23 TAHUN BERPROSES, KENDURI CINTA MENJADI FORUM ILMU MULTIDIMENSI
(Catatan Kenduri Cinta Jakarta edisi Juni 2023)
Tidak lama berjarak dari edisi sebelumnya yang diselenggarakan pada 26 Mei 2023, Kenduri Cinta edisi Juni kali ini dihelat pada 15 Juni 2023. Ya, di hari Kamis. Maju satu hari dari jadwal regulernya di hari Jum’at. Padatnya agenda di Taman Ismail Marzuki membuat Kenduri Cinta harus menggeser jadwal. Tak masalah, fleksibel saja memang. Nyatanya, meskipun harus maju satu hari dari jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya, jamaah yang datang ke Plaza Teater Kecil Taman Ismail Marzuki tadi malam membludak.
Secara koordinasi, penggiat Kenduri Cinta memang selalu mengupdate jadwal untuk agenda bulanan kepada pihak pengelola Taman Ismail Marzuki. Setiap menjelang agenda Kenduri Cinta dilaksanakan, penggiat Kenduri Cinta pun bertemu dengan perwakilan UP PKJ TIM untuk technical meeting. Selain untuk membicarakan persiapan teknis, technical meeting menjadi media silaturahmi antara penggiat Kenduri Cinta dengan pihak UP PKJ TIM itu sendiri. Tidak dipungkiri, jalinan silaturahmi antara Kenduri Cinta dengan Taman Ismail Marzuki memang sudah terbangun sejak awal lahirnya Kenduri Cinta. Meskipun staf UP PKJ TIM berganti, tetapi hubungan silaturahmi tetap terjaga dengan baik.
Saat pagelaran teater WALIRAJA-RAJAWALI tahun lalu, Kenduri Cinta bahkan menggelarnya di hari Sabtu. Pernah juga Kenduri Cinta dihelat di hari Senin. Jadi memang sebenarnya fleksibel saja untuk jadwal penyelenggaraannya. Meskipun secara default dijadwalkan pada Jum’at pekan kedua setiap bulannya.
Bulan Juni selalu menjadi momen spesial bagi Kenduri Cinta karena bertepatan dengan bulan kelahiran forum Kenduri Cinta. Di tahun 2014, Kenduri Cinta dihelat dengan konsep kolosal dengan menghadirkan Gamelan KiaiKanjeng dan Komunitas Lima Gunung. Di tahun 2016, di momen ulang tahunnya, Kenduri Cinta menghadirkan Letto. Lalu di tahun 2017, saat merayakan ulang tahun, Gamelan KiaiKanjeng dihadirkan. Setelahnya, sampai tahun ini, Kenduri Cinta belum kembali membikin momen perayaan yang wah seperti tahun 2014, 2016, dan 2017. Sejak tahun 2018, ulang tahun Kenduri Cinta dirayakan dan disyukuri secara sederhana.
Namun, bukan soal perayaannya sebenarnya yang menjadi fokus utamanya. Kenduri Cinta sebagai forum yang sudah berlangsung selama 23 tahun ini juga perlu direfleksikan pada setiap diri jamaahnya. Apa yang sebenarnya menjadi daya tarik bagi kita di Kenduri Cinta sehingga kita selalu kangen dan selalu datang lagi pada setiap edisi gelarannya. Bahkan, tidak peduli akan diselenggarakan di hari Jum’at atau hari lainnya. Di awal bulan atau di akhir bulan. Nyatanya itu sudah tidak menjadi pertimbangan lagi.
Tadi malam, jamaah yang datang memenuhi area Plaza Teater Kecil TIM. Secara psikologis, dengan digelarnya Kenduri Cinta di area dalam Taman Ismail Marzuki, maka bisa dipastikan bahwa jamaah yang datang adalah mereka yang memang sudah berniat untuk hadir dan sudah menyengajakan diri untuk datang. Informasi hari ini sangat mudah diakses. Penggiat Kenduri Cinta cukup menginformasikan melalui akun media sosial, dalam sekejap saja informasi sudah tersebar luas.
Sedikit berbeda dengan Kenduri Cinta ketika dihelat di area pelataran parkir di halaman depan Taman Ismail Marzuki beberapa tahun lalu sebelum direvitalisasi menjadi gedung parkir seperti sekarang ini. Revitalisasi TIM sendiri memang mengubah tata letak gedung-gedung di TIM. Jika dulu ada Bioskop di dalam area TIM, saat ini sudah tidak ada lagi. Ketika Kenduri Cinta digelar di pelataran parkir depan, banyak orang yang awalnya tidak mengetahui adanya Kenduri Cinta. Saat itu, banyak jamaah yang baru mengenal Kenduri Cinta karena mereka awalnya penasaran dengan banyaknya orang yang berkumpul di area parkir, akhirnya ikut menyimak, lalu menjadi kenal dengan Maiyah. Juga ada media baliho yang dipasang di etalase depan TIM saat itu. Berbeda dengan sekarang, sudah tidak ada baliho yang dicetak. Informasi hanya disebar melalui media sosial. Namun, memang sudah zamannya. Informasi lebih efektif tersebar.
Memaknai 23 Tahun Kenduri Cinta
Setelah dibuka dengan tadarrus Al Qur’an dan beberapa wirid serta sholawat, diskusi sesi Mukadimah dimulai dengan mengupas tema URJA CINTA PARIVARTANA. Tema yang sebenarnya sudah dikupas dengan detail dalam Mukadimah Kenduri Cinta bulan ini. Pantikan diskusi di sesi awal ini dimulai dengan sedikit flashback Adi Pudjo yang merupakan salah satu assabiqunal awwaluun Kenduri Cinta. “Pertama kali Kenduri Cinta digelar itu pada 9 Juni tahun 2000”, Adi berkisah. Saat itu, Mbah Nun memang memiliki sebuah segmen tetap di salah satu stasiun TV nasional. Setiap Mbah Nun sedang take video acara tersebut, beberapa teman-teman dari member milis Padhangmbulan.net dilibatkan.
Sesuai dengan nama milis saat itu; Padhangmbulan, mereka ingin membuat sebuah forum serupa Padhangmbulan di Menturo Jombang. Tercetuslah nama Kenduri Cinta saat itu. Sebelumnya, Mbah Nun memang memiliki jadwal yang sangat padat dengan gerakan shalawat HAMAS bersama KiaiKanjeng. Dengan inisiatif yang sederhana, agar ada satu meeting point di Jakarta untuk berkumpul bersama Mbah Nun, Kenduri Cinta digelar di Taman Ismail Marzuki.
Menyambung dengan tema kali ini, sejak awal memang Kenduri Cinta diniatkan untuk mentransformasikan nilai-nilai penuh cinta. Sejalan dengan semangat HAMAS yang membumikan kembali tradisi sholawatan saat itu, Mbah Nun ingin mengkonversi energi cinta yang terpendar dari segitiga cinta Maiyah dalam nuansa kebersamaan dan kegembiraan di Kenduri Cinta. Hasil konversinya tentu bisa bermacam-macam. Forum yang mungkin bagi sebagian orang hanya dipandang sebagai sesuatu hal yang biasa saja, nyatanya tetap memiliki magnet tersendiri bagi jamaahnya. Ditambah, turn over jamaah yang cukup tinggi dalam beberapa tahun ini, terutama setelah pandemi, banyak jamaah-jamaah baru yang mengenal Kenduri Cinta, Mbah Nun dan juga Maiyah dari internet.
Tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan jamaah Maiyah di awal tahun 2000 yang mengenal Mbah Nun dari tulisan-tulisan beliau, juga melalui Padhangmbulan yang menjadi embrio Maiyah itu sendiri. Pada awal 90’an, ada pengajian Tombo Ati yang juga menjadi salah satu agenda rutin Mbah Nun bersama Mbah Fuad (alm.) saat itu.
23 tahun Kenduri Cinta mewarnai Jakarta. Banyak jamaah yang merasakan bahwa Kenduri Cinta adalah oase di ibukota. Kita tahu bagaimana kerasnya kehidupan di Jakarta. Mayoritas orang yang hidup di Jakarta adalah kaum pekerja, masyarakat urban yang datang dari daerah untuk mengadu nasib di Jakarta. Kenduri Cinta bagi sebagian dari mereka adalah sebuah telaga air yang menyejukkan. Tema-tema yang digulirkan di Kenduri Cinta sangat mungkin adalah tema yang jauh dari persentuhan mereka sehari-hari di kehidupan nyata. Tapi, di Kenduri Cinta, satu tema dikupas akan menjadi pintu masuk untuk membahas tema-tema lain yang lebih luas. Dari satu tema mengenai cinta, di Kenduri Cinta bisa dikupas hingga soal sosial, politik, budaya hingga spiritual.
Segala sesuatu selalu ada keterkaitannya
Sekitar jam 9 malam, Mbah Nun sudah bergabung di panggung dan langsung menyapa jamaah. Mbah Nun langsung mengajak jamaah untuk mentadabburi Surat Al-Baqarah ayat 148; Wa likullin wijhatun huwa muwalliihaa fastabiqu-l-khoiroot, aina maa takuunuu ya’ti bikumullahu jamii’an. Mbah Nun menggaris bawahi kata likullin, bahwa setiap segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah ada sesuatu yang menjadi pihak dimana ia akan berhadapan dan bertanggung jawab kepadanya. Sedikit mengantarkan, Mbah Nun kembali mengulas bahwa bahasa arab di dalam Al-Qur`an sangat jauh berbeda dengan bahasa arab yang sehari-hari digunakan oleh orang arab. Maka, secara kandungan maknanya pun memiliki pemaknaan yang juga berbeda dengan bahasa arab akademis.
“Saya itu melihat hidup dunia, Indonesia atau apapun saja itu secara Al-Qur’an. Jadi Al-Qur’an itu metodologinya, kaca matanya, cara pandangnya”, Mbah Nun kembali menekankan pentingnya menggunakan Al-Qur`an sebagai titik berat untuk melihat apapun saja yang ada di hadapan kita. Kembali ke Al Baqarah 148 tadi, sebagai manusia kita akan memiliki wijhatun kita masing-masing, baik di rumah, di pekerjaan, di komunitas dan lain sebagainya. Dari situlah kemudian Mbah Nun menyampaikan bahwa untuk menyempurnakan wijhatun huwa muwalliihaa maka dibutuhkan dialektika fastabiqu-l-khoiroot. Berlomba-lomba dalam kebaikan dalam konteks walikullin wijhatun huwa muwalliihaa. Dalam kehidupan suami-istri, suami menjadikan istri sebagai wijhatun begitu juga sebaliknya.
Mbah Nun malam itu sejak awal sudah mengajak jamaah Kenduri Cinta mengembarai banyak khasanah ilmu. Mungkin tampak seperti pencolotan. Namun bagi Mbah Nun, dengan terbiasa seperti itu akan membuat kita terlatih untuk tidak terkungkung dalam satu cara pandang, tidak terkungkung dalam kesempitan atau keciutan. Sehingga kita terbiasa untuk terus mengembara secara fikiran, terus melakukan simulasi, terus melakukan eksperimen, tajribah dan seterusnya.
“Segala sesuatu itu disatukan oleh Allah dan semua ada keterkaitannya, semua ada konteksualisasinya, semua ada hubungan timbal baliknya, kausalitasnya, dan seterusnya, terserah istilahmu apa. Pokoknya semua itu terkait,” lanjut Mbah Nun.
“Makanya kita itu harus kritis terhadap semua yang kita terima. Karena ini kelihatannya era informasi di abad 21. Faktanya adalah disinformasi. Banyak sekali manipulasi, banyak sekali kedengkian-kedengkian di antara manusia dan kelompok-kelompok yang membuat informasi yang disampaikan menjadi tidak jujur, tidak adil,” Mbah Nun menjelaskan kerusakan peradaban saat ini yang sedang kita alami bersama.
Salah satu sebab kemunduran peradaban manusia saat ini, menurut Mbah Nun adalah karena kegagalan manusia dalam memahami perbedaan antara materialisme dengan materialistik. Manusia modern saat ini banyak yang terjebak pada penampilan materi. Saat melihat orang mengenakan peci, maka asosiasi yang muncul di kepala kita adalah bahwa orang itu adalah orang alim. Atau jika menggunakan kaca mata politik, maka kita akan menilai bahwa orang yang mengenakan peci adalah seorang yang nasionalis. Padahal, kualitas seseorang tidak bisa diukur dari materi yang melekat pada dirinya. Tidak mungkin kita dapat menilai kualitas seseorang dari pakaian yang ia kenakan. ”Maka di Maiyah tidak menomorsatukan materi sama sekali,” lanjut Mbah Nun. Maka di Kenduri Cinta dan juga di forum Maiyah lainnya juga tidak ada kewajiban untuk memakai baju yang seragam. Tidak ada aturan mengenai warna baju yang dipakai. Silakan semua yang datang ke Maiyah mengenakan pakaian apapun saja yang disukai. Toh semua jamaah Maiyah sudah memahami batasnya dalam berpakaian.
”Kita berfikir substansial di Maiyah. Kita berfikir sangat haqiqi di Maiyah. Maka orang Maiyah jangan tertipu oleh materialisme. Bahkan jangan sampai tertipu oleh apapun saja, apalagi yang kasat mata,” lanjut Mbah Nun. Satu hal yang juga diresahkan oleh Mbah Nun bahwa peradaban manusia saat inihampir tidak memiliki kepekaan mengenai sindiran, kritik, sarkasme dan lain sebagainya. ”Nah makanya sekarang ini kan, bahkan bukan hanya kambing, rakyat, netizen, atau umat ini pun tidak ngerti dimarahi. Tidak ngerti disindir juga, tidak ngerti substansi, tidak punya alat untuk menerima kebenaran. Karena dipenuhi oleh dengki, dipenuhi oleh egoisme, dipenuhi oleh kepentingan golongan dan seterusnya, sehingga kebenaran sangat sukar masuk,” lanjut Mbah Nun.
”Kita harus punya imajinasi atau asosiasi terhadap segala sesuatu yang berada dalam dialektika intelektual, emosional, spiritual, dan semuanya.” Mbah Nun menggambarkan bahwa pada suatu peristiwa, ada banyak hal yang seharusnya menjadi pertimbangan kita. Saat kita melakukan sesuatu, maka benda-benda di sekitar kita akan menjadi saksi bagi kita. Itulah yang Mbah Nun maksud dari tadabbur likullin itu tadi. Bahwa segala sesuatu ada yang harus dipertanggungjawabkan.
”Makanya Anda harus mendengar suara yang tidak terdengar. Anda harus bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat. Karena Allah sifatnya adalah laa tudrikuhu-l-abshooru wahuwa yudriku-l-abshooro wahuwa-l-lathiifu-l-khobiir. Anda harus mencari. Allah itu tidak bisa dilihat oleh semua makhluk, Allah bisa melihat semua makhluk. Karena Dia sangat lembut dan sanga mengabarkan,” Mbah Nun menambahkan.
Mbah Nun kembali mengajak jamaah Kenduri Cinta malam itu memasuki tadabbur Al-Qur`an mengenai sifat Allah. Di beberapa ayat, Allah selalu mengutamakan sifat Maha Mendengarnya baru kemudian sifat Maha Melihatnya. Samii’un Bashiirun. Kata samii’un selalu berada di depan. Hal ini menurut Mbah Nun relevan dengan kehidupan manusia, pada beberapa kasus ketika seorang anak itu dinyatakan tuli maka akan lebih berbahaya dibandingkan anak yang buta. Ada banyak anak yang tidak bisa melihat, tetapi berprestasi. Sedangkan anak yang tuli memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih advance agar potensi dalam dirinya dapat dimaksimalkan.
”Di Al-Qur’an Allah selalu menyebutkan Maha Mendengar dulu baru Maha Melihat, Samii’un Bashiirun, Samii’un ’Aliimun. Makanya nomor satu pelajaran itu adalah belajar mendengar,” lanjut Mbah Nun.
Termasuk Maiyah ini, menurut Mbah Nun harus ditemukan wijhatun untuk Maiyah. Misalnya, dengan Indonesia, Maiyah ini harus berperan seperti apa? Mbah Nun mengelaborasi dalam perspektif yang mudah dipahami dengan sebuah pertanyaan; “Maiyah menghadapi Indonesia dan dunia kayak sekarang itu melakukan apa? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang Maiyah? Dan apa yang sebaiknya atau yang harus tidak boleh dilakukan oleh orang Maiyah?” Seorang jamaah diminta oleh Mbah Nun untuk merespons pertanyaan tersebut. Mubarok namanya.
“Menurut saya, apa yang harus dilakukan oleh warga maya adalah menjaga kesadaran, menjaga cinta satu sama lain dan saling menyadarkan, karena era informasi ini gampang banget warga negara kita yang diombang ambing dengan dan lain sebagainya. Jadi menurut saya hal paling pertama yang harus kita lakukan adalah menjaga kesadaran dan kewarasan,” menurut Mubarok. Ia menyatakan bahwa Maiyah atau Kenduri Cinta adalah gerakan kesadaran. Karena menurutnya di forum ini jamaah diajak oleh Mbah Nun untuk menemukan kembali kesadaran dalam diri kita agar mengenal siapa dirinya yang sejati. Dengan begitu, maka kita tidak akan mudah terkontaminasi oleh hal-hal yang ada di luar diri kita.
Malam itu Mbah Nun mengelaborasi banyak hal pada satu jam pertama diskusi sesi utama. Selain hal-hal diatas, Mbah Nun juga kembali mengulas mengenai tadabbur perintah Allah kepada Iblis untuk bersujud kepada Adam. Yang diperintahkan adalah bersujud, bukan menyembah. Di sisi lain, Malaikat yang sangat taat kepada Allah memang pada hakikatnya memiliki sifat yaf’alu maa yu’maruun, melakukan apa yang memang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Sementara kita sebagai manusia, kita memiliki banyak kemungkinan. Jika dilihat dari hukum Islam misalnya, maka kita memiliki 5 kemungkinan; wajib, sunnah, halal, makruh, haram.
Diskusi malam itu di Kenduri Cinta terasa sangat padat. Mbah Nun juga menyisipkan beberapa cerita pengalaman hidup yang relevan dengan tema Kenduri Cinta malam itu. Sekadar untuk seremonial mensyukuri 23 tahun Kenduri Cinta, malam itu penggiat Kenduri Cinta menyiapkan nasi ambengan yang dinikmati bersama-sama setelah didoakan bersama Mbah Nun.
Di Kenduri Cinta, kita tidak hanya berdiskusi. Tetapi juga kita menikmati musik, menikmati kelakar-kelakar, menikmati guyonan yang menyegarkan suasana. Malam itu, ada grup musik Barak Karinding dengan alat-alat musik kontemporernya, membawakan beberapa nomor sholawat, mulai dari yang khusyuk seperti Sholawat Asyghil, Sholawat Badar, hingga nomor lagu yang meriah seperti Mabruk Alfu Mabruk.
Ada kemesraan, ada keakraban, ada kebersamaan dan tentu saja ada kebahagiaan. Di Kenduri Cinta kita bersyukur karena dipersaudarakan satu sama lain, kita juga bersyukur dipertemukan dengan Mbah Nun yang dengan telaten memberi kita bekal hidup. Di Kenduri Cinta ini pun kita tidak pernah merasa bosan, justru yang kita rasakan setiap usai Kenduri Cinta adalah rasa kangen yang luar biasa untuk bisa kembali bejumpa.
Menjelang pukul 2 dinihari, Kenduri Cinta edisi Juni 2023 dipuncaki dengan doa bersama. Semua masih merasa betah, masih kerasan, bahkan ingin lebih lama lagi Maiyahan. Tapi, ada batas yang harus dipatuhi. Kegembiraan di Kenduri Cinta malam itu harus segera disudahi. Mbah Nun pun harus segera bersiap menuju bandara, untuk kembali ke Yogyakarta dan bersiap untuk acara selanjutnya; Mocopat Syafaat di Kasihan, Bantul.
Setelah Kenduri Cinta usai, angin berhembus cukup kencang. Awan mendung tampak menggelayuti dinihari Jakarta. Tak selang berapa lama, hujan turun sangat deras disertai angin kendang. Seakan menjadi pertanda dari langit bahwa rindu ini harus kita jaga, harus kita rawat, harus kita terus sirami. Agar saat bulan depan kita berjumpa kembali, kita bertemu dalam suasana yang lebih segar dan lebih membahagiakan. Aamiin.