KESADARAN KOORDINAT

(Catatan dari Majelis Ilmu Maiyah Suluk Surakartan, Jumat, 24 Maret 2023)

Ada yang sangat-sangat special di sinau bareng rutin setiap Jumat Keempat Suluk Surakartan edisi ke 69 kali ini, yaitu kerawuhan Mbah Nun. Ini adalah pertama kalinya Mbah Nun hadir langsung di tempat sinau bareng Suluk Surakartan, yang berlokasi di pabrik FM Wood, Jalan Tanjunganom 11.

Seminggu sebelumnya, perasaan yang campur aduk antara bahagia, kegembiraan yang membuncah, serta deg-degan, timbul dari teman-teman penggiat begitu mendengar kabar bahwa Simbah akan menyambangi anak cucu di Suluk Surakartan di rutinan bulan Maret. Lalu kabar gembira tersebut direspons teman-teman penggiat dengan persiapan yang sat-set, serta bagi-bagi tugas sesuai skalanya masing-masing.

Seperti biasanya rutinan malam itu dibuka dengan shalawatan oleh Boim dan Alan. Kebetulan malam itu  jatuh pada 2 Ramadhan 1444 H, atau tanggal 24 Maret 2023, semoga keberkahan shalawat di bulan Ramadhan turun menyertai kita semua.

Pukul 21.50 WIB, Mbah Nun mulai membersamai jamaah Suluk Surakartan. Mbah Nun membukanya dengan kesadaran untuk menemukan letak koordinat kita tentang wilayah dan tanggung jawabnya masing-masing. Misalnya dimulai dengan skala yang kecil saja, bahwa jika kamu seorang penggiat maiyah maka tanggung jawabnya tentu beda dengan jamaah maiyah. Jika kamu seorang ayah atau sebagai kepala keluarga, tentu beda tanggung jawabnya dengan seorang anak.

Sesuai tema malam itu, mentadabburi “Wa laa tansa…” , yang diambil dari potongan ayat wa laa tansa nashibaka minad dunya, Mbah Nun memberi clue pada kata mina (minad-dunya), mina artinya dari. Kalau dalam konteks tersebut, minad-dunya berarti dari dunia. Kalau ada kata ‘dari’ berarti itu dinamis, yaitu bergerak menuju ‘ke’, dari dunia menuju ‘ke’ atau menuju kemana? Ke akhirat tentunya.

Dalam mentadabburi wa laa tansa nashibaka minad dunya ini Mbah Nun mengatakan, ketika mencari akhirat perhitungkan semua perbuatanmu, urusanmu, pilihan hidupmu, skala wilayah tanggung jawabmu, atau segala sesuatu yang kamu timpakan pada dirimu (nashib), jangan sampai salah hitung ketika di dunia ini yang nanti akan membawamu ke akhirat. Tentu ini akan menjadi kontroversial di dunia tafsir mainstream, tapi juga kalau kita bersedia open mind ini bisa membukakan pikiran untuk hal yang baru.

Dengan bahasa lain, Pakdhe Herman menyambung tadabbur tadi dengan kalimat kurang lebih “ketika kamu dilahirkan sebagai orang Jawa jadilah orang Jawa yang sesungguhnya, ketika menjadi kambing jadilah kambing bukan ayam, bertanggung jawab sesuai dengan kapasitas masing-masing”.

Oh iya, acara Suluk Surakartan kali ini dilaksanakan di lantai satu. Kalau rutinan biasanya diadakan di lantai dua. Sesuai keputusan pada acara Pawon (tempat berkumpulnya penggiat untuk membahas acara rutinan Jumat Keempat) penggunaan lantai satu, karena kapasitas daya tampungnya lebih besar karena yang hadir adalah Mbah Nun. Alhamdulillah, malam itu dihadiri sekitar 400-an jamaah, termasuk dari simpul-simpul terdekat seperti Boyolali, Gemolong, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Klaten dan Sukoharjo.

Tepat tengah malam sekitar 00:15 acara diakhiri, sebelumnya dilantunkan Wakafa, lagu single terbaru dari Album Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Terima kasih Mbah Nun, kami bergembira sekali, dan kami berharap suatu saat Mbah Nun bisa hadir kembali membersamai kami lagi.

Lihat juga

Back to top button