PUASA ESENSIAL VS PUASA FORMALITAS
Ada kata esensial dan ada kata formal. Bila dilihat dari katanya, kata ‘esensial’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti ‘perlu sekali’, ‘mendasar’, dan ‘hakiki’. Sedangkan kata ‘formalitas’ mempunyai arti ‘bentuk (peraturan, tata cara, prosedur, kebiasaan) yang berlaku’.
Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah adanya upaya dari segala lini untuk mendegradasi nilai esensial ‘puasa’. Media massa, pelaku bisnis, pemangku kebijakan bahkan institusi-institusi ikut dalam kiprah ini. Mendegradasi makna puasa! Hanya puasa formal yang mereka selalu highlight! Sekadar tidak makan dan tidak minum dari fajar sampai terbenamnya matahari.
Sementara itu, perilaku, keinginan, dan syahwat mereka masih sebagaimana hari hari biasa, bahkan syahwat belanja makin menjadi-jadi, karena iming-iming iklan di TV dan medsos. Enaknya kalo buka dengan makanan ini, minum ini dan makan di restoran ini. Rumah-rumah makan, hotel-hotel, instansi, sekolah-sekolah bahkan sampai kelompok dasa wisma membikin acara buka bersama. Paket buka bersama ditawarkan dengan menu yang menggiurkan di mana tidak semua menu pasti akan terjamah atau termakan.
Formal puasanya selalu diangkat, dalam artian puasa untuk tidak makan dan tidak minum. Sehingga para pelaku bisnis sangat memanfaatkan hal ini. Kalau di dalam Al-Qur’an dikatakan: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, maka bisa jadi bagi pelaku bisnis yang menjual barang dagangannya bisa berbunyi “diwajibkan atas kamu berpuasa di siang hari agar kamu berbuka sepanjang malam hari”. Itu kenyataan yang kita hadapi sehari-hari.
Blasting produk bisnis sebelum dan selama Ramadahan, dengan memanfaatkan momentum Ramadhan ini, menjadi sesuatu yang mendegradasi nilai-nilai puasa itu sendiri. Seolah-olah puasa dipakai sarana persiapan untuk berbuka, dimana buka puasanya jauh melebihi apa yang biasa dimakan tiap hari. Belum lagi kita sendiri yang bikin spanduk ‘hormatilah bulan puasa’, terus ada yang melanjutkan dengan melarang buka warung makan di siang hari. Loh apa-apaan ini. Orang buka warung makan kan untuk meladeni yang sedang tidak berpuasa, atau orang yang memang harus makan, karena apapun sebabnya. Penjual makanan itu mencari rezeki dari berjualan makanan. Tidak lalu mentang-mentang ini bulan puasa terus gak boleh jualan.
Di hadapan saya adalah insan-insan yang berpuasa sepanjang hari. “Guru-guru” saya ini harus ‘berpuasa’ menahan diri dari apa yang menjadi kesenangan mereka karena sakitnya. Mereka harus menjalani proses pengobatan yang berlangsung bukan hanya 1-2 hari, bukan hanya 1-2 minggu, atau bukan hanya 1-2 bulan. Tetapi, mereka menjalaninya berbulan-bulan bahkan bertahun tahun. Masa-masa yang mestinya mereka riang gembira, bermain di sawah sambil bersendau gurau bersama teman sebayanya. Masa-masa di mana mereka senang bernyanyi, menggambar, bercerita, sambil sesekali bertengkar. Waktu di mana mereka habiskan di lingkungan yang indah. Tetapi karena sakit mereka, ‘guru guru’ saya itu harus ‘berpisah’ dengan hal-hal yang menggembirakan mereka.
Mereka harus ‘berpuasa’ dari semua kegembiraan mereka itu, bahkan mereka harus ‘dibelenggu’ di sebuah tempat yang bernama ‘Rumah Sakit’. Tempat yang amat sangat tidak mereka sukai. Tetapi mereka harus menjalaninya. Bukan hanya si anak yang sakit, tetapi kedua orang tua mereka serta sanak saudara mereka juga turut merasakannya.
Berbuka puasa untuk mereka bukanlah makan dan minum yang enak (menurut kita). Bagaimana lidah mereka bisa merasakan enaknya makanan, sedangkan tubuh mereka sedang menderita sakit yang serius. Buka puasa bagi mereka adalah ketika mendengar kata-kata ‘hari ini sudah boleh pulang’. Saat itulah wajah mereka akan berbinar-binar dan senyum akan mengembang di bibir mereka. Juga kedua orangtua mereka!
Maret 2023
Dok. Foto: Jamal Jufrie