WAKAFA, MENCUKUPI KEBUTUHAN MUSIKAL (SEBUAH REVIEW)

Begini. Anggap saja ini review yang ditujukan kepada album musik terbaru dari Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng. Untuk sementara anggap saja begitu. Karena, jujur, dari sekian album yang telah dikeluarkan Mbah Nun dan KiaiKanjeng, tidak pernah, atau belum pernah sekalipun saya dengarkan secara utuh sampai selesai. Apa sebab, belum ketemu juga sebabnya. Karena mungkin pengetahuan saya khususnya dari sisi musikalitas yang ada pada Mbah Nun maupun KiaiKanjeng, masih sangat dangkal. Semesta musikal Mbah Nun dan KiaiKanjeng, menurut saya, sangat-sangatlah luas. Kalau mau mengarungi menyelaminya, rasanya tak cukup waktu untuk menjelaskan banyak hal. Atau dengan kata lain, sumbangsih Mbah Nun dan KiaiKanjeng untuk dunia permusikan, khususnya tanah air, cukup besar.
Sampai pada malam itu, tanggal 24 Maret 2023 ketika Simbah, Mbah Nun, Cak Nun, Emha Ainun Nadjib, rawuh ke rutinan simpul Maiyah Suluk Surakartan di Solo (Sukoharjo sih sebenarnya itu). Kebetulan saya didapuk jadi moderator oleh teman-teman penggiat Suluk Surakartan. Ditunjuk langsung oleh Pak Munir. Atau dengan kata lain, saya punya kesempatan untuk lebih dekat dengan Mbah Nun. Seneng? Iya. Deg-degan? Agak. Yang jelas nge-blank. Kosong. Tapi bukan itu arah tulisan ini, karena terlalu personal juga untuk diceritakan. Karena bisa saja apa yang saya alami malam itu, yang menurut saya luar bisa, bagi orang lain bisa jadi, sangat biasa wae.
Yang mau saya sampaikan adalah malam itu saya dengar untuk pertama kalinya, Mbah Nun melantunkan lagu Wakafa. Mungkin beberapa teman jamaah Maiyah sudah mengalami persinggungan dengan lagu ini. Sedangkan saya sendiri baru kali itu. Dan merasakan energi yang cukup aneh. Aneh karena saya tidak bisa mendeskripsikan bagaimana itu. Suara dari panggung bertemu dengan suara dari tempat jamaah duduk. Pak Munir yang duduk bersebelahan dengan saya berkali-kali njawil dan berbisik, energinya, energinya, energinya. Saya manggut-manggut. Antara bingung dan heran. Kok bisa sih sampai sebegitunya.
Atau anggaplah ini hiperbola yak. Begini. Saya itu enggak paham bahasa Arab. Jelas itu. Lirik Wakafa, itu saya enggak ngerti lho artinya. Dan memang tidak berusaha untuk memahami artinya. Bagi saya, itu nanti dulu. Saya hanya mau memastikan efek, dampak langsung dari apa yang tidak saya ketahui. Beneran enggak ngerti saya. Merendah? Enggak. Beneran. Jadi pyur kosongan. Apakah ini yang dinamakan perjamuan agung musikal? Begitu batin saya setelahnya. Beruntung Simbah menjelaskan sedikit latar belakang lahirnya lagu Wakafa. Bahwa itu lahir setelah ‘geger medsos’ beberapa bulan yang lalu.
Brengseknya, saya juga enggak terlalu mengikuti ‘geger medsos’ itu. Bagi saya pribadi, Mbah Nun ya seperti Mbah Nun yang saya kenal. Tidak berubah sesuai pemahaman saya selama ini. Kalau boleh terpaksa mengakui, beliau adalah ‘bapak’ saya. Jadi saya bersyukur merasakan ‘kesucian’ lantunan Wakafa itu. Baik, benar, indah, suci. Begitu tutur beliau.
Ini kenapa malah ke persoalan personal lagi yak. Setelah malam itu saya mulai mencari tahu sedikit tentang ‘Wakafa’ ini. Dan pencarian saya berhenti sejenak ke pengetahuan bahwa ini bukan hanya judul lagu, melainkan judul album. Yang artinya selain lagu Wakafa pasti ada lagu yang lain sebagaimana lazimnya album musik. Mulailah mencari kesempatan untuk mendengarkan. Dengan taruhan bahwa saya tidak bakal betah untuk mendengarkan secara utuh. Mendengarkan dulu. Soal efek, soal dampak, soal akibat nanti dulu. Dengarkan saja dulu. Lagi-lagi pakai rumus kosongkan gelasnya biar sepi melandai.
Ada beberapa lagu yang masuk untuk saya garis bawahi dan saya masukkan ke keranjang memori musikal saya. Saya urutkan sesuai yang diurutkan oleh mesin penggeneralisasi Youtube yak. Begini urutannya.
Wakafa, Lihusulil Marom, Tibbil Qulub, Bismillah, Berdekatankah Kita, Kuncine Suwargo, Tak Peduli, La Tahzanu, Ya Nur, Cakrawala.
Ada berapa itu? Sepuluh lagu kan yak. Saya mau berbagi soal dampak yang terjadi pada diri saya. Pengalaman musikal saya. Saya lho ya. Saya. Bukan anda. Bukan tetangga anda. Bukan takmir masjid.
Tiga lagu pertama, Wakafa, Lihusulil Marom, Tibbil Qulub, saya masih belum merasakan apa-apa. Karena itu tadi, saya enggak ngerti bahasa Arab. Namun mulai mak greg di lagu Bismillah. Ini lagu slow rock bukan sih? Slow rock yang cinematic banget kalau boleh saya melabeli. Cinematic Slow Rock. Anyar istilah iki (Maturnuwun ya Allah). Itu belum memasuki peta liriknya lho. Kemudian sampai kepada kemegahan melodi interlude gitarnya yang dilambari orkestrasi string. Sudah. Mbrebes mili. Tak ganti istilahe, Cinematic Glam Rock. Atau apalah, ini saya nulis sambil bingung. Karena Allah mencintaiku? Suara choir pada bagian reff “Bismillah…”, sudah. Isine mung gumregah lan gumregah.
Lagu itu seperti membuka energi telinga saya untuk mendengarkan dan mendengarkan lagi. Apapun yang terjadi, tak kan hilang harapan pokoke, karena sayang Tuhan. Saya lanjutkan lagi ke lagu Berdekatankah Kita, Kuncine Suwargo, dan yak! Ketemu lagu Tak Peduli.
Di sini saya sudah mulai memasang ekspektasi dan rasa sok tahu saya. Tebakanku, lagu Tak Peduli bakal mellow habis. Dengan tempo pelan dan beat yang sunyi ketukan perkusinya. Karena apa? Saya lihat lagu ini adalah lagu dengan durasi paling lama di antara lagu yang lain. Wes skip saja gimana yak? Begitu batin saya. Tapi sekali lagi mantra Bismillah masih bekerja. Dengarkan dulu.
Mbah Nun memulai dengan mantra, dengan puisinya dengan iringan string synth dan biolanya mas Ari Blothong.
“Asalkan Engkau tidak marah padaku, aku tak peduli dengan nasibku di dunia ini.”
Mulai kaget ketika mendengar suara Mas Imam Fatawi dengan lirik “Kubalut duka derita ini, kudekap perih sakit hati ini, kuterima hinaan dunia ini, aku tak peduli aku tak peduli”. Lha kok cengkok Banyuwangen yang keluar. Prediksi saya sudah batal di sini. Karena saya itu jatuh hati banget sama musik Banyuwangen. Lha malah upbeat musiknya? Itu kalau boleh saya gambarkan, benar-benar orang yang tidak peduli pada apapun. Ben kono. Babahno. Mboyak. Luweh. Dan sederet ekspresi tidak peduli lainnya yang disuarakan sambil berjoget-joget. Saya notice lagu ini. Dengar suara flute yang dimainkan Mas Novan, wajah Pak Is muncul. Kangen lagi jadinya. Sudah makin larut saja dengan lagu ini. Tak sadar sudah berulang berapa kali lagu ini saya putar. Itu kalau KiaiKanjeng diperjalankan ke panggung-panggung festival musik, konser-konser gitu, lagu ini masuk play list untuk sing a long. Mantap dah pokoknya. Rampak Osing versi EDM mungkin yak.
Rasanya enggak mau beralih ke lagu lain. Tapi saya pikir lagi rasanya kurang adil kalau telinga ini tidak diberi hak pemenuhan pengalaman musikalnya. Bertemulah lagu La Tahzanu yang mengajak kita untuk tidak bersedih, dan Ya Nur yang bernuansa Ballad Hindi gitu. Penak juga. Kemudian ditutup dengan lagu Cakrawala.
Begitulah kedangkalan saya soal musik. Karena selama ini saya memang sedang mencerna kebutuhan musikal saya itu seberapa sih. Lagu apa sih yang bakal saya konsumsi. Apakah satu album full atau satu-satu dulu. Koplo, jazz, EDM, reggae atau apa. Karena itu tidak semua lagu bisa saya review. Maaf yak. Apalagi untuk membedah syair-syairnya. Pisau saya tumpul soal itu.
Namun kalau boleh berpendapat, album Wakafa ini secara keseluruhan fresh rasanya. Baik secara aransemen maupun proses mixing dan masteringnya. Update banget. Apa ya, cah saiki banget malah. Bisa salah dong saya soal ini. Suara Mbah Nun makin gandem. Maka tidak heran kalau lagu Wakafa punya efek baik bagi pendengarnya. Mixing mastering yang sungguh-sungguh ditambah lirik seperti mantra ampuh, maka tak ada salahnya album Wakafa didengarkan berulang secara utuh dan menyeluruh. Perkara jiwamu tersentuh, segeralah bersyukur bersimpuh.
Ditulis dengan rasa terima kasih penuh.