MENGUTAMAKAN KEBIJAKSANAAN
Belum lama ini, terjadi peristiwa yang kurang mengenakkan di sekolah tempat saya mengajar. Dengar-dengar, ada seorang siswa kelas dua yang ingin pindah sekolah. Hah? Sebut saja dia, Banu Akbar. Mendengar kabar tersebut, pihak sekolah langsung gercep untuk mengkroscek benar tidaknya.
Atas undangan pihak sekolah, Ibu Banu datang menemui ibu kepala. Disampaikanlah segala unek-uneknya. Ibu Banu pun menceritakan kronologinya. Sepulang sekolah Banu mengadu ke ibunya. Katanya, dia dikatain “anak yatim” oleh beberapa teman kelasnya. Ya, Banu memang anak yatim. Jelang masuk SD, ayahnya meninggal dunia lantaran serangan jantung.
Ketika dikatain anak yatim oleh temannya, Banu hanya diam. Ia tidak membalas. Ia tidak menangis, dan tidak juga marah. Dia diam. Namun, sesampainya di rumah ekspresinya berubah. Ia meluapkan perasaan aslinya kepada sang ibu. Banu menangis sejadi-jadinya. Ia sedih, malu, sekaligus marah! Hatinya keloro-loro. Sangat tidak terima. Anak kecil mana yang tidak terluka hatinya dikatain yatim? Itu sangatlah wajar. Lumrah. Dan manusiawi.
Mediasi ditempuh.
Saya yakin, jika ada guru mendengar teman-teman Banu ngatain dia yatim, pasti ditegur. Saya pun akan melakukan hal serupa. Saya jamin! Tapi ya namanya anak-anak, meski sudah dikandani bola-bali kadang ya tetep dibaleni. Sekali lagi itulah pola pikir anak-anak. Belum paham betul soal baik-buruk, sopan-kasar, aman-bahaya, dll. Jelas posisi Banu berat. Di masa kanak-kanak, ia mesti kehilangan sosok bapak. Figur pelindung, pengayom, dan panutan tak ia dapatkan. Berbeda dengan kawan-kawan sebayanya.
***
Apa yang menimpa Banu Akbar, mengingatkan saya perihal “kasus” yang acapkali dikisahkan oleh Mas Sabrang. Mungkin sebagian teman-teman mafhum. Ceritanya, tatkala ayahnya Mas Widi (keyboardist Letto) meninggal dunia. Baru usai jenazah dimakamkan, baru lima jengkal meninggalkan pusara, temen-temen Letto sudah “nggojeki” Mas Widi dengan pertanyaan, “Tim, yatim, piye perasaane dadi anak yatim?”
Mohon jangan tertawa dulu.
Pertanyaan tersebut tidak mungkin keluar kalau tidak ada hubungan pertemanan yang sangaaat dekat. Itu hanya bisa dilakukan sesama konco kentel. Karena kalau itu disampaikan kepada orang yang tidak akrab, bisa ditampol raine. Tidak sopan! Orang akan tersinggung. Bahkan bisa baku hantam. Urusannya bisa panjang.
Pada dasarnya, kasus yang menimpa Banu dan Mas Widi itu sama. Sama-sama dikatain yatim oleh temannya. Yang membedakan hanya usia dan nuansa kebatinan. Banu anak yatim itu benar. Teman-teman Banu ngatain dia yatim itu berdasarkan fakta. Itu valid. Tidak salah. Benar 100%. Bener, ning ora pener. Tidak pas. Tidak etis. Tidak pantas diucapkan. Plus ungkapan “hey, anak yatim” itu ada indikasi nada mengejek kepada Banu. Bocah kelas dua SD dikatain seperti itu ya jelas saja nangis. Meski tidak ditunjukkan langsung di depan teman-temannya.
Lain halnya dengan Mas Widi. Blio diledekin kayak gitu mungkin hanya geli saja. Tidak sampai marah. Sebab blio sebagai orang dewasa bisa menetralisirnya. Sebagai teman dekat bisa menerimanya sebagai bentuk keakraban cum kemesraan. Tidak ada niat untuk mengejek atau menghina. Istilah gampangnya, Mas Widi bisa mengelola perasaannya, serta berdamai dengan rasa kehilangan. Meski pahit. Hal tersebut yang jelas belum bisa dilakukan oleh seorang bocah kelas dua SD yang bernama Banu Akbar.
***
Pasca terjalin obrolan kekeluargaan antara pihak sekolah (kepala sekolah dan rekan guru) dengan orang tua Banu (ibunya) dan Banu sendiri, Alhamdulillah ketemu solusi terbaik. Atas nama instansi sekolah dan murid yang terlibat (teman-teman Banu) secara terang-terangan meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Banu dan keluarganya. Selanjutnya akan ditempuh langkah preventif, agar kajadian tersebut tidak terulang. Teman-teman Banu diberi pengertian, himbauan, sampai penegasan sanksi hukuman (yang mendidik) apabila mereka mbaleni perbuatannya. Ditambah ada pendampingan khusus kepada Banu oleh guru konselor.
Alhamdulillah, Banu tidak jadi pindah sekolah. Bahkan pihak sekolah memberikan kebijakan berupa keringanan biaya pendidikan kepada Banu karena ia seorang yatim. Selalu ada hikmah di balik peristiwa. Selama kebijaksanaan diutamakan, InsyaAllah akan melahirkan keindahan. Banu kini duduk di kelas tiga. Di hari pertama masuk sekolah, wajahnya tampak berseri cerah. Banu Akbar tersenyum lebar. Saya turut semringah.
***
Dari peristiwa Banu Akbar, kita semua belajar. Selama kita hidup, masalah akan terus ada. Kita tak bisa menghindar. Dan setiap masalah mesti dilihat dari banyak sisi pandang. Tidak sepihak atau sepenggal. Fokus pada solusi (jalan keluar) bukan pada masalah. Hindari membenarkan diri, atau menyalahkan orang lain. Berdiri di tengah-tengah. Menawarkan ragam perspektif. Agar cakrawala terbuka. Agar bisa saling timbang menimbang. Agar matang dan seimbang dalam mengambil keputusan. Bukan semata urusan benar-salah, senang-susah, atau menang-kalah. Itulah kebijaksanaan. Itulah perangkat perdamaian. Itulah alat keadilan sosial. Itulah yang ditanam bertahun-tahun, dipupuk, disirami, bertahan tumbuh (grow) dan berbuah (glow) di kebun Maiyah.
Gemolong, 24-07-2024