GARBA FITRAH #70

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah BangbangWetan Surabaya edisi Mei 2023)

Idul Fitri merupakan ujung perjalanan kita dalam menjalani puasa di bulan Ramadhan. Idul Fitri berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas dua kata, yakni Id dan Al-Fitr. Id artinya festival atau perayaan. Sedangkan kata Al-Fitr memiliki dua makna, yaitu suci dan berbuka. Suci berarti bersih dari segala dosa, kesalahan, kejelekan, dan keburukan. Sedangkan fitri yang berarti “berbuka” berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw.: ”Dari Anas bin Malik: Tak sekali pun Nabi Muhammad saw. Pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya.” Jika diartikan secara harfiah, Idul Fitri adalah perayaan berbuka puasa.

Pada momen Idul Fitri tahun ini Tim Tema Bangbang Wetan merasakan sedikit ada yang kurang pada hari raya Idul Fitri kali ini. Momen kekentalan rasa berkumpul dan silaturahmi dengan keluarga besar di Idul Fitri kali ini terasa kurang. Apakah teman-teman merasakan hal yang sama? Jika iya, kira-kira seperti apa, dan apa penyebabnya? 

Kalau kita berbicara soal Idul Fitri yang bermakna suci dan berbuka, akan lebih menarik jika kita sambungkan dengan perjalanan Maiyah. Kalau kita ingat kembali, sejak dulu di setiap Maiyahan Mbah Nun selalu mengajak kita untuk yakin dan teguh berdiri pada sikap Tauhid: sikap total dan penuh menyembah hanya kepada Allah serta Segitiga Cinta: cinta Allah dan Rasulullah. Sikap Tauhid dan Segitiga Cinta itu semakin ditegaskan oleh Mbah Nun dalam tulisan terbarunya berjudul “Kedaulatan Artifisial Manusia” pada rubrik “Tadabbur Hari Ini” di caknun.com. Di situ, Mbah Nun  menulis, “Semua niat dan pergerakan siapa pun dan apa pun selain Allah, tidak punya kemungkinan lain kecuali dilandasi dengan ‘Bismillah’, ‘dengan nama Allah’”. 

Makna Idul Fitri yang kedua adalah berbuka. Berbuka dari puasa setiap hari selama sebulan penuh. Dari latihan berpuasa makan dan minum sejak Subuh sampai Maghrib supaya kita juga terbiasa mengambil keputusan dengan pertimbangan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Kalau kita napak tilas perjuangan Mbah Nun tentang kedaulatan diri setiap manusia, bisa kita baca buku “Sastra Yang Membebaskan”. 

Melalui sastra, Mbah Nun mengartikulasikan dunia dalamnya tentang semestinya manusia memiliki kedaulatan dan keontentikan dirinya dari intervensi lingkungan dan dunia luar. Sehingga menurut Mbah Nun sastra semestinya lahir dari pemaknaan dan kehidupan sehari-hari. Mbah Nun menjadikan sastra sebagai alat untuk berdiskusi menjawab setiap problem yang dihadapi manusia, khususnya rakyat Indonesia. Salah satu bukti perjuangan panjang tentang ajakan menemukan keotentikan dan kebebasan diri setiap manusia adalah Maiyah. 

Lihat juga

Majelis Ilmu BangbangWetan edisi Mei 2023 bertepatan dengan bulan kelahiran Mbah Nun yang menginjak usia 70 tahun. Kami, Jamaah Maiyah, mengucapkan rasa syukur kepada Allah karena telah dipertemukan dengan Mbah Nun yang tiada henti membimbing kita dalam Segitiga Cinta Allah dan Rasulullah menuju keotentikan dan kesucian diri sebagai manusia, umat Rasulullah dan hamba Allah. Bahwa kalau Tuhan punya sekian gerbang menuju kesejatian diri, Mbah Nun adalah gerbang ke #70. 

Karenanya, bagi teman-teman jamaah BangbangWetan yang besok hadir pada Rabu 3 Mei 2023 di Pendopo Cak Durasim, diminta menyampaikan minimal tiga manfaat yang didapatkan dari Maiyah dan Mbah Nun bagi kehidupan sehari-hari. Serta kita penuhi pertemuan besok dengan rasa syukur dan kegembiraan bersama mensyukuri nikmat Maiyah dan Mbah Nun yang tanpa lelah menemani kita mengarungi gelombang kehidupan. 

(Tim Tema BangbangWetan) 

Lihat juga

Back to top button