TIGA PENDEKATAN UNTUK MEMAHAMI MANUSIA MUHAMMAD
(Liputan Majelis Ilmu Kenduri Cinta Jakarta, 16 Januari 2023)
Kenduri Cinta mengawali forum di 2023 dengan waktu penyelenggaraan yang tidak seperti biasanya. Kenduri Cinta biasanya dihelat pada hari Jumat minggu kedua setiap bulannya. Kalau harus bergeser, biasanya hanya bergeser ke hari Sabtu atau memundurkan jadwal di pekan ketiga di hari Jum’at juga. Tetapi, di awal 2023 ini, Kenduri Cinta edisi Januari diselenggarakan di hari Senin.
Sebuah pilihan yang agak gila. Mengingat, forum ini dihelat di Jakarta. Sebuah kota di mana orang-orang menjalani kehidupan dengan penuh dinamika. Setiap hari, sejak keluar rumah, mereka sudah berhadapan dengan kemacetan lalu lintas yang semakin semrawut dari hari ke hari. Tidak jarang, banyak dari kaum pekerja di Jakarta, harus keluar rumah sejak jam 5 pagi, dan baru sampai ke rumah kembali pukul 9 malam.
Keputusan menyelenggarakan forum di hari Senin bukan tanpa konsekuensi. Pilihan itu diambil dengan segala pertimbangan. Toh hidup kita sepenuhnya juga penuh dengan konsekuensi. Teman-teman penggiat Kenduri Cinta pun tetap melakukan aktivitasnya sehari-hari. Di hari Senin siang, tetap bekerja di tempat bekerjanya masing-masing. Baru saat sore, datang di lokasi, untuk mempersiapkan berlangsungnya forum. Sudah pasti, besoknya hari Selasa, tetap bekerja dan harus berangkat pagi dari rumah. Begitu juga yang dirasakan oleh jamaah Maiyah yang hadir di Kenduri Cinta.
Bahkan, sejak menjelang Isya’, jamaah yang datang sudah sangat banyak memenuhi Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Tidak sedikit orang tua yang membawa serta anak-anaknya, bahkan yang masih balita. Beberapa diantaranya bahkan tampak anak seusia 5-7 tahun, yang sudah tentu besok harus masuk sekolah. Tapi, anak-anak itu tampak menikmati suasana forum. Mereka ikut khusyuk menyimak Mbah Nun, Ust. Noorshofa, dan narasumber lainnya. Entah apa yang mereka tangkap dari apa yang disampaikan, yang pasti atas niat baik orang tuanya, mengajak serta mereka datang ke Kenduri Cinta akan menjadi manfaat bagi mereka di masa depan.
Januari 2023 ini juga menjadi penanda usainya jeda pandemi Covid-19 sejak tahun 2020 lalu. Mungkin juga menjadi momentum untuk menuntaskan kerinduan setelah jeda 2 tahun. Meskipun di tahun 2022 lalu Kenduri Cinta sudah menyelenggarakan forum, sebagian dari jamaah Maiyah memilih untuk menahan diri sembari memastikan bahwa memang pandemi benar-benar sudah selesai. Dan itu yang kemudian terlihat di Kenduri Cinta edisi Januari 2023 awal pekan lalu. Jamaah yang datang membludak, lebih banyak dari bulan sebelumnya.
Tepat pukul 20.00 WIB, forum dimulai dengan tadarus Al-Qur`an dan dilanjutkan dengan munajat shalawat. Sesi Mukadimah di awal, menjadi alas diskusi untuk memasuki diskusi sesi selanjutnya. Dimoderatori oleh Pramono, teman-teman penggiat Kenduri Cinta seperti Adi Pudjo, Amien Subhan, Munawir Sajali hingga Rois bergantian memberi lambaran tema Kenduri Cinta malam itu. Masing-masing mengupas dari sudut pandangnya mengenai Manusia Muhammad.
Sekitar pukul 21.00 WIB, ditengah gayengnya diskusi sesi Mukadimah, Mbah Nun sampai di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Alih-alih transit sejenak di belakang panggung, Mbah Nun dan Ustadz Noorshofa justru langsung menuju panggung Kenduri Cinta malam itu. Ternyata, bukan hanya jamaah saja yang kangen bertemu, Mbah Nun sendiri pun sudah kangen, sehingga tidak ingin berlama-lama untuk mengambil jeda transit, ingin segera menyapa jamaah Kenduri Cinta malam itu.
Di awal, Mbah Nun menyampaikan bahwa di Maiyah cara untuk memahami Manusia Muhammad ada tiga. Pertama, dengan menggunakan informasi yang berasal dari para jumhur ulama. Maka kita mengenal sifat wajib bagi Rasul adalah; Shiddiq, Tabligh, Amanah, Fathonah. Kedua, kita di Maiyah, disampaikan oleh Mbah Nun, memiliki banyak terminologi seperti ‘Abdan Nabiyya, Mulkan Nabiyya, Nabiyya ‘Abda, Nabiyya Mulka dan seterusnya. Ketiga, menggunakan istilah yang Allah sendiri menyampaikannya kepada kita, seperti yang termaktub dalam Surat At-Taubah ayat 128. Dari ayat tersebut kita dapat memahami bahwa Manusia Muhammad adalah dia yang ‘aziizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum bi-l-mu’miniina rouufu-r-rohiim.
“Jadi mulai tahun ini, kita bukan sinau bareng lagi. Sekarang mulai tahun 2023 yang kita lakukan adalah sinau perubahan,” Mbah Nun menyapa jamaah dengan sedikit memberi landasan mengenai tema dan menegaskan bahwa yang akan dilakukan di Maiyahan mulai tahun 2023 ini adalah sinau perubahan. Landasan yang diambil oleh Mbah Nun tentu saja adalah ayat Al Qur’an; innallaha laa yughayyiru maa biqoumin hatta yughoyyiru maa bianfusihim. Mbah Nun menjelaskan bahwa Taghyir (perubahan) itu berbeda dengan Tajdid (pembaharuan) dan juga berbeda dengan Tabdil (Pergantian).
Secara khusus, Mbah Nun sudah mengestafetkan tongkat untuk mengawal Ngaji Perubahan kepada Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh. Hal itu sudah dimulai pada Padhangmbulan edisi Januari lalu (7/1), lalu di Bangbang Wetan (8/1), kemudian di Mocopat Syafaat (17/1) dan seterusnya di forum-forum Maiyah lainnya.
“Maiyah adalah sebuah forum di mana kita datang dengan niat untuk meningkatkan kualitas diri kita masing-masing,” Mbah Nun melanjutkan. Kualitas yang dimaksud adalah kualitas iman, kualitas inetelektual, kualitas psikologi, kualitas mental dan semua yang ada dalam diri kita, dan ini ditekankan oleh Mbah Nun harus selalu meningkat setiap datang ke Maiyahan. “Jadi kalau anak Maiyah datang ke KC, anda harus menghitung dulu; saya ini yang sudah meningkat apa saja? Jika ada hal yang ditemukan belum ada peningkatan, maka hal itu yang menjadi fokus untuk ditingkatkan. Jadi, Maiyah adalah forum yang kita manfaatkan supaya yang datang ke forum ini meningkatkan kualitas hidupnya dan kualitas dirinya,” lanjut Mbah Nun.
Mbah Nun kemudian mengutip Surat Al Kahfi ayat 93, yang mengisahkan satu peristiwa saat Nabi Dzulqornain tiba di suatu daerah yang diapit oleh dua gunung. Nabi Dzulqornain bertemu dengan suatu kaum yang Allah menyebutnya laa yakaaduuna fahqohuuna qoulan, suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan. Mbah Nun mengibaratkan situasi bias informasi yang dialami oleh kaum tersebut adalah seperti yang kita alami hari ini, di media sosial, dengan mudah kita menghakimi, mengambil kesimpulan, tanpa mau memahami lingkaran besar dari sebuah peristiwa itu. Dan terkadang, saat daya sensitivitas kita melemah, kita akan mudah menyampaikan sesuatu yang seharusnya tidak disampaikan.
Mbah Nun kemudian melanjutkan, di Padhangmbulan edisi Januari, Mas Sabrang mengemukakan 3 konsep realitas dalam diri manusia; realitas materi (fisik), realitas akal, dan realitas ruh. Mbah Nun menyitir Surat Al-Isra’ ayat 85; wa yasaluunaka ‘ani-r-ruuh, quli-r-ruuhu min amri robbii wa maa uutiitum mina-l-‘ilmi illa qoliiaan. Dari ayat tersebut, dijelaskan bahwa ruh adalah sesuatu hal yang rahasianya dipegang oleh Allah.
Mbah Nun kemudian mentadabburi ayat tersebut dengan konsep Tauhid. Tauhid berasal dari kata wahada-yuwahhidu-tauhiidan. Maka, menurut Mbah Nun, jika kita terus berdialektika dengan Allah dalam komunikasi dan hubungan yang baik, sehingga kita bertauhid, menyatu dengan Allah, begitu juga sebaliknya. Dan saat kita sudah sangat dekat dengan Allah, sangat memungkinkan wa maa uutiitum mina-l-‘ilmi illa qoliiaan menjadi wa maa uutiitum mina-l-‘ilmi illa katsiron. Atau setidaknya, Allah menambahi pengetahuan tentang hal tersebut, karena Allah merasa sangat mesra dengan kita, maka Allah menambah nikmat kepada kita.
“Kalau bisa, Anda melatih realitas yang ketiga itu; realitas ruh,” Mbah Nun menambahkan. Untuk melatih ruh, tidak sama dengan melatih jasad dan akal. Metode melatih ruh itu tidak linier. Mbah Nun mencontohkan, jika kita ingin memiliki kepekaan batin, maka kita harus rajin sholat, rajin wiridan, riyadlah malam dan lain sebagainya, yang secara akal tidak akan mungkin dipahami. Dicontohkan lagi oleh Mbah Nun, supaya dapat rezeki yang lancar dan berkah, maka kita harus baik dengan orang lain. Algoritme ruh itu berbeda dengan jasad (fisik) dan akal.
“Untuk melatih ruh itu sederhana, tirulah Kanjeng Nabi. Anda harus shiddiq terus, supaya kamu dapat amanah, lalu kamu mendapat ruang untuk tabligh, supaya kamu mendapat perkenan fathonah,” lanjut Mbah Nun. Ditambahkan oleh Mbah Nun, bahwa shiddiq itu bukan hanya jujur, tetapi lebih luas lagi, yaitu sungguh-sungguh. Karen jika kita sungguh-sungguh menjadi manusia, maka salah satu outputnya adalah kejujuran.
Membahas tema Manusia Muhammad, Mbah Nun mengajak jamaah menyelami salah satu pesan Rasulullah Saw.; Ightanim khomsan qobla khomsin: syabaabaka qobla haromika, wa ghinaaka qobla fakrika, wa shihhatakaa qobla sakomika, wa farooghoka qobla syughlika, wa hayaataka qobla mautika. Menurut Rasulullah Saw., kita harus menaga 5 hal sebelum datang yang 5; menjaga waktu muda kita sebelum datang waktu tua kita, menjaga saat kita masih memiliki kelapangan rizki sebelum datang masa kemiskinan kita, menjaga masa sehat kita sebelum datang masa sakit kita, menjaga waktu luang yang kita miliki sebelum datang masa-masa sibuk kita, dan terakhir menjaga hidup kita sebelum datangnya kematian.
Ustadz Noorshofa kemudian menyambung penjelasan Mbah Nun. Dalam salah satu syair shalawat saat maulid Nabi; man roaa wajhaka yas’aad ya kariima-l-walidaini haudhluka-sh-shofi-l-mubaarod wirduna yaumu-n-nusyuuri. Siapapun yang melihat wajahmu (Nabi Muhammad Saw.), akan merasakan kebahagiaan wahai engkau yang mulia kedua orangtuanya. Telagamu jernih dan dingin yang akan kami datangi kelak di hari qiyamat.
“Seperti yang digambarkan dari syair tersebut, yang kita rasakan saat Maiyahan di Kenduri Cinta ini adalah kebahagiaan. Itu yang dididik oleh Cak Nun kepada kita, menghadirkan kebahagiaan untuk sesama manusia,” lanjut Ustadz Noorshofa. Ustadz Noorshofa bercerita saat ini sedang bolak-balik Jakarta-Cianjur untuk membantu proses pembangunan Masjid pasca gempa bumi beberapa waktu lalu di sana. Menurutnya, apa yang dilakukan itu adalah dalam rangka membahagiakan mereka yang sedang ditimpa musibah.
Malam itu, hadir Mas Ian L. Betts. Salah satu sahabat Mbah Nun, warga negara Inggris yang sudah lama tinggal di Indonesia. Mas Ian menceritakan pengalaman spiritualnya saat mempelajari Islam di Indonesia. Berawal dari kajian-kajian kecil bersama KH Quraish Shihab, kemudian bertemu dengan alm. Cak Nur di Universitas Paramadina, hingga akhirnya bertemu dengan Mbah Nun di Kenduri Cinta. Proses persambungan antara Mbah Nun dengan Mas Ian L. Betts pada medio 2000-an membawa rombongan KiaiKanjeng ke Eropa. Saat tur Eropa itu, di Belanda salah satunya, Mbah Nun berhasil mengumpulkan pemuka-pemuka agama dan bersepakat untuk melahirkan rekonsiliasi bersama untuk antar ummat beragama yang saat itu di Belanda sempat terjadi keresahan terhadap ummat Islam pasca dirilisnya film pendek “fitna”.
Ketika di Inggris, Mbah Nun diberi penghargaan Islamic Excellence dalam sebuah pertemuan karena memang Mbah Nun dianggap oleh Pemerintah Inggris layak untuk menerima penghargaan tersebut. Satu hal yang juga sangat membekas bagi Mas Ian L. Betts, saat berada di Roma, Mbah Nun dan KiaiKanjeng diundang ke Vatikan, bertepatan dengan wafatnya Paus Yohanes Paulus II. Mbah Nun dan KiaiKanjeng diminta untuk tampil dalam malam penghormatan terhadap Paus Yohanes Paulus II saat itu. Dan saat itu, Mbah Nun juga menulis sebuah puisi untuk mendiang Paus Yohanes Paulus II yang berjudul Puisi Hati Emas.
Ditekankan oleh Mas Ian L. Betts bahwa Mbah Nun telah menanam benih-benih Maiyah di berbagai tempat. Apa yang diceritakan oleh Mas Ian sebelumnya hanyalah sedikit contoh bagaimana buah Maiyah itu bisa disemai di berbagai tempat. Karena Maiyah hadir untuk mewujudkan kebahagiaan bersama. Maiyah hadir untuk kebersamaan.
Forum Kenduri Cinta edisi Januari 2023 berlangsung sangat gayeng, penuh ilmu, penuh berkah dan juga kegembiraan.