KARENA LETTO, UNTUK SEMENTARA SAYA MUHAMMADIYAH

Perjalanan membawa saya sebagai bagian sangat kecil dari Muhammadiyah. Bisa dikata, untuk sementara ini saya warga Muhammadiyah. Itu pun dengan catatan Muhammadiyah pasti tidak tahu kalau punya warga seperti saya. Kalaupun tahu, mungkin sulit untuk mendapatkan validasi bahwa saya adalah warga Muhammadiyah. Karena blas tidak ngerti apa itu Muhammadiyah. Apa saya nadhiyin, NU? Bukan juga. Saya juga tidak ber-qunut kalau Shubuh. Soalnya jarang shalat Subuh tepat waktu. Islam abangan? Apalagi itu. Saya enggak mudeng kok bisa abang itu yang abang itu apanya? Setahu saya cuma abang tukang bakso mari-mari sini aku mau beli. Masih betah baca cerita saya kan?

Pernah satu kali ketika tahap wawancara pegawai tetap yayasan, di bawah bendera Slank, eh Muhammadiyah tentunya, saya ditanya oleh salah satu penguji. Ada tiga penguji ketika itu. Yang warga Muhammadiyah ngerti lah soal mekanisme beginian. Saya ditanya oleh penguji terakhir. 

“Sebentar lagi Muhammadiyah akan mengadakan kegiatan Muktamar? Arti muktamar tahu?”

Dengan sangat mantap, saya menjawab, “Enggak tahu e pak?”

Duh. Begitu respons penguji. Lantas menjelaskan panjang lebar soal epistimologi muktamar. Seketika kegiatan wawancara itu jadi semacam kuliah Bahasa Indonesia. Saya manggut-manggut. Antara enggak ngerti dan menahan lapar karena sudah masuk jam makan siang.

“Sekarang,” beliau melanjutkan, “dalam kegiatan muktamar ada tiga atau empat agenda penting. Apa saja kegiatan tersebut?”

Dalam hati saya pengen misuh-misuh kan? Arti kata muktamar saja enggak ngerti e. Lha ini ditanya kegiatan penting dalam muktamar. Ya saya hanya meringis tajam. “Enggak ngerti pak enggak ngerti. Demi Allah enggak ngerti. Apa sih yang saya tahu di dunia ini.”

Pengen saya jawab seperti itu. Tetapi melihat raut muka saya yang ‘bloon’ si penguji menghela nafas sebentar. Dikasihlah saya wejangan.

“Kamu itu warga Muhammadiyah kok enggak ngerti kegiatan Muhammadiyah. Ikut pengajian ranting?”

Saya geleng-geleng.

“Kenal pak ini?”

Saya masih geleng-geleng.

“Muhammadiyah didirikan oleh?”

“Muhammad Darwis, Pak.” Kalau ini saya tahu. Makanya gerakannya Muhammadiyah. Soalnya nama beliau awalnya Muhammad. Kalau diambil dari nama yang baru, Ahmad Dahlan, nanti gerakannya menjadi Ahmad… ah sudahlah.

Inti dari wawancara oleh penguji itu adalah saya sebenarnya sangat tidak patut kalau harus mengakui dan diakui sebagai warga Muhammadiyah. Maka ketika bekerja di instansi yang berada di bawah bendera Slank, eh Muhammadiyah, saya jarang sekali menunjukkan atribut-atribut Muhammadiyah. Malu. Isin. Takutnya nanti ngisin-isini. Pekewuh sama Muhammad Darwis. 

Hingga kemudian flyer-flyer digital tentang acara Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiah ke-48 yang digelar di kota Solo tersebar di ruang-ruang grup WA. Saya baca dengan saksama. Masih biasa saja rasanya. Ngapain sih? Pikir saya. Pesertanya dibagi menjadi dua jenis. Muktamirin dan Penggembira. Tafsir saya, muktamirin itu peserta yang suaranya berlaku untuk pemilihan ketua umum dan pengambilan keputusan-keputusan penting lainnya. Suara mereka terpakai. Yang kedua penggembira. Jelas ini urusannya dengan gembira dan hati yang bahagia. Pokoke gembira. Mangkat numpak bus dari luar Jawa tidur di sekolah-sekolah mereka jalani dengan hati yang gembira. Pokoknya tim penggembira. Harus adakah yang seperti itu? Jawabannya harus. Supaya kegiatan muktamar kali ini memang menghasilkan keputusan yang menggembirakan tidak hanya untuk warga Muhammadiyah tetapi secara keseluruhan untuk bangsa Indonesia bahkan alam semesta. Bisa membayangkan seperti apa jadinya kalau alam semesta ikut bergembira. Berkah dan barokah. Rahmatan lil ‘alamin.

Namun ada yang mencuri perhatian saya dalam flyer digital tersebut. Ada sesi Mangayubagya sebelum acara pembukaan Muktamar dimulai. Tepatnya sehari sebelum pembukaan atau tanggal 18 November 2022. Mangayubagya? Menarik sepertinya. Karena rasa penasaran kemudian saya menanyakan kepada mas Indra Agusta dari Komunitas Jawa Kuna Sraddhasala yang kadang juga aktif ber-maiyah, tentang apa sih mangayubagya itu. 

Karena saya agak trauma soal epistimologis, tadi tuh misalnya kata muktamar, lantas saya pastikan pengetahuan saya agar tidak melenceng jauh dengan bertanya apa arti kata mangayubagya. 

Menurut Mas Indra Agusta kata ‘mangayubagya’ berasal dari dua kata, ‘hayu’ dan ‘bagya’. Hayu berarti baik, apik, bener. Sedangkan bagya berarti bahagia, mandat berbagi, mewariskan kebahagiaan. Dengan keseluruhan arti mangayubagya semacam ikut senang dan berbahagia atas satu peristiwa. Wah mantap ini penjelasannya kan.

Dengan modal kemantapan itulah saya mencari tahu apa saja acaranya, dan ternyata ada pakdhe-pakdhe Letto dan Tantri Arda, sebagai pengisinya. Duh, sudah lama tidak melihat konser kan ya, tahu ada yang bertuliskan gratis dan untuk umum, jelas ini saya harus mengupayakan untuk hadir. Apalagi acaranya digelar di dalam arena Edutorium UMS yang megah gagah itu. Sekalian untuk memuaskan hasrat saya soal akustika ruang. Seperti apa sih soundnya. Enggak gampang kan mengatur frekuensi di dalam gedung semacam itu.

Dan rintik hujan itu menemani perjalanan saya dan Mas Nonot aktivis Suluk Surakartan menuju lokasi acara. Lautan manusia dimana-mana. Lalu lalang kendaraan kecil dan besar membuat semua jalan terasa sempit. Di sini kami belajar apa itu celah dan peluang. Meski sempit harus tetap sat set supaya mendapat tempat parkir.

Air hujan masih turun. Saya merasakan vibes Maiyahan. Saya katakan berkali-kali kepada Mas Nonot kalau saya kangen getaran-getaran seperti ini. Kayak, sudah lama. Kayak, selama ini saya kemana saja. Kayak, semoga saja selalu diperjalankan dengan penuh perkenaan-Nya.

Setelah jalan kaki tibalah kami di gedung itu. Diarahkan oleh anggota KOKAM, tahu apa itu KOKAM? Saya tidak tahu dong, untuk menuju lantai tiga karena lantai satu dan dua sudah penuh dengan muktamirin dan penggembira. Setelah mendapatkan tempat duduk agak kecewa karena di lantai tiga tidak bisa mendengar dengan jelas pelantang suara. Gaungnya terlalu kuat. Kemudian ada telepon masuk. Saya keluar sebentar untuk menerima telepon itu. Sialnya sinyal gawai saya ilang juga. 

Kembali ke dalam sembari menunggu Letto tampil dengan perasaan amburadul. Amburadul perkara hidup. Amburadul perkara sound. Amburadul tentang perkara yang sebenarnya saya lebih baik tidak terlibat di dalamnya. Tidak usah jadi warga Muhammdiyah misalnya.

Sekira Sembilan malam lebih Letto tampil bersama gamelan. Ternyata dari KiaiKanjeng dan Komunitas Gayam. Letto mengajak beberapa personel KiaiKanjeng, yang ikut berada dalam barisan penabuh bonang, dan saron. Selain bonang dan saron, suling, rebab, dan rebana juga turut menjadi unsur penting dalam aransemen semua lagu Letto yang dibawakan malam itu.

Alhamdulillah setelah dua lagu kami berhasil turun ke lantai dua di mana tata suara terdengar lebih jelas. Karena larut, tidak banyak yang saya ingat lagu apa saja yang dibawakan malam itu. Karena aransemennya terlalu menyita perhatian saya. Menyambut Janji, Senyumanmu, Lubang Di Dalam Hati, Fatwa hati, Permintaan Hati, Sandaran Hati, apa lagi yak? Pokoknya setiap lagu yang dibawakan dinarasikan dengan apik oleh Sabrang/Noe. Ada semacam penghubung antara setiap lagu dengan tema muktamar Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta. Tidak usah ditanyakan maju kemana dan secerah apa? Jangan-jangan terlalu maju dan terlalu cerah malah blereng. Enggak usah tanya macam-macam kayak gitu.

Ketika lagu Permintaan Hati berkumandang, Tantri dari grup band Kotak turut menyumbangkan suara lady rockernya. Setelah itu giliran Letto dan gamelan mengiringi Tantri menyanyikan lagu dari grup band Kotak berjudul Manusia Manusiawi. Di dalam lagu itu mereka berkolaborasi dengan pembacaan puisi oleh Mbah Nun. Hal ini pernah saya tulis di caknun.com. Ini: Manusia Manusiawi: Kabar Baik Musik Indonesia

Rebab mengalun lembut, denting piano menyusul, kemudian semua instrument music bertalu-talu. Manusia Manusiawi seperti kata Tantri setelah dipantik oleh Sabrang,

“Manusia tugasnya adalah mencari jalan pulang sesuai dengan caranya masing-masing.”

Saya mak deg. Iya kali yak?

Malam puncak mangayubagya itu ditutup dengan epic lagu Sebelum Cahaya. Membuat saya mengingat embun pagi dan hal-hal yang memang seharusnya layak untuk dilakoni dan dicintai. Karena Letto, malam itu saya memutuskan untuk sementara menjadi warga Muhammadiyah. Sementara menjadi penggembira. Besok-besok siapa tahu saya jadi Ketua Umum Pimpinan Pusatnya. Karena konon katanya ketua umum biasanya suka menulis. Kayak saya dong yak. Dan jelas kalau saya jadi ketua umumnya, Letto saya dapuk lagi sebagai pengisi acara muktamarnya.

Sekali lagi, karena Letto untuk sementara saya Muhammadiyah saja.

Solo, 19 November 2022.

Lihat juga

Back to top button