaikan nasihat yang sama. Mbah Nun menegaskan, bahwa bisa atau mampu itu gampang, hanya perkara teknis saja. Kedudukan yang paling tinggi yakni jika kamu memiliki keinginan untuk mau melakukannya dengan ikhlas (iradah). “Angger kon gelem, kamu kepingin menyembuhkan kanca-kancamu, suwi-suwi iso dewe”.

Sayangnya, obrolan sarat ilmu tersebut harus berakhir karena beliau akan tindak ke Malang Kabupaten. Beliau menghaturkan terima kasih pada kami untuk support yang diberikan kepada Ustadz Fuad, meskipun pada kenyataannya kami yang seharusnya sangat berterima kasih sudah ditautkan pada takdir penuh indah ini. Momen obrolan di meja makan pagi itu menjadi titik balik tersadarnya kami akan alur indah yang telah Tuhan siapkan untuk bertemu mata air menyejukkan.

Kami mulai mencerna bahwa selama ini nasihat dr. Chris berkiblat dari kedua mata air tersebut. Beliau hanya ingin mengantarkan kami untuk ‘bertemu’ secara langsung pada sumber mata air yang telah ditemukannya lebih dahulu, tiada lain Ustadz Fuad dan Mbah Nun. Dari kejadian tersebut, kami baru tersadar bahwa sangat penting untuk mengasah sense of crisis atau kepekaan dalam aspek sekecil apapun.

Usai perjumpaan kami dengan Mbah Nun Sabtu itu, kondisi Ustadz Fuad sempat tidak stabil. Hingga tujuh hari berselang, Jum’at (20/01), kami kembali bertemu dengan Mbah Nun dalam keadaan dan kesempatan yang berbeda. Kami kembali melihat beliau secara langsung di Padhangmbbulan, Menturo, Jombang dalam rangka tahlilan kapundutnya Ustadz Fuad. Begitu banyak filosofi angka tujuh yang kami temukan tahun ini dan memberikan makna yang sangat berarti.

Sekali lagi, Sugeng Tujuh Dasawarsa, Mbah Nun. Terima kasih untuk terus menjadi sosok cahaya sekaligus mata air dalam remang-remang dan gelapnya akal kami. 

Batu, 27 Mei 2023

Lihat juga

Back to top button