PERSENTUHAN PUTHUT EA DENGAN SIMBAH DAN MAIYAH
Salah satu tamu yang datang pada momen Tawashshulan milad ke-70 tahun Mbah Nun di Rumah Maiyah, Kadipiro (27/5), adalah Mas Puthut EA. Beliau Kepala Suku Mojok (mojok.co), yang sekaligus seorang peneliti dan penulis. Buku karyanya sudah banyak rilis. Antara lain, Makelar Politik, Kelakuan Orang Kaya, Dunia Kali, Sastrawan Salah Pergaulan, Para Bajingan Yang Menyenangkan, dan Sarapan Pagi Penuh Dusta. Judul yang terakhir ini favorit saya.
Saat diundang ke depan oleh Mas Helmi, Sang Lurah Mojok mengaku bahwa niat kedatangannya khusus untuk mendoakan Mbah Nun yang pada hari itu genap berusia 70 tahun. “Walaupun sebenarnya kita-kita ini kurang pantas mendoakan beliau. Yang ada malah beliau (Mbah Nun) yang setiap saat mendoakan kita. Namun karena rasa cinta dan sayang, semoga doa kita diterima oleh Allah Swt.” Ucap Mas Puthut, yang disahut amiiin seluruh hadirin.
Ada beberapa hal menarik yang disampaikan Mas Puthut terkait pengalaman pribadinya berhubungan dengan Mbah Nun, yang patut kita cermati. Saya coba mencatatnya menjadi 7 poin penting.
Pertama, seperti teman-teman Jamaah lain, awalnya seorang Puthut EA menyaksikan Cak Nun dari jauh. Persentuhan itu dimulai ketika membaca buku Slilit Sang Kiai dan Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai karya Cak Nun. Teman-teman sudah baca? Selanjutnya muncul rasa penasaran untuk mengenal lebih jauh sosok yang terkenal dengan nama Emha Ainun Nadjib tersebut.
Kedua, Mas Puthut masih ingat betul ketika ia menghadiri sebuah forum yang diisi Cak Nun bertempat di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Sebagai cah filsafat, kala itu Mas Puthut mencoba mendekonstruksi kalau Cak Nun itu ya orang biasa. Tidak perlu disalami. Apalagi dicium tangannya.
Namun ketika forum selesai, gelombang orang dari belakang menyerbu ke arah Cak Nun untuk sekedar bersalaman hingga mencium tangan. Pemandangan itu yang akhirnya mendorong Mas Puthut ikut merangsek maju. “Karena ada kesempatan, aku maju, yo tak ambung tangane.” Aku Mas Puthut yang langsung membikin tawa Jamaah pecah. Di depan Cak Nun, ilmu filsafat seorang Puthut EA runtuh seketika.
Ketiga, Mas Puthut mengaku, perjumpaan pertamanya dengan Cak Nun yakni saat dirinya diajak Pak Toto Rahardjo berkunjung ke Rumah Maiyah, Kadipiro. “Dan rasanya, saya ingin menjaga jarak dengan Cak Nun. Biarkanlah gelombang cinta itu yang menyampaikan dari saya kepada beliau.” Ungkap Mas Puthut dengan penuh ketakziman.
Hampir lima tahun ini, saya pun mencoba melakukan seperti apa yang diungkapkan oleh Mas Puthut. Jaga jarak. Menjaga jarak itu baik. Bukan berarti jauh. Tetapi lebih ingin ngerem. Menahan. Menjaga dan menempatkan diri sebaik mungkin. Tidak sedikit kesempatan untuk saya bisa bertemu, atau berbincang, cium tangan, bahkan memeluk Mbah Nun. Tapi itu tidak saya lakukan. Dulu sudah pernah. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Keempat, sebagai seorang penulis, Mas Puthut sangat mengagumi kapasitas intelektual Cak Nun. Baik secara lisan (verbal) maupun tulisan. Banyak hal yang tidak dipikirkan orang, tetapi Cak Nun bisa memikirkannya dari sisi yang tak diduga. “Dan sampai sekarang, saya adalah pembaca setia tulisan-tulisan Cak Nun, baik yang berupa buku atau yang terdokumentasi di caknun.com,” imbuhnya.
Kelima, Mas Puthut juga urun pandangan, jika pada banyak hal, Cak Nun itu sering disalah pahami. “Padahal sebetulnya itu hanya perkara pemahaman kita saja yang belum tekan (sampai). Atau memang kita sama sekali tidak memikirkan hal itu.” Terang Mas Puthut, dan saya sangat setuju.
Pernyataan dari Mas Puthut mengingatkan kita kembali pada nasihat lama Simbah. Perihal mengerti sedikit dari sedikit hal. Mengerti banyak dari sedikit hal. Mengerti sedikit dari banyak hal. Dan mengerti banyak dari banyak hal. Dalam konteks apa pun, kita pasti pernah berada di antara empat posisi tersebut. Selanjutnya tinggal bagaimana kita sebaiknya memposisikan diri. Agar sikap dan tindakan kita tepat. Tidak ngawur. Dan srampangan. Begitu kira-kira.
Keenam, menurut Mas Puthut, yang paling luar biasa adalah Maiyah. “Ini forum yang tidak pernah saya temukan di mana-mana. Yang kemudian membuat banyak peneliti meneliti soal Maiyah. Ini forum yang egaliter, aspiratif, dan menampung banyak hal. Bahkan selesai forum, Cak Nun masih sedia dan setia menyalami ribuan orang.” Kenang beliau.
Ketujuh, sebagai penutup dan harapan, Mas Puthut menegaskan bahwasanya energi dan keikhlasan Cak Nun merawat kebersamaan, ngancani anak-cucu, melayani banyak orang di berbagai tempat, yang mudah-mudahan dan semoga membuat bangsa Indonesia selamat. InsyaAllah Indonesia baik-baik saja.” Pungkasnya.
Sekali lagi, panjang umur Mbah Nun. Mabruk.
Gemolong, 1 Juni 2023