MIKRAJ KELEMBUTAN
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Dualapanan Lampung edisi Februari 2023)
Suka duka, tangis tawa, muram sumringah adalah kondisi kepastian emosi yang dilalui setiap insan dalam kapasitas apapun ia, apakah ia seorang ayah, ibu, guru, mahasiswa, kepala negara hingga RT, pemuka agama, pun aktivis LSM, jurnalis, youtuber dll. Jangankan ia yang tergolong manusia biasa, sekelas Rasul, Nabi, Ulama, Wali dan orang sholihin yang mewarisi risalah ketuhanan setelahnya, walaupun dengan kadar ujian yang lebih besar daripada manusia biasa juga mengalaminya, dan tentu jika dilihat dari kacamata orang biasa dapat dipastikan tidak mampu menghadapinya.
Hal tersebut juga terjadi pada Rasululullah Muhammad, Manusia terbaik kekasih Allah dan sekalian alam pun merasakan kondisi tak mengenakkan tersebut yang puncaknya yang dikenal dengan Amul Huzni yaitu Tahun Penuh Kesedihan. Keadaan ini terjadi pada tahun ke-10 nubuwah (kenabian). Saat itu Nabi Muhammad Saw kehilangan dua orang tercintanya sekaligus, yakni Abu Thalib sebagai pamah dan sang istri tercinta, Sayyidah Khadijah. Abu Tahib meninggal di usia 80 tahun, sedangkan Sayyidah Khadijah meninggal ketika usia 65 tahun pada tanggal 10 Ramadhan, atau tiga tahun sebelum Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah.
Kehilangan sosok paman dan istrinya tersebut bukan hanya kehilangan jasadiyah namun kehilangan support system perjuangan dalam berdakwah selama ini dikenal sebagai sosok yang senantiasa mendukung dakwah beliau, baik jiwa raga dan hartanya bahkan beliau merupakan wanita pertama yang memeluk agama Islam ketika risalah kenabian diterima Rasulullah. Sedangkan sang paman adalah satu-satunya keluarga beliau yang mengantarkan beliau hingga dewasa bahkan hingga menerima risalah namun kesedihan mendalam di lubuk hati Rasulullah disebabkan hingga akhir hayat sang paman belum memeluk agama Islam.
Selayaknya sang kekasih, tentu tidak membiarkan kekasihnya dalam kesusahan, maka melalui malaikat Jibril, Allah Swt. meminta Rasulullah untuk bersafar dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yaitu perjalanan melipat ruang dan waktu dengan kecepatan cahaya yang dikenal dengan Isra dan kemudian bersama Jibril dari Masjidil Aqsha melanjutkan perjalanan ke langit ke-7 yang tiap langitnya ditemui oleh berbagai kondisi penghuni langit tersebut hingga menuju tujuan terakhir yaitu sidratul muntaha menemui Allah. Rasulullah diminta untuk menemui sendirian bahkan tidak didampingi malaikat Jibril. Ketika Rasulullah tiba di hadapan Allah beliau memuji dan menyanjung Allah dengan mengatakan: “Attahiyatul mubarakatuhs-solawatut-taiyibatu lillah”
Artinya “Segala penghormatan yang berkat sholat yang baik adalah untuk Allah.”
“Assalamu’alaika aiyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakatuh,” balas Allah.
Artinya “Sejahtera atas engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatannya.”
Kemudian ditimpali lagi oleh Rasulullah dengan menjawab “Assalamu’alaina wa’ala ibadillahis salihin. Asyhadu alla ilaha illallah. Wa-asy-hadu anna Muhammadar rasulullah.”
Artinya: “Sejahtera ke atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah.”
Kemudian Allah menghibur kebuntuan Rasulullah dengan menghadiahi ibadah shalat yang semula berjumlah 50 rakaat dan saat Rasulullah ingin kembali ke bumi beliau berjumpa beberapa kali dengan Nabi Musa yang menyarankan untuk meminta keringanan jumlah rakaat yang dikhawatirkan memberatkan umatnya.
Mengambil ibroh dari kisah israk mikraj tersebut kondisi kalut yang dialami Nabi Muhammad Saw. seakan masalah menghantam dari depan, belakang kanan pikir dan semua sudut maka tak ayal tidak ada harapan lain selain mengharap ke arah atas yaitu sumber segala solusi yaitu kepada Allah Swt.
Dalam satu kesempatan Syaikh Nursamad Kamba menuturkan bahwa para jamaah melingkar, berkumpul, dan sangat asik menikmati Sinau Bareng atau Maiyahan itu terjadi bukan terutama karena ilmu, melainkan karena di kedalaman jiwa mereka dianugerahi oleh Allah Swt. semacam tetes kelembutan. Kemudian oleh Mbah Nun diajarkan kepada anak cucu Maiyah sebuah wirid untuk melembutkan hati dan pikiran akan setiap kegundahan agar dapat diselesaikan.
“Barangsiapa ingin hidupnya lebih baik, lebih segar, lebih tenteram, dan lebih terlindung — cukuplah tetes Muhammad itu ada di dalam dirinya dan menjadi inti ruh dalam jasadnya. Jamaah Maiyah ber-riyadlah memohon kepada Allah agar diperkenankan mendapatkan Tetes Kelembutan Muhammad itu di dalam hatinya, tubuhnya, ruh dan hidupnya,“ kata Mbah Nun dalam suatu kesempatan Sinau Bareng.
Tetes Kelembutan Muhammad yang jika dibahasaarabkan menjadi Qothrotu Luthfi Muhammadin yang berbunyi :
Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi qalbi
(Ya Allah, berilah kami tetes kelembutan Muhammad di hatiku)
Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi jasadi
(Ya Allah, berilah kami tetes kelembutan Muhammad di badanku)
Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi ruhi
(Ya Allah, berilah kami tetes kelembutan Muhammad di ruhku)
Robbana atina qothrota lutfhi Muhammadin fi hayati
(Ya Allah, berilah kami tetes kelembutan Muhammad di hidupku)
Semoga Allah memperkenankan tetes kelembutan Muhammad di dalam diri kita menjadi sumber ketenteraman, kesejahteraan, kesehatan, dan ketangguhan dalam menjalani kewajiban hidup yang Allah tetapkan.
Penggiat Maiyah Dualapanan mengajak para sedulur, anak cucu Maiyah, dan anak bangsa generasi penerus untuk mentadabburi nilai Kelembutan Muhammad sebagai bekal kehidupan di dunia hingga akhirat dalam forum sinau bareng Maiyah Dualapanan yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2023 pukul 20.00 WIB, di panggung terbuka halaman SMP SMA Al Husna Kompleks Ponpes Al-Muttaqien Pancasila Sakti Kemiling Bandar Lampung.
(Redaksi Maiyah Dualapanan)