“BUKA PUASA” DI PANGKALAN BUN

Reuni di Rumah Sakit kemarin memang sangat bisa melepaskan kerinduan kami pada tempat ini. Sebuah tempat yang menumbuhkan kami. Tempat di mana kami menghadapi masa-masa sulit. Konflik dengan direktur Rumah Sakit yang mempunyai aturan yang ‘aneh’ menurut kami, di mana kami para dokter tidak boleh praktik selain di Rumah Sakit, walaupun praktik sore, di luar jam kerja kami.

Itu topik yang tak habis dibicarakan untuk mengenang suka duka kami. Walaupun Rumah Saikit ini berkembang sangat pesat, namun kehangatan orang orangnya masih juga sama. Saya sendiri hanya bertemu beberapa kawan perawat bangsal anak yang jaga pagi. Salah satunya adalah si Jusef. Wajahnya hampir tak berubah dari terakhir saya ketemu 20 tahun lalu.

Dalam ‘tour’ singkat yang dipandu oleh dr. Rita, saya hanya mendapati bangsal Anak dan yang masih juga seperti 20 tahun yang lalu, namun kapasitasnya sudah sangat meningkat. Bahkan ruang bayi yang dulu hanya punya 6-8 box bayi, kini kapasitasnya sudah menjadi 40-an box, lengkap dengan inkubator dan peralatan perawatan intensif. Saya bertemu dr. Dyah ahli anak yang menjadi penanggung jawab di situ. Beliau masih ingat saya, ketika 20 tahun yang lalu beliau mengkonsultasikan anaknya kepada saya.

Waktu begitu sangat cepat. 20 tahun mengubah segalanya. Saya bilang kepada dr. Dyah untuk segera sekolah lagi untuk mengambil konsultan Neonatologi. Alasan saya, yang diurusinya kini sudah sangat banyak dan pelik. Menyangkut bayi-bayi mungil yang akan menjadi penerus kita. Saya berjanji akan membantunya dalam proses penambahan ilmu konsultan Neonatologi.

Rumah Sakit ini sudah menjadi sangat besar. Secara fisik sudah meningkat 4-5 kali lipat. Ruang polikliniknya sudah sangat besar dengan aneka spesialis yang ada. Kalau 20 tahun yang lalu hanya kami bertiga (spesialis Penyakit Dalam, spesalis Kebidanan dan Kandungan, dan spesialis Anak) serta kadang kala ada dokter kunjungan untuk THT dan Mata. Kini sudah semua spesialis ada. Dan tidak hanya tunggal, namun beberapa bidang seperti dokter Kandungan ada 4 orang, dokter Anak ada 4 orang, dan dokter gigi ada 3 orang dengan berbagai keahliannya.

Kehangatan reuni dengan teman-teman seperjuangan dulu menjadi serasa hangat ketika hujan turun sangat deras. Satu per satu mereka datang ke ruang tunggu kamar operasi. Kawan-kawan perawat ada beberapa seperti Rima, Solikhin, Kholik, Yeni, Catur, dan beberapa dokter baru yang belum saya kenal.

Apa yang mereka perjuangkan kini membuahkan hasil yang menggembirakan. Tempat yang luas, fasilitas yang juga bertambah, serta sumber daya manusia yang cukup, walaupun masih harus terus berbenah baik dari segi manajerial maupun segi profesional.

Dulu kami selalu ‘berantem’ dengan atasan kami, yang juga seorang spesialis, yang menurut kami memperlakukan kami dengan semena-mena, sehingga kami menyebutnya waktu itu sebagai fase loro-lopo, fase topo ngrame atau apapun sebutannya. Sampai akhirnya beberapa saat tidak lama dari kepulangan saya ke tanah Jawa, si atasan tersebut dipermalukan di hadapan rapat dewan, dicopot dari jabatannya. Padahal dia sangat ‘ngareparep’ agar dia diangkat lagi menjadi boss. Dan pada acara penting tersebut dia sudah dandan rapi, pake jas, seolah begitu yakin bahwa dia akan diperpanjang jabatannya. Saya mendengar kabar ini dari sejawat yang kala itu masih bertugas di sana.

Kini 20 tahun sudah berlalu, dan kami berkunjung lagi ke tempat kami babat alas, bernostalgia menemui orang-orang yang sama-sama berjuang. Kami tak menyangka bahwa sambutan begitu di luar dugaan kami. Diundang kesana kemari untuk makan, ditraktir kesana kemari tanpa kami harus mengeluarkan sepeser pun uang. Sambil makan kami ngobrol dan tertawa lepas sambil memperhatikan wajah-wajah mereka yang ’lepas’ seolah tak membawa beban. Sesekali kami ngobrol agak serius untuk memikirkan pengembangan sebuah institusi ini yang ikut berperan membesarkan saya.

Eh…. Ada satu lagi yang kami terharu sampai tidak bisa berkata-kata, bahwa perjalanan kami ke Tanjung Puting dengan bermalam di kapal, lengkap dengan paket wisata dan kuliner di kapal, sudah dibayari oleh seorang sahabat kami di sana. Ketika dr. Ika mentransfer uang paket tur itu, malah diberitahu bahwa biaya sudah diberesi semua oleh pak Herman!

Kami merasa 3 malam di Pangkalan Bun menjadi ‘hari raya’ bagi kami, setelah 20 tahun silam kami loro-lopo, puasa dengan sikap dan ulah penguasa. Kini saatnya kami berbuka!

Dalam perjalanan pulang dari Tanjung Puting, tour leader kami memberi kode, arah jam 11 ada orang utan liar di atas pohon. Sontak kapal kami berhenti dan kami explore si orang utan tersebut dengan peralatan foto kami. Setelah puas memotret, saya tanya kepada tour leader kami,

“Siapa nama orang utan tersebut?”

“Kami tidak tahu pak, karena dia itu adalah orang utan liar, yang berada di luar kawasan Taman nasional.”

“Tapi ini adalah rejeki bagi kita, karena kita ketemu dengan orang utan liar dan dia sangat besar, serta sudah ‘matur’, bisa jadi dia adalah raja di kawasan ini,” kata tour leader kami.

Saya pun menukas

“Bagaimana kalau kita beri nama ‘X’?”

Kontan dr. Agung, dr. Ika, dan saya tertawa terbahak-bahak. Kami berpandangan dan hanya kami bertiga yang tahu kenapa si orang utan itu kita namai ‘X’.

PB 19032023

Lihat juga

Back to top button