Tadabbur Hari ini (2), KANJENG NABI YO SAMBAT

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
(Al-Fatihah ayat 1)

Bismillahir-Rahmanir-Rahim” adalah maqam keutamaan jiwa manusia yang berkesadaran diri sebagai makhluk atau produk hasil karya Sang Maha Produser, sebagai Al-Khaliqmaupun Al-Khallaq. Beda antara Khaliq dengan Khallaq akan pelan-pelan dan bertahap diuraikan, sebagaimana semua dimensi nilai lain dalam rentang panjang Tadabbur kita.

Bismillahir-Rahmanir-Rahim” adalah patrap, kuda-kuda atau sikap hidup yang paling logis, rasional, proporsional alias empan papan. Adalah landasan budaya tahu diri manusia.

Tentu saja, berkat didikan Ibu-Ayah, sebisa mungkin saya sendiri menjalani hidup ini hingga 70 tahun, memulai setiap kegiatan, pekerjaan, keputusan, dan perilaku, dengan “Bismillahir-Rahmanir-Rahim”.

Dan terus terang itu bisa diam-diam bikin besar kepala. Menerbitkan perasaan semacam bangga diri bahwa saya seolah-olah punya potensi kesalehan. Hidup saya mungkin ‘GR’ dan merasa cukup agamis atau religius. Dan akibat logisnya: realitas kebaikan hidup saya malah bisa batal.

Lihat juga

Posisi saya dan setiap manusia hanyalah “mungkin”. Tidak atau belum bisa dipastikan. Baik karena parameternya atau belum waktunya untuk rasional dan proporsional menyimpulkan bahwa hal itu adalah pasti.

Mengawali segala sesuatu dengan “Bismillahir-Rahmanir-Rahim”, bisa membuat saya merasa dekat dengan Allah. Tetapi mustahil saya bisa memastikan bahwa itu juga berarti Allah dekat dengan atau kepada saya.

Tidak ada tools, tidak ada sarana, tidak ada cara atau alat pada diri saya untuk memastikan bahwa Tuhan dekat kepada saya. Ikhtiar saya untuk ber-“taqarrub” kepada Allah tidak bermakna bahwa Allah pasti juga “qarib” kepada saya. Mungkin terkadang sesekali, atau sekilas rasa, seperti terdapat sekelebatan anggapan bahwa Tuhan dekat kepada saya.Tetapi bisa jadi itu anggapan subyektif dan sedikit “besar kepala”.

Memang ada statement Allah dalam sebuah hadits qudsy:

إذا تَقَرَّبَ العَبْدُ إليَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا

“Apabila seorang hamba mendekat kepadaKu sejengkal, maka niscaya Aku mendekat kepadanya sehasta” (dst)

Akan tetapi kita hanya bisa menggapai realitas pernyataan itu dengan keyakinan, tanpa bisa memastikan bahwa memang benar dan riil demikian. Keyakinan terletak satu langkah yang mungkin panjang di depan harapan, tetapi ia belum sampai ke ranah kepastian.

Rumus dasarnya jelas: Allah Maha pasti, manusia tidak pasti. Allah maha tak terbatas, manusia sangat terbatas. Allah mutlak, manusia relatif.

Bahkan Rasulullah Muhammad Saw., kekasih utama Allah sendiri, yang seluruh hidupnya dipenuhi oleh “Bismillahir-Rahmanir-Rahim”, yang berdasarkan logika manusia beliau pastilah senantiasa disayang dan dilindungi Allah. Apalagi Allah sendiri yang mengutusnya menjadi Nabi dan Rasul.

Tetapi Rasulullah sendiri tidak tercermin bahwa beliau meyakini itu sebagai kepastian. Maka tatkala dilempari batu oleh masyarakat Thaif, Rasulullah mengeluh kepada-Nya dengan kalimat-kalimat pertanyaan. Di dalam setiap pertanyaan tidak setitik pun terkandung kepastian. Kalau dilindungi Allah adalah pasti, maka beliau tidak bertanya.



إلَى مَنْ تَكِلُنِي؟
إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهَّمُنِي
أَمْ إلَى عَدُوٍّ مَلَّكْتَهُ أَمْرِي؟

“Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang yang hatinya jauh dariku dan berwajah muram kepadaku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?”

Itu Muhammad Habibullah, “Nabiyyan Rasula” kinasih Allah, Ulul Azmi rangking-1. Lha manusia awam dan remeh seperti saya, mestinya buruk muka di tengah ummat manusia, bangsa dan Indonesia. Apalagi di hadapan Allah.

Emha Ainun Nadjib
30 April 2023.

Lihat juga

Back to top button