PENGGIAT MANEGES QUDROH NYENGKUYUNG JAMBORE PANTI ASUHAN SE-JAWA TENGAH
“Manusia sangat gemar menciptakan berhala untuk dituhankan. Baik di bidang keartisan, kebudayaan, politik atau apapun saja. Mereka yang bikin berhala, ditonjol-tonjolkan, diumum-umumkan, diviral-viralkan, dicitra-citrakan. Mereka sendiri yang menuhankan berhala itu. Tapi kapan berhala itu tidak menguntungkan, tidak marketable, tidak laku di pasaran, mereka ganti tuhan yang baru.” dikutip dari tulisan Mbah Nun Berhati-hatilah pada Manusia (https://www.caknun.com/2017/berhati-hatilah-pada-manusia/)
Di antara gegap gempita perhelatan akbar sebuah kontestasi pemilihan pemimpin, yang membuat semua arah mata tertuju kepadanya, perhatian dan pikiran pun siap untuk dicurahkan habis-habisan demi keadaan yang lebih baik dan maju ‘katanya’ dalam satu periode kepemimpinan mendatang.
Namun, apa yang menjadi atensi juang di secuil kelompok ini adalah hal sebaliknya. Membentuk sebuah pasukan bukan untuk memenangkan salah satu pihak atau kelompok, tapi hanya untuk menjadi abdi yang siap untuk menyapa orang-orang mulia yang akan hadir. Bukan untuk menjadi suatu pasukan ekslusif, tapi menjadi ”Bolodupak” demi lancarnya sebuah acara.
Ya, sebuah acara bertajuk Jambore Kebudayaan Panti Asuhan se-Jawa Tengah yang akan diselenggarakan oleh Forum LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) pada tanggal 27-29 Oktober 2023 di Balkondes Desa Wringinputih, Borobudur, Magelang. Rencananya acara tersebut akan diikuti oleh ribuan anak-anak Panti Asuhan dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya.
Kebetulan yang menjadi ketua forum LKSA sendiri adalah salah satu penggiat awal (sesepuh) Maneges Qudroh Megelang, yang juga menjadi salah satu dari sebelas koordinator Maiyah, yakni saudara Eko Mulyono. Maka dari itu, dulur-dulur dari Maneges Qudroh secara suka rela siap tidak hanya untuk sekedar nyengkuyung, namun menjadi ”bolodupak”
Secara harfiah, bolodupak sendiri memiliki arti sebagai suatu pasukan yang siap untuk ditendang-tendang oleh atasan/pimpinannya. Dan yang menjadi penggerak hati dari dulur-dulur disini adalah kerelaan untuk menjadi apa saja demi anak-anak mulia yang akan hadir.
Meskipun dalam acara tersebut sudah banyak komunitas atau kelompok lain yang nyengkuyung, seperti FPRB dan LINMAS Desa Wringinputih, Guruh Merapi, TURKI, BPBD, TAGANA, dan juga Komunitas Toyota Kijang Kotak, justru menjadi suatu kesempatan untuk saling nepungke antar kelompok satu dengan yang lainnya.
Mau tidak mau, suatu simpul dalam pandangan masyarakat umum tidaklah lebih dari suatu komunitas, sekalipun tidak pernah menasbihkan dirinya sebagai suatu komunitas. Pergerakan ini pun menjadi salah satu perwujudan, bahwa ini adalah suatu prosesi persembahan atas cinta yang dititipkan kepada khalayak umum ke depannya. Sebagai jawaban atas pertanyaan, tidak hanya berkumpul duduk-duduk ngopi, mikir dan wiridan saja. Dan saya sendiri meyakini kalau orang yang membuat pernyataan atau pertanyaan seperti itu, mesti kurang adoh dolane.
Apalagi dalam konteks acara Jambore Kebudayaan ini, yang menjadi dasar langkah kami adalah pesan “innama turhamuna wa tunshoruna wa turzaquna bi dhuafaikum”. Bukan kepada yang kian diviral-viralkan dan dicitra-citrakan untuk memimpin bangsa, akan tetapi kepada yang dilemah-lemahkan, kepada anak-anak asuh yang tiap hari disuruh merasa yatim atau tak punya orang tua.
Kembali ke arena Bolodupak, melihat tandang giat yang dilakukan oleh dulur-dulur Maneges Qudroh selama dua hari ini, dari pagi hingga malam hari, yang silih berganti mengisi peran mencari pring untuk keperluan membuat toilet sementara dan mempersiapkan tandon air untuk keperluan selama acara berlagsung.
Di sisi lain, beberapa penggiat yang berbasis seni juga turut mendukung acara dengan mengakomodir latihan koor atau paduan suara dan juga turut mengisi pentas pada saat berlangsungnya acara. Sungguh menyenangkan, melihat gerak-gerak kecil bolodupak yang terpadu menjadi sebuah keindahan dan keharmonisan dalam ajang pentas yang tidak menguntungkan, tidak marketable, bahkan tidak laku di pasaran.
(Redaksi Maneges Qudroh)