“SAKRALNYA” SEBUAH STETOSKOP
Dengan prolog chat WA akhirnya saya berhasil ketemu dengan seorang teman yang selalu memberi inspirasi saya tentang tulisan-tulisan saya. Kami ngobrol sambil makan sore, dengan lauk tempe dan sambal plecing. Sungguh suatu nikmat yang tiada tara. Saya mendapat asupan gizi berupa plecing kangkung, tempe goreng, dan terong goreng. Sekaligus saya mendapat masukan dan inspirasi (bahasa lainnya adalah PR) untuk tulisan saya. Teman saya itu bertanya,“Apa yang terpikirkan ketika sedang memeriksa pasien, meletakkan stetoskop di dada dan perut pasien?”
Saya diam, dan memikirkan ke arah mana kira-kira pertanyaan sang inspirator tersebut. Tentu dalam tata urutan pemeriksaan, kalau kita sedang memeriksa pasien, tidak sekedar menempelkan stetoskop. Kita memulainya dengan bincang-bincang “interogasi” tentang keluhan utama yang dirasakan—sejak kapan dikeluhkan, sudah diperiksakan kemana saja, sudah diberi obat apa saja, bagaimana perkembangannya, apakah ada saudara atau tetangga, teman sekolah, menderita penyakit serupa, dan seterusnya, dan seterusnya.
Banyak hal yang bisa di-explore dari wawancara tersebut. Teknik wawancara tersebut akan mendukung tegaknya diagnosis. Kita menyebut wawancara tersebut dengan istilah ‘anamnesis’. Cermatnya anamnesis yang dilakukan akan sangat mendukung dan menentukan penyakitnya. Bahkan guru-guru saya pada waktu kuliah dulu mengatakan bahwa bila anamnesis dilakukan dengan cermat, maka 60% diagnosis penyakit sudah didapat.
Anamnesis atau penggalian informasi atas penyakit yang dikeluhkan dan diderita oleh pasien merupakan proses awal dari interaksi dokter–pasien. Dibutuhkan empati dari sang dokter. Dibutuhkan kejujuran dari sang pasien. Suatu bentuk komunikasi yang seharusnya bersifat terbuka, jujur, dan akan masuk dalam catatan medis pasien yang bersifat rahasia. Tidak akan ditanya dari suku apa, ras apa, agama apa, penghasilan berapa, kaya apa miskin, kuat mbayar apa ndhak. Walaupun ada pertanyaan-pertanyaan yang semacam itu, tetapi itu pertanyaan yang bersifat administratif, dan ditanyakan dalam rangka melengkapi kelengkapan administrasi rumah sakit.
Sesudah anamnesis berlangsung, maka akan dilakukan pemeriksaan fisik, kemudian pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
Terhadap pertanyaan teman saya sang inspirator ini, saya kembali berpikir. Otak saya berdialog dengan hati saya, tentang kejujuran dan kebenaran. Secara fisik menempelkan stetoskop di dada dan perut adalah pekerjaan rutin yang hanya menghasilkan suara jantung, suara paru, dan bising usus. Dalam banyak hal, pertanyaan-pertanyaan atau misteri dari masalah kesehatan tidak bisa terjawabkan dengan menempelkan stetoskop di tubuh pasien. Misalnya, seorang yang sakit mata (beleken), kita periksa tentu fokus di matanya, akankah saya juga menempelkan stetoskop di dada atau di perut pasien?
Kalaupun iya, maka pertimbangannya bukan hal-hal yang sepenuhnya ‘ilmiyah’. Peristiwa menempelkan stetoskop ke tubuh pasien adalah sesuatu yang ‘sakral’ dalam sebuah episode ‘pemeriksaan pasien’. Seorang pasien akan merasa bahwa dia diperiksa oleh dokter manakala dokter meminta pasien membuka dada dan perutnya kemudian menempelkan stetoskopnya. Inilah peristiwa sakral tersebut! Dan, pasien akan merasa mantab dan berkata bahwa dia sudah ‘diperiksa’ oleh dokter. Sebuah peristiwa dimaknai bermacam-macam oleh pelaku yang berbeda, dokter, pasien maupun keluarganya.
Sang inspirator tersebut membangunkan lamunan saya dan berbicara, “Ketika dalam sebuah acara bersama kalangan farmasis beberapa tahun silam di mana beliau diminta menjadi narasumber, Cak Nun mengatakan bahwa ketika Anda sedang meracik obat atau seorang dokter sedang memeriksa pasien jangan pernah sekalipun terpikirkan pada saat itu berapa jumlah rupiah yang akan kamu terima atau berapa jumlah rupiah yang akan kamu tagihkan kepada pasien atau orang yang sakit!”’
Kehidupan sekarang ini penuh dengan muatan kapitalistik. Maka tak heran bila beliau mengingatkan hal tersebut. Apalagi kalau berbicara tentang sebuah institusi yang bernama Rumah Sakit. Pilu, sedih, dendam, pengen berontak, marah, kasihan, tidak tega, dan seribu macam perasaan yang berkecamuk kalau saya membicarakan institusi ini.
Saya kembali merenungi pertanyaan sang inspirator tersebut sambil mengunyah sisa-sisa plecing kangkung dan melahap tempe goreng, agar saya tak segera menjawab pertanyaan beliau ini.
Tetapi pembicaraan antara otak dan hati saya menyimpulkan,
“Kamu tak tahu apa apa tentang rahasia kesehatan yang kamu hadapi. Bahkan pengetahuanmu yang kau peroleh dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, bahkan kamu sudah melanglang buana sampai negeri Belanda, Kanada, Afrika, Amerika, Australia, dan tempat-tempat lain, tak ada sekuku hitam dibandingkan dengan rahasia penyakit dan kesembuhan yang dimiliki-Nya.” (Bersambung)
2 Januari 2023