SOSOK MANUSIA NGELMU

(Pengantar Majelis Ilmu Maiyah Padhangmbulan Jombang, Ahad 5 Februari 2023)

 

Pengajian Padhangmbulan pada Minggu, 5 Februari 2023, di desa Mentoro Sumobito Jombang, tidak akan dihadiri secara fisik oleh Mbah Fuad karena beliau hidup dalam kesadaran kita masing-masing.

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Q.S. Ali Imran: 169). Gugur di jalan Allah adalah kematian yang syahid. Ia menjadi saksi atas kebenaran kalimah Allah Swt.

Mbah Fuad adalah pejalan ilmu yang menyaksikan kebenaran seorang alim menjalani hidupnya: sederhana, rendah hati, dan lapang dada. Tidak terlihat pada diri beliau tanda-tanda kebesaran apalagi membesarkan-besarkan diri.

Lihat juga

Setiap sowan ke ndalem beliau, setiap kali bersalaman hendak pamit pulang, Mbah Fuad selalu tersenyum sambil berujar, “Tulisannya bagus, Mas.” Yang Beliau maksud adalah tulisan reportase Padhangmbulan yang tayang di CakNun(dot)com.

Pujian itu seolah “meniadakan” diri beliau sendiri. Padahal saya tidak menulis apa-apa kecuali isi pikiran yang beliau kemukakan di Pengajian Padhangmbulan. Itu pun saya menulisnya semampu yang saya cerna.

Sudah pasti saya malu dan merasa kecil di hadapan beliau, benar-benar merasa kecil, dan lihatlah betapa bodohnya saya. Meladeni kebodohan ini Mbah Fuad selalu bersabar. Beberapa ayat atau surat yang luput dari catatan saya di Padhangmbulan saya tanyakan lagi. Jawaban yang dikirim melalui WhatsApp ternyata sangat-sangat lengkap, melebihi kebutuhan jawaban yang saya tanyakan.

Sikap rendah hati itu juga saya alami ketika mengeditori Mushaf Al-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhangmbulan. “Apa topik tulisan perlu ditambah lagi?” tanya beliau. “Kalau perlu ditambah saya menunggu Cak Nun saja.”

Hati saya bergumam, apa susahnya bagi Mbah Fuad menulis sepuluh atau dua puluh topik tentang Tadabbur Maiyah. Mengapa harus menunggu tulisan dari Mbah Nun?

Mbah Fuad mengikuti kemauan Mbah Nun. Setali tiga uang Mbah Nun pun demikian. “Ful, aku manut Cak Fuad,” kata beliau. Piye iki?

Ini pasti bukan sekadar siapa menunggu siapa: beliau berdua saling menjaga adab agar tidak saling mendahului. Pengalaman ini sangat kontras dengan kenyataan yang sekarang merasuki banyak orang: aku harus unggul di atas mereka.

Selama proses penulisan Tadabbur Maiyah Padhangmbulan oleh Mbah Fuad dan Mbah Nun, kenikmatan yang saya rasakan adalah kerendahan hati dari beliau berdua.

Saya mengalami lisaanul hal afshahu min lisaanil maqaal. Bukti nyata melalui praktik lebih jernih daripada ucapan. Atau dalam tradisi Jawa, Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara. Artinya, ngelmu iku (mencari ilmu itu) kelakone (tercapainya) kanthi laku (melalui proses atau perjalanan lahir dan batin).

Pak Iman Budhi Santosa dalam buku Nasihat-nasihat Hidup Orang Jawa menyatakan ngelmu berbeda dengan ilmu. “Ngelmu adalah ajaran batin untuk bekal hidup di dunia dan akhirat,” ungkapnya. Laku atau proses perjalanan lahir batin ditempuh dengan jalan memperkuat karakter positif, berbudi pekerti yang baik, dan menjauhkan diri dari perbuatan angkara.

Mbah Fuad tidak berteori tentang sikap rendah hati, melainkan mengerjakannya sehingga saya, Anda, dan kita semua menemukan indikator perilaku orang yang dibimbing oleh cahaya ilmu.

Meneladani Mbah Fuad adalah mencontoh kebaikan beliau sebagai manusia pecinta ilmu untuk kemuliaan di akhirat—di tengah banyak orang yang memanfaatkan ilmu untuk kemuliaan di dunia semata, serta memperalat ilmu untuk kemewahan hidup di dunia.

Pada jenis model yang terakhir—ilmu menjadi alat untuk meraih kemewahan, jabatan, dan kekuasaan di dunia sembari menganggap dirinya mulia di sisi Allah—penampilan Mbah Fuad terlihat sangat “biasa”. Memiliki kualitas lahir batin sebagai anggota Majelis Umana pada King Abdullah bin Abdul Aziz International Center for Arabic Languange (KAICAL), penampilannya terlalu sederhana.

Ini sungguh tidak lazim bagi ukuran penampilan manusia berilmu zaman sekarang. Faktanya, selain harus ditunjukkan melalui jubah, serban, serta dibangun oleh kebanggaan terhadap lingkaran tradisi nasab, ternyata kealiman itu perlu disupport oleh sejumlah fasilitas serba mewah.

Sayangnya, Mbah Fuad tidak cukup piawai mengelola itu semua untuk personal branding lalu menjadikannya pundi-pundi investasi kekayaan dan kekuasaan. Beliau justru tampil layaknya orang “awam” pada umumnya.

Mbah Fuad tetap Mbah Fuad, manusia desa Mentoro yang berpuasa sepanjang usia. Saya haqqul yaqin manusia ngelmu seperti ini meninggal dunia di jalan Allah sehingga kita jangan menyangka beliau mati. Bahkan beliau hidup di sisi Allah dan diberi rezeki.

Jombang, 2 Februari 2023

Lihat juga

Back to top button