MEREAKTIVASI DIMAR PEPADANG DALAM DIRI
(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Dusun Ambengan Lampung edisi ke-87, 1 April 2023)
Rutinitas Maiyah Dusun Ambengan tatkala menggelar rutinan Sinau di Rumah Hati Lampung ketika bulan Ramadhan ialah dimulai sejak sore hari. Kebersamaan buka puasa hingga shalat Tarawih berjamaah dan dilanjutkan dengan Bermaiyah.
Kemandirian para penggiat Maiyah Dusun Ambengan sudah menjadi suatu lelaku yang tanpa perlu dirangsang-rangsang. Kesediaan diri masing-masing untuk membawa beberapa bungkus nasi dikemas dengan daun pisan atau daun jati menjadi wahana buka puasa bersama dengan nilai kekeluargaan yang erat. Nasi bungkus yang dibawa dari rumah masing-masing dinikmati dan saling bertukar bersama.
Selepas salat Isya dan Tarawih bersama, Pukul 20.30 para penggiat dan jamaah yang hadir otomatis menata diri masing-masing. Melingkar duduk lesehan untuk mengawali munajat awal dengan Tawashshulan. Khidmat, tuma’ninah, dan khusyu’ setiap yang hadir mewiridkan Ya Allahu ya Mananu ya Karim.
Tembang pembuka Shalawat Li Khomsatun dan Mars Maiyah dibawakan Jamus Kalimosodo mengawali acara Sinau Berdaulat Maiyah Dusun Ambengan malam itu.
Di segmen awal sinau berdaulat Maiyah Dusun Ambengan, Angger sedikit memaparkan tentang tema yang diangkat pada edisi ke-87 kali itu, yaitu mengenai “Dimar Pepadang”.
Dari Judul yang ada, yang difokuskan Maiyah Dusun Ambengan adalah peradaban desa. Sebab apa? Sebab benih unggulan adalah bermula dari peradaban internal keluarga pedesaan. Sehingga kita fasih mendengar bahwa “Deso Mowo Coro, Negoro Mowo Toto”.
Komunikasi dua arah pada diskusi malam itu dipacu agar interaktif dan saling komunikatif. Berbagai respons dan pemikiran yang muncul dari para jamaah diutarakan semua. Sehingga esensi atmosfer sinau berdaulat sangat terasa.
Selanjutnya Mas Tedjo berbicara terkait dengan tema Dimar Pepadang. “Menurut saya, dimar adalah temaram atau semburat sinar. Jadi berkaitan dengan kehidupan, bisa kita yang disinari atau kita yang menyinari ke setiap mahluk hidup dan ke sesama manusia intinya. Jadi menurut saya Dimar Pepadang itu memberikan sebuah cahaya kehidupan.”
Sedangkan Mas Habib menyambung dengan merespons, “Kalau saya boleh memilih, lebih memilih untuk menjadi dimar di dalam kegelapan daripada menjadi lampu di siang hari. Dimar itu kan cahayanya kecil, senthir kalo kata orang tua dulu. Nek cilik dadi bolo nek gede dadi molo. Menurut saya dimar itu memiliki peran masing-masing dalam kehidupan. Dimar secara khusus menghasilkan asap berwarna hitam yang saya pahami bahwa setiap apapun yang kita lakukan untuk manjadi cahaya, manjadi dimar di dalam kehidupan bermasyarakat ternyata tetap ada asap hitamnya. Artinya yang tidak suka semakin tidak suka dan yang suka ya namanya dimar pasti ada asap hitamnya itu tadi, tergantung dari perspektif masing-masing dalam menilainya.”
“Dimar pepadang menurut saya pribadi ialah sebuah kiasan yang dapat kita ambil esensinya bahwa sekecil apapun cahaya yang kita hidupkan paling tidak bisa memberikan terang kepada masyarakat. Dan untuk menjadi sinar cahaya itu tidak mudah tentunya karena juga banyak sekali rintangannya, apalagi kalau dimarnya itu tidak ada semprong atau kaca pelindungnya,” pungkas Mas Habib.
Nomor lagu “Seperti” karya Plastik Band dibawakan oleh Jamus Kalimosodo sebagai korelasi frekuensi diskusi bahwa setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi dimar pepadang pada berbagai realitas sosial.
Setelah itu, langsung disambung oleh Mas Aqil, “Dimar (ublik) penerangan memang secara kuantitas tidak terlalu benderang. Namun secara kualitas mempu menyinari. Sekalipun nyalanya tidak terang, namun jangan digunakan sebagai mainan. Dan saya, khususnya, bersama teman-teman datang ke Ambengan salah satunya juga dalam rangka menghimpun dimar-dimar untuk pepadang. Positioning dan menakar cahaya (dimar) perlu dilakukan pula. Agar asas manfaat lebih optimal daripada azas mudarat,” kata Mas Aqil.
Menyambung Mas Aqil, Mas Iqbal dari ponpes RU Lam-Tim yang baru pertama kali ke Ambengan menambahkan, “Dalam menerapkan sebuah ekspektasi kebaikan, ternyata sulit sekali dan banyak rintangan dalam lelaku di masyarakat. Apalagi dalam masyarakat, kita berada pada posisi pemuda yang kenyataan sosialnya kerap diabaikan dan dianggap belum matang oleh lingkungan sosial. Sekalipun demikian, saya dan Anda barangkali memiliki cara masing-masing dalam meneguhkan pendirian guna menjaga dan setia pada prinsip kebaikan tersebut di mana outputnya adalah mampu menjadi dan memberi asupan infus imunitas, mentalitas dan vitalitas untuk beristiqomah dalam lelaku dimar itu tadi. Karena, istiqamah itu yang paling bagus seribu kali lipat daripada karomah. Karena, karomah itu juga berasal dari istiqomah.”
Ada lagi Mas Yahya, Mas Rizqi, dan Mas Aruman dari ponpes RU Lampung Timur memberikan pandangannya tentang Dimar Pepadang. Mas Yahya mengatakan, “Dimar pepadang bagi saya ialah suatu kesanggupan untuk bisa nguripi, namun tetap perlu diingat bersama bahwa dimar pun membutuhan asupan minyak tanah sebagai bahan bakar, sehingga mampu menyala temaram pepadangnya. Jika saya korelasikan, yang sedang saya alami ini adalah ketika nyala dimar saya redup, maka saya harus me-recharging bahan bakarnya, dengan berupaya mengisi asupan minyak tanah berupa selalu sinau dari pengalaman orang lain.”
“Berkaitan dengan tema Dimar Pepadang, bisa kita pahami dari pernyataan kawan-kawan sebelumnya. Yang saya rasakan sebagai pemuda zaman now, kok saya malah menjadi seperti laron. Jadi anut grubyuk pada gerombolan-gerombolan mainstream. Jika angin ke barat saya ikutan ke barat. Tanpa mengerti makna dan esensinya sama sekali. Oleh sebab itu saya memerlukan sinau akan kriteria cahaya agar tidak terlalu terseret dan tenggelam pada arus mainstream,” giliran Mas Rizqi berbicara.
Sementara itu pendapat Mas Aruman, “Menurut saya, dengan kesederhanaan dimar dan keremangan cahayanya, namun mampu menerangi dan bermanfaat bagi sekitar. Pelajaran yang dapat kita petik dari dimar yaitu sekalipun kebaikan yang kita punyai hanya sedikit dan kecil, namun bagaimana dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.
Satu nomor lagu “Sanggupkah” milik Andy Liani dinyanyikan oleh Mas Tedjo, menambah suasana gayeng malam Minggu Pon itu.
Bergiliran melanjutkan diskusi, Mas Iko dari Kota Bumi mengatakan bahwa Naluri manusia sendiri itu memang merindukan hadirnya cahaya. Sebagai contoh konkret, hati manusia jika tidak ada cahaya maka gelaplah hati itu.
Sedangkan Mas Ubaidillah dari Bedeng 26 Metro Selatan mengatakan berkaitan dengan tema kali ini, “Umpama kita tersesat di gunung yang gelap, tujuan kita adalah jelas mencari cahaya yang karenanya pasti ada petunjuk di dalamnya yang bisa menjadi arah navigasi dan jalan keluar. Beda hal ketika gelap gulita, bisa dipastikan kita akan tersesat dan sulit menemukan arah mana timur, mana barat, mana utara, dan mana selatan.”
Komunikatif antar jamaah terus bergayung sambut. “Tetap bermanfaat sekalipun dalam skala kecil (cahaya yang dipijarkan) seperti dalam keluarga,” kata Mas Aziz menambahi respons Mas Ubaidillah yang juga berangkat bareng dari rumah untuk Maiyahan malam itu.
Ada lagi Mas Fajri dari Pekalongan Lampung Timur yang rindu akan sebuah forum diskusi seperti Maiyahan ini. Ia turut merespons, “Setangguh apapun manfaat dimar, kita tidak akan pernah tahu kapan akan mati. Dan suatu saat akan ada kalanya untuk padam. Sehingga sangat relate dengan “Khairunnas anfauhum linnas“.Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain.
Sementara itu Mas Giyanto dari Kota Bumi mengatakan terkait Dimar Pepadang, “Dalam masyarakat seandainya kita terpilih untuk diandalkan menjadi pemimpin atau melaksanakan tugas, ada kalanya kita bosan dan jenuh, maka kita bisa berupaya mencari motivasi lain untuk menjaga keistiqamahan tersebut. Salah satunya dengan melingkar bermaiyah bersama seperti ini. Sejujurnya kami ini iri dengan banyaknya kegiatan seperti simpul atau lingkar yang ada di Lampung, maka dari itu kami mengharapkan dimar dari Maiyah ini menular ke tempat kami di Kota Bumi.”
“Tadi sudah disebutkan, kita tahu semua orang-orang Maiyah, baik simpul maupun lingkar di Lampung ini sudah ada berapa, alhamdulillah keberkahan Allah yang dipancarkan, seperti yang Mbah Nun bilang ini adalah generasi Al-Maidah 54, yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah. Frekuensi ini sudah menjadi tanda bahwa Anda sudah masuk dalam gelombang itu. Maka kita harus sinau terus untuk menjadi dimar. Dan bagus sekali apa yang dikatakan Fajri tadi bahwa dimar itu kanggo wong lahir dan wong mati. Lahir butuh penerangan mati pun butuh penerangan,” Cak Sul menanggapi.
Lebih jauh Cak Sul mengatakan, “Gambaran kenapa ada semprong di lampu sentir itu jangan-jangan terinspirasi oleh surat An-Nur ayat 35. Ada cahaya di dalam kaca terus kaca itu ada minyak zaitunnya. Dimar itu kan ada minyaknya, ada tabungnya, ada sumbunya, ada semprongnya terus baru dihidupkan dimarnya. Dimarnya jangan terlalu gede muternya, biar tidak jadi langes. Jadi orang itu tidak boleh kemaki. Kamu pintar kamu hebat kamu top, tetapi nggak boleh keminter.”
Sebagai rasa cinta dan tentunya rasa ta’dhim yang utuh kepada Mbah Nun juga KiaiKanjeng, malam itu nomor wirid “Wakafa” dibawakan Jamus Kalimosodo. Banyak jamaah yang terlihat melantunkan bersama-sama. Atmosfer magis dan khidmat sangat terasa malam itu.
“Wakafa dari Mbah Nun ini menurut saya itu tasawuf sekali. Kalau bisa disimpulkan yaitu penjabaran dari La ilaha illallah. Karena pada syair-syairnya itu cukuplah Allah sebagai penolongku, sebagai wakilku, sebagai waliku sebagai penjabaran dari apa yang ada di kalimat Tiada tuhan selain Allah,” kata Mas Roni selaku Koordinator simpul regional Barat.
“Maiyah Dusun Ambengan ini memilih tagline sinau berdaulat, tidak hanya sebatas kata istiqomah saja, tapi sudah dalam tahap melakukan. Berdaulat itu berat, bagi kami masyarakat dusun ini, makna berdaulat secara esensi ialah menjadi diri sendiri. Intinya kebersamaan, semua yang diajarkan Mbah Nun intinya kebersamaan,” ungkap Mas Dika.
Kemudian Ustadz Ari dari Kemiling, Bandar Lampung menyampaikan, “Menanggapi tema “Dimar Pepadang”, Saya merindukan medio tahun 80-an sampai 90-an di dusun desa Margototo. Saya merasakan sangat signifikan degradasi kebersamaan orang jaman dulu dengan sekarang. Dulu yang belum terang seperti sekarang, namun kebersamaan terasa sangat harmonis terutama di internal keluarga. Fakta yang terjadi sekarang menurut yang ada di surat Yasin, “Wa laqad adhalla minkum jibillan katsiiraan“, banyak yang nggak sama lagi, banyak yang berubah. “Afalam takuunuu ta’qiluun“, penyebabnya adalah karena kita tidak mendayagunakan akal. “Qala ya laita qaumi ya’lamụn Bima ghafara li rabbi wa ja’alani minal-mukramin“, ada sisi kemuliaan yang mungkin kita tidak paham teorinya sehingga kita prakteknya nggak cocok”
Lebih jauh, Ustadz Ari mengemukakan, “Maka ada sinau perubahan di surat Al Hasyr, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat lighod”. Kalau kata hadist Nabi, “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, hari esok harus kita rencanakan lebih baik dari hari ini. Analogi gampangnya begini, kita ini artis, jadi Allah akan memonitor kita, Wakafa billahi Wakila, wakafa billahi Syahida. Jadi kita ini dimonitor oleh Allah karena kita ini para artisnya, dengan beragam peran pastinya. Ada artis pemikir, ada artis yang menggunakan tenaga, ada artis yang fokus di bidang musik, dan banyak lagi lainnya. Dan sekarang itulah terjadi perubahan-perubahan yang mungkin esensi Maiyah kebersamaan itu sudah bersama-sama sebagai manusia, dan pada saat yang sama kita harus memastikan bahwa kita tidak lepas dari bersama Allah.”
Lebih mendalam lagi, Ustadz Ari mengemukakan, “Kalau kita pengen hidup seperti Nabi, jangan berakhlak tok, jangan beradab tok, tapi berakhlak yang adhim. Makanya muncul takdhim. Berakhlak itu jangan yang mulia tok, tapi yang adhim, yang akan diagungkan sampai generasi yang akan datang akan menceritakan kebaikan akhlak kamu, itu namanya “akhlak adhim”. Jadi ada akhlak hasanun, ada akhlak karimah, ada akhlak adhimah. Maka sinau perubahan itu artinya introspeksi diri di masa lalu, berencana di masa kini sehingga masa depan menjadi lebih baik lagi.”
Tepat pukul 00.20 Maiyah Dusun Ambengan dipungkasi dan diakhiri bersama dengan nomor shalawat Padhangmbulan dan Hasbunallah wa Ni’mal Wakil.
(Yuli Arianto/Redaksi Maiyah Dusun Ambengan).