MENGECAP MANISNYA MAIYAH
(Catatan dari Majelis Ilmu Maiyah Dualapanan Lampung edisi Maret 2023)
Menjelang sesi terakhir sekitar pukul 23.00 dengan diiringi satu dua nomor lagu yang dibawakan oleh 28an Band merupakan pertanda berakhirnya tugas saya di atas panggung untuk menghantarkan sesi sinau bersama tiap rutian Majelis Ilmu Maiyah Dualapanan Lampung.
Beranjaklah saya mengisi tugas-tugas yang masih kosong yang kiranya membutuhkan bantuan. Bak menyontek kepemimpinan semut yang apabila beberapa jarak dari titik beranjaknya tidak ditemukan semut lainnya maka dia mengisi kekosongan tersebut. Kalau yang kosong itu peran semut pekerja maka semut yang jobdesk sebelumnya adalah semut prajurit pengawal sang ratu dan koloni mencopot seragam dan berganti tugas sebagai semut pekerja.
Persis seperti malam itu kalau sekiranya yang dibutuhkan adalah menyuguhkan makanan, membuat kopi atau teh, atau menyiapkan peralatan untuk makan malam, maka peran itu yang harus diambil agar senantiasa harmoni. Itulah yang diajarkan dan entah bagaimana menjadi sebagai KPI tiap pribadi.
Akhirnya saya memutuskan untuk merapat ke arena perlogistikan sembari mendengarkan jalannya diskusi yang hidup dan saling mengisi relung kerinduan di hati para hadirin.
Entah apa yang mendorong saya untuk memulai bermaiyah di kelompol kecil. Ya kami bisa bermaiyah di mana pun, kapan pun dan dengan siapa pun. Bahkan dalam kesendirian pun sebenarnya bermaiyah, semacam mempertautkan hati, energi dan frekeuensi diri dengan relasi makhluk, lingkungan dan Maha Pemilik.
Pun forum kecil itu berangkat dari tema juga yaitu menghitung diri, atau yang saya sederhanakan dengan memulai bertanya kepada seorang saudara yang persis bersama dengan saya mempertualangi apa itu Maiyah sekitar tanggal 22 Juli 2020, sudah 2 tahun lebih rasanya.
Saya pun bertanya “Kita kan barengan nih kenal maiyah, dan tentu sudah banyak yang dilewati, boleh gak kasih sedikit sudut pandang atau sekiranya dapat dari Maiyahan? Yang menurut kacamata orang umum dinilai gak ada manfaatnya atau jangan-jangan sebenarnya dalam sudut pandang orang tersebut gak bisa diukur manfaatnya? Sama kesanlah barangkali ada, apa kira-kira?”
Sembari menghisap dan embus panjang rokok di tangannya dia membuka “Apa yaa, sulit dijelaskan sebenarnya. Terlebih bagi saya yang sebenarnya sebelum Maiyahan langsung ya merupakan jamaah al yutubiyah (sebutan untuk penikmat sinau bareng lewat youtube). Itu saja saya bisa merasakan ada sesuatu hal baik yang menyelimuti hidup saya, dan bagaimana yaa, Sampeyan tahulah bagaimana proses berat yang saya alami di hidup saya. Mungkin belum tentu orang kebanyakan sanggup, toh saya biasa saja dalam menjalaninya, mungkin itu karena nilai-nilai dan energi maiyah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hidup saya kalau saya tidak berada di sini. Lalu soal kesan, hmmm saya gak punya kesan tentang Maiyah karena yang saya rasa itu Maiyah itu tumbuh bahkan senantiasa hidup dan berproses dalam diri saya, justru tumbuh dan hidup itulah Maiyah,” jawabnya yang sontak membuat saya terkagum-kagum karena blass ora stel sama sekali dia mampu menjabarkan Maiyah sedalam itu.
Tak terasa di ujung kelopak mata saya menitikan air, bentuk respons haru secara alam bawah sadar.
Lalu karena merasa kurang puas dengan satu sudut pandang, saya tanyakan pertanyaan yang sama pada sedulur yang sehari-hari berprofesi sebagai tenaga kesehatan, dokter di masyarakat.
Beliau menjawab, “Saya juga heran sebenarnya kalau dipikir-pikir bayangin saja yaa, saya kalau Reboan itu bisa 2-3 jam perjalanan. Setiap kali berangkat, start jam 19.00 sampai Rumah Maiyah jam 21.00 atau 21.30, Pulang sampai rumah bisa jam 03.00 atau 04.00 dini hari dan jarak jauh itu. Sampai sini ya begitu saja sebagaima kita mahfum. Niatnya cuma satu: mau men-charge energi Maiyah lewat Reboan. Kalau mau ditaksir nih ya, misalnya tiap bulan saya untuk transport luncuran itu saja saya menghabiskan sekian juta lah, tetapi gapapa saya senang. Wong dulu bayangkan saja saya kuliah di Yogyakarta dan tinggal di sana bertahun-tahun dan teramat dekat kalau dari segi jarak dengan Rumah Maiyah Kadipiro, tetapi yaa sama sekali gak terbersit dan ada dorongan mau ke sana, eh malah pas di Lampung sebegitunya dorongan untuk melingkar. Saya juga gak habis pikir, mungkin itu yaa yang dinamakan diperjalankan,” jawab brader dokter.
Lalu mereka menodongkan kalimat tanya yang sama itu ke arah saya. “Waduhh apa yaa, buanyak yang saya dapat. Dari aspek intelektualitas Maiyah itu memudahkan saya untuk memahami sesuatu. Banyak sangat metodologi, pakem, kurikulum dan berbagai kerangka pikir yang membuat saya dapat lebih jernih memahami sesuatu. Itu sih yang saya rasa walaupun tentu tidak bisa dipastikan derajat ke-presisi-an-nya.”
Gitulah pokoknya cara kami saling melempar tanya jawab. Yang kami sepakati sebenarnya tidak dapat menggambarkan dengan utuh apa itu Maiyah, dan sebenarnya ada mekanisme apa yang terjadi, justru ketika sesuatu itu masih mampu digambar sesuatu itu tidak pada kemurnian yang seharusnya.
Sebagai bentuk penguatan argumen tersebut ada salah seorang saudara kami di ujung yang ternyata memperhatikan dialog kami bertiga dengan mengutip statment Simbah dalam salah satu bukunya, Daur I, “Kita tak akan bisa menggambarkan rasa manisnya mangga kepada seseorang yang belum pernah mencicipi, bahkan validasi dan verifikasi terbaik yang dapat dilakukan bukan dengan memberikan ilustrasi, perumpamaan, landasan teoretis dan lain sebagaimanya tentang referensi manisnya buah mangga, yang dapat kita lakukan adalah mengambilkan mangga tersebut, dikupasi dan kemudian menyuapkan potongan mangga tersebut ke mulut penanya, maka baik penanya dan penjawab memiliki kesadaran rasa yang sama akan hal tersebut, itulah maiyah yang kita rasakan.”