Selamat Jalan, Kang Ramli
Ada yang bikin haru pada momen perpisahan kelas 6 di SD tempat saya mengajar bulan lalu. Yakni ketika para guru naik ke atas panggung dan mempersembahkan lagu “Sampai Jumpa” milik band punk asal Yogyakarta, Endank Soekamti.
Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada, bertemu akan berpisah
Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut, bertemu akan berpisah
Hey, sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Kurelakan dirimu pergi
Meskipun ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
Kuharap terbaik untukmu
Enam tahun lamanya mereka sekolah di SD. Tentu bukan waktu yang sebentar. Banyak hal dan pengalaman yang telah mereka cecap dan resap. Segala asam manis proses belajar dan bermain di sekolah dasar akan menjadi kenangan berharga bagi mereka. Begitu juga guru-gurunya. Bersentuhan dengan mereka (siswa-siswi) sejak kelas satu hingga kelas 6, sudah pasti meninggalkan kesan yang tak terlupakan. Dan pada akhirnya, hari itu tiba. Yang datang akan pergi, yang bertemu akan berpisah. Hanya ucapan sampai jumpa dan seturut doa yang mampu diikrarkan.
Pun sekira 6 tahunan, saya diperjalankan melingkar di Majelis Mocopat Syafaat, Kasihan, Yogyakarta. Setiap tanggal 17, saya selalu berupaya meluangkan waktu. Datang dan belajar. Silaturahmi, menata hati, me-refresh pikiran, ngangsu ilmu, hingga ngalap barokah.
Bagi yang rajin datang gasik ke MS, ada ritual wajib yang dilakukan sebelum dimulainya acara. Yakni tadarusan. Mengaji. Mendaras ayat-ayat suci Al-Quran. Melantunkan firman Tuhan. Mengagungkan kebesaran Rabb semesta alam. Tilawah Quran menjadi alas, pondasi sebuah majelis ilmu. Juga sebagai nuur, cahaya petunjuk, serta doa permohonan agar dirahmati keberkahan selama berlangsungnya acara.
Personanya kalem. Tenang. Tubuhnya subur. Suaranya lembut, menyejukkan. Dengan memegang kitab Quran kecil, pria bersarung itu naik ke atas panggung. Uluk salam, duduk tumakninah, kemudian memimpin dan mengajak seluruh jamaah untuk bertilawah. Itu tandanya forum Pitulasan mula digelar. Usai nderes Quran, tak lupa beliau menghadiahi Al-Fatihah kagem Simbah, dan bagi para Marja’ Maiyah. Cukup mendengar, bahkan tanpa melihat pun, kita langsung tahu suara itu suaranya Kang Ramli. Siapa lagi kalo bukan dia?
Setiap kali Mocopatan, hampir pasti saya bertemu Kang Ramli. Namun sekian kali bertemu beliau, sekali pun kami belum sempat ngobrol bareng. Antara saya canggung, atau sungkan. Paling pol kita bersalaman, dan saling mengumbar senyum. Hanya sebatas itu. Meski tak pernah berbincang langsung, tapi suara Kang Ramli saat mengaji langsung nancep di telinga. Terekam selamanya.
Sebuah ujar orang Banjar, “umur kada babau,” yakni ajal atau maut bisa datang kapan saja. Tak berbau. Tak ada yang tahu. Tiba-tiba siang tadi (15/7), kami menerima kabar bahwa Kang Ramli sampun katimbalan sowan marang Gusti. Ya Allah. Innalillaahi wa inna ilaihi raji’uun. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihii wa’fuanhu.
Keluarga besar Maiyah kehilangan lagi salah seorang terbaiknya. Kami kehilangan Kang Ramli, sebab kami pernah merasa memilikinya. Kami memiliki kehilangan. Tak terpungkiri, bahwa semua yang datang akan pergi, yang lewat kan berlalu, yang ada kan tiada, yang awal kan berakhir, yang bertemu akan berpisah. Sampai jumpa Kang Ramli. Kami bersaksi, panjenengan orang baik. Awal dan akhir hayatmu semoga dalam keadaan suci. Bihusnil khotimah. Al-Fatihah.
Gemolong, 15 Juli 202