MERAJUT CINTA DI JAKARTA

(Untuk 23 Tahun Kenduri Cinta Jakarta) 

Setengah mati engkau membanting tulang mencari nafkah untuk keluargamu. Mulia sudah engkau di hadapan Tuhanmu. Jadi kenapa engkau datang kepadaku?

Yang ada padaku hanya cinta.

Engkau bilang bahwa engkau mencari dan menunggu solusi atas masalah-masalah. Mu’min sudah engkau ini. Hamba Tuhan yang memperjuangkan keamanan. Keamanan diri dan keluargamu dari masalah-masalah. Dan kelak kau perjuangkan juga keamanan ummatmu, masyarakat dan bangsamu, keamanan dari kemiskinan, keamanan dari kehancuran martabat, keamanan dari batas kemerdekaan di hadapan Tuhan.

Tapi kenapa engkau datang kepadaku? Yang tergeletak di meja tamuku tidak hanya cinta, tetapi lebih abstrak dan bikin pecah kepala: cinta sejati. (DAUR I-12, Emha Ainun Nadjib, 2016).

Jakarta adalah lambang kemajuan di negeri ini. Jakarta juga menjadi simbol kesuksesan. Tak ayal masyarakat urban berkumpul di Jakarta. Mereka datang dari desa-desa untuk mengadu nasib di Jakarta. Hmm.. Mengadu nasib katanya. Kenapa harus diadu? Dan kenapa harus di Jakarta?

Kehidupan Jakarta begitu semarak. Seolah tak ada jeda. Mungkin, hanya pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu yang sanggup menonaktifkan sejenak keriuhan hiruk-pikuk kehidupan Jakarta. Saat itu, tak ada kemacetan, tak ada lalu lalang orang di jalanan. Penumpang di angkutan umum pun sangat sedikit. Bukan hanya lengang, namun benar-benar sunyi saat itu. Setelah status pandemi dicabut, Jakarta kembali kepada kelazimannya. Macet dimana-mana. Kaum pekerja memadati jalanan Ibukota. Moda transportasi umum pun dipenuhi oleh mereka yang harus berjibaku dengan kehidupan Jakarta, demi mengadu nasib. 

Di satu sudut pusat Jakarta, di bilangan Cikini, tergelar sebuah forum yang lahir 23 tahun lalu atas niatan yang sangat sederhana; silaturahmi. Pasca Reformasi, Cak Nun bersama KiaiKanjeng berkeliling di kampung-kampung Jakarta dan pelosok desa lain di Indonesia untuk membumikan kembali sholawat. Gerakan itu diberi nama oleh Cak Dil; HAMAS (Himpunan Masyarakat Sholawat). Cak Nun semakin padat jadwalnya, sehingga perlu adanya sebuah konsep pertemuan yang memungkinkan untuk dilakukan di satu meeting point. Idenya sangat sederhana, agar semua yang ingin bertemu dengan Cak Nun dapat berkumpul di satu tempat. Seingat saya, berdasarkan literatur arsip di Kenduri Cinta, ide itu muncul atas inisasi para member di milis Padhangmbulan.net saat itu.

Di awal 2000, saat akses internet masih dial up, dan sangat terbatas, hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit. Tentu saja alasan utamanya adalah biaya internet yang belum terjangkau masyarakat luas saat itu. Jakarta menjadi kota pertama tentunya yang menikmati layanan internet di Indonesia. Teman-teman yang menjadi member milis Padhangmbulan.net yang kemudian menginisiasi lahirnya Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki. Dari arsip yang ada, Kenduri Cinta edisi pertama diselenggarakan pada 9 Juni 2000.

23 tahun berjalan, Kenduri Cinta masih eksis. Ada beberapa momen Kenduri Cinta sempat vakum. Dinamika organisasi dalam perjalanan Kenduri Cinta turut mewarnai. Benar adanya, merintis, mendirikan adalah sesuatu yang lebih mudah daripada memupuk, menyemai, menyirami, merawat. Itu satu hal lain yang juga membutuhkan perjuangan. Seorang petani, jika ingin berhasil memanen dengan kualitas yang baik, tidak hanya berhenti pada proses menanam benih. Kenduri Cinta, para penggiatnya tidak cukup hanya berbekal istiqamah atau konsistensi semata. Ada perjuangan dan pengorbanan yang lebih dari itu. Disiplin dan juga komitmen yang kuat untuk mengelola forum Kenduri Cinta adalah hal yang mutlak.

Penggiat Kenduri Cinta pun boleh datang dan berganti. Atas dasar kesepakatan terhadap nilai yang sama, mereka setia untuk merawat forum ini. Nyatanya, meskipun ada banyak benturan, gesekan, tabrakan yang dialami, mereka ini yang tetap bertahan untuk terus merawat Kenduri Cinta. Penggiat Kenduri Cinta yang notabene adalah kaum pekerja di ibukota, menjadi bagian dari masyarakat urban yang mengadu nasib di Jakarta, yang sehari-hari berjibaku dengan kejamnya kehidupan Ibukota, namun setia menyediakan sedikit waktunya untuk merawat keberlangsungan Kenduri Cinta.

Oase yang Menyegarkan

Banyak yang bilang bahwa Kenduri Cinta adalah oase yang menyegarkan di Jakarta. Ada juga yang memiliki pandangan bahwa Kenduri Cinta adalah rumah tempat mereka singgah, menepi sejenak dari kerasnya kehidupan di Jakarta. Tak heran jika jamaah yang datang setiap bulan pun silih berganti. Ada jamaah yang memang selalu datang setiap bulan, ada yang hanya datang sesekali, dan setiap edisinya ada saja jamaah yang baru pertama kali datang ke Kenduri Cinta.

Merangkai nilai, merajut makna. Sebuah slogan penyempurna dari gagasan; Menegakkan cinta menuju Indonesia mulia. Kenduri Cinta hadir sebagai wahana ilmu bagi masyarakat urban ibukota yang sangat heterogen. Sebuah tema dikupas dari berbagai sisi, menghadirkan khasanah ilmu yang baru.

Seperti halnya Padhangmbulan di Menturo Jombang, yang menjadi oase masyarakat di saat kemunculannya pada medio Oktober 1993. Padhangmbulan sendiri pun berawal dari sebuah ide sederhana Cak Dil (adik Cak Nun) saat itu; agar ada kesempatan untuk Cak Nun pulang ke Menturo, bertemu dengan keluarga. Informasi mengenai Padhangmbulan tersebar dari mulut ke mulut, berduyun-duyun orang berdatangan ke Menturo, sebuah desa yang berada di pojokan Jombang. Mereka berkumpul, duduk beralaskan alas sederhana, memenuhi halaman hingga jalanan desa. Saat itu, Menturo adalah desa yang secara akses belum semudah sekarang. Orang berdatangan secara rombongan ke Menturo dengan menyewa truck, atau kendaraan bak terbuka, datang dari kota lain. Mereka datang demi merasakan kesegaran di oase Padhangmbulan. 

Keresahan yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari, seakan tercerahkan di Padhangmbulan. Cak Nun sebagai sosok sentral yang saat itu sangat populer di panggung nasional, menjadi magnet tersendiri. Tak jarang, Cak Nun mengajak serta beberapa koleganya di Jakarta untuk hadir di Padhangmbulan. Yang pasti, satu hal yang dinantikan adalah gagasan-gagasan segar yang dilontarkan oleh Cak Nun di Padhangmbulan. Kritik tajam kepada penguasa saat itu, tak banyak yang berani menyampaikannya. Cak Nun adalah satu dari segelintir orang yang sangat berani untuk menyampaikan kritik tajam kepada penguasa Orde Baru saat itu. Suasana seperti inilah yang selama ini tergambarkan di setiap forum Maiyahan, tak terkecuali di Kenduri Cinta.

Secara lokasi, gambaran Kenduri Cinta saat ini hampir sama dengan Padhangmbulan. Jamaah yang datang ke Kenduri Cinta adalah jamaah yang memang sudah berniat dan menyengajakan diri untuk datang ke forum Maiyah di Jakarta ini. Jika dulu saat Kenduri Cinta masih berlangsung di pelataran parkir halaman depan Taman Ismail Marzuki, jamaah yang datang bisa saja karena mereka awalnya sekadar lewat area tersebut, melihat ada kerumunan massa, lalu ikut menikmati berlangsungnya forum. Namun sekarang, dengan lokasi di area dalam Taman Ismail Marzuki, secara psikologis sudah tertanam bahwa siapapun saja yang datang ke Kenduri Cinta, adalah mereka yang sudah meniatkan dirinya untuk datang, untuk duduk melingkar bersama, untuk sinau bareng.

Akses informasi semakin mudah didapatkan sekarang. Media sosial menjadi corong informasi paling dekat dengan masyarakat. Secara demografi, jamaah Kenduri Cinta hari ini lebih banyak mengenal sosok Cak Nun dari konten-konten yang bertebaran di media sosial, baik berupa teks, foto hingga video yang durasinya sangat variatif. Sangat jarang dari mereka yang baru bersentuhan dengan Maiyah atau Kenduri Cinta karena sebelumnya membaca tulisan atau karya-karya Cak Nun.

Dengan kemajuan dunia digital ini, menjadi tantangan tersendiri bagi penggiat Kenduri Cinta untuk mengemas konten dari forum yang terlaksana rutin setiap bulan ini. Pakem dasar mengenai poster, mukadimah, hingga reportase tetap menjadi sebuah pra-syarat. Sehingga dokumentasi berlangsungnya forum secara ajeg terarsipkan dengan rapi. Dengan adanya resource yang lebih beragam, konten video Kenduri Cinta kini bisa diolah lebih cepat. Jika reportase singkatnya bisa dibaca dalam hitungan jam setelah acara berlangsung, untuk konten video baru bisa dinikmati oleh jamaah yang tidak sempat hadir pada kisaran waktu H+2 dari gelaran forum.

Sekali lagi, merintis adalah proses awal yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Tetapi bagaimana merawat apa yang sudah dirintis, itu perjuangan yang lain yang membutuhkan kesiapan mental dan disiplin yang lebih advance. Nafas utama dari para penggiat Kenduri Cinta yang mengurusi dapur keberlangsungan forum ini adalah volunteer. Dan mereka yang berjibaku di dapur forum ini bukanlah para pengangguran yang sehari-hari ndomblong, ngelamun, lalu sebulan sekali mandegani forum Kenduri Cinta. Bukan. Mereka adalah para pekerja profesional di bidangnya masing-masing. Mulai dari pengusaha, karyawan perusahaan nasional dan multinasional, pedagang, driver ojol dan lain sebagainya.

Mereka yang sudah dengan sukarela mempersiapkan keberlangsungan forum, hingga memproses output konten pasca acara, bukan hanya mengorbankan waktu, tenaga dan fikiran dari dirinya saja, tetapi juga berkorban menunda sejenak waktu akhir pekan bersama keluarga untuk proses produksi konten yang kemudian dinikmati oleh jamaah digital Maiyah melalui kanal Youtube caknun.com.

Pada akhirnya, fakta bahwa Kenduri Cinta menjadi oase yang menyegarkan di Jakarta memang tidak terbantahkan. Seperti kutipan tulisan Cak Nun di awal, Cak Nun telah menegaskan; ”Yang ada padaku hanya cinta”. Cinta yang berpendar di Kenduri Cinta mengejawantah dalam nuansa dan suasana yang selalu dirindukan. Ada ketenangan, ada kesegaran, ada kedamaian, ada kebersamaan, ada banyak nuansa yang kita rasakan di Kenduri Cinta.

Membawa Hati Maiyah

”Bawalah hati Maiyah”. Sebuah pesan dari Cak Nun pada satu momen di Maiyahan. Maiyah bukanlah ormas, bukan lembaga, atau jenis padatan lainnya. Karena Maiyah adalah sebuah energi yang mengalir, ia adalah gelombang yang ditransmisikan oleh siapapun saja yang bersentuhan dengannya. Meskipun tetap dengan kesadaran bahwa Maiyah memerlukan organisme yang tertata. Orang Maiyah bebas menjadi apapun saja di kehidupan sehari-harinya, ia boleh menjadi pejabat, ia boleh menjadi pengusaha, ia boleh menjadi guru, ia boleh menjadi pedagang. Dengan begitu, harapannya ia akan membawa hati Maiyah dalam kehidupan sehari-harinya, ia menularkan nilai-nilai Maiyah, mentransformasikan nilai-nilai Maiyah tanpa harus mendeklarasikan bahwa dirinya adalah orang Maiyah.

23 tahun Kenduri Cinta telah mewarnai Jakarta. Sebagai sebuah komunitas, Kenduri Cinta mampu bertahan hingga saat ini, tak lekang oleh zaman, tak terpengaruh oleh dinamika Ibukota sebagai pusat peradaban Indonesia. Setia untuk menjadi dirinya tanpa harus membebek pada arus zaman yang terus bergulir tanpa kepastian. Sebagai forum, 23 tahun terselenggara dan bertahan, menyajikan wacana, ide dan gagasan yang menyegarkan. Menjadi podium bagi siapapun saja yang ingin berpendapat. Menjadi arena mimbar bebas untuk siapapun saja yang ingin berbicara. Juga menjadi panggung bagi siapapun saja yang ingin mengekspresikan karyanya.

Kenduri Cinta akan tetap menjadi rumah bagi siapapun saja yang singgah. Mungkin hanya menjadi tempat untuk menepi, mengambil jeda sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Kenduri Cinta akan tetap menjadi dirinya, tanpa harus terpengaruh oleh lipatan zaman yang semakin ruwet.

Selamat ulang tahun Kenduri Cinta. Semoga, semakin memberi arti bagi setiap diri.

Lihat juga

Back to top button