Ruwat (Desa), Menjalani Islam Itu Sendiri
Liputan 1, Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng Ruwat Bumi Desa Sima Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang, 28 Agustus 2022
Satu kesempatan Sinau Bareng tak jarang merupakan pendalaman dari Sinau Bareng sebelumnya, terlebih karena ada kesamaan tema. Seperti Sinau Bareng tadi malam di lapangan Desa Sima Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Pemerintah Desa Sima sedang menyelenggarakan rangkaian kegiatan Ruwat Bumi Desa Sima yang dipuncaki dengan Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng.
Tema Sinau Bareng di Lapangan Desa Sima ini sama dengan tema Sinau Bareng sebelumnya pada tiga empat hari lalu (25/08/22) di Lapangan Desa Tambak Oso Waru Sidoarjo Jawa Timur, lebih dari 500 kilometer jaraknya dari Desa Sima Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang ini, yaitu Ruwat Desa atau Ruwat Bumi.
Melalui metode workshop tiga kelompok Jamaah yang diminta menjawab soal yang diajukan Mbah Nun, para jamaah diajak menelaah apa dan bagaimana memahami kegiatan Ruwat Desa atau Ruwat Bumi. Ini salah satunya dikarenakan kadang ada yang berpendapat tradisi Ruwat Desa adalah sesuatu yang bid’ah. Semetara dari pendalaman semalam, Ruwat Desa dipahami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan anugerah kepada masyarakat desa. Seperti tercermin dalam agenda Ruwat Bumi Desa Sima itu sendiri. Pagi hari sebelum Sinau Bareng warga mengadakan arak-arakan hasil Bumi sebagai tanda mereka bersyukur atas anugerah yang Allah berikan melalui Bumi di Sima ini.
Ketiga kelompok workshop juga memiliki pandangan yang sama bahwa Ruwat Desa adalah ungkapan rasa syukur atas anugerah yang diterima dari Allah. Ruwatan merupakan kegiatan membersihkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh Allah. Ruwatan adalah doa agar kita dihindarkan dari hal-hal yang negatif serta agar kita dapat hidup aman, tenteram, dan nyaman. Sebagai tradisi yang baik, ketiga kelompok juga sepakat bahwa Ruwatan perlu dilestarikan dan bukan merupakan bid’ah yang buruk.
Dalam proses merefleksikan Ruwat Bumi atau Ruwat Desa, Pak Lurah Sima Arif Nafan Lubis–akrab disapa Mas Aan–menambahkan bahwa ruwatan juga mengalami pergeseran atau evolusi makna. Dulu ruwatan identik dengan adanya peristiwa wabah seperti gagal panen dlsb sehingga masyarakat mengadakan acara Ruwatan. Seiring perkembangan zaman, teknologi, ekonomi, sosial, budaya, kebutuhan akan Ruwatan akan mencakup bagaimana kita menyikapi informasi-informasi yang berkembang. Itulah sebabnya, menurut Mas Aan, Ruwatan Bumi di Desa Sima memerlukan Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng.
Dalam salah satu respons yang diberikan kepada tiga kelompok ini, Mbah Nun juga menerangkan bahwa dalam pengertian sehari-hari Ruwatan identik dengan ‘buang sial’. Di sini Ruwatan merupakan proses menelusuri diri secara introspektif mengapa kita mengalami sial. Mungkin karena banyak bermaksiat. Mungkin kurang bersyukur. Dari sini Ruwat berarti membuang perilaku buruk sehingga harapannya ‘sial’ yang ada tersebut dibuang oleh Allah dari diri kita.
Sesudah mengajak anak-cucu jamaah Maiyah menyelami dunia batin orang Jawa dalam menjalani ruwatan sebagai rasa syukur atas anugerah Allah, wujud doa agar dihindarkan dari hal-hal negatif, serta keinginan untuk membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, maka menurut Mbah Nun, Ruwat Desa atau Ruwat Bumi adalah menjalani Islam itu sendiri sebab Islam mengajarkan untuk bersyukur, mengajarkan berdoa, dan mengajarkan membersihkan atau memperbaiki diri (ishlah).
Mbah Nun mengedukasi kita bahwa tidak semua hal yang tidak ada “nama”-nya dalam tradisi Islam atau sesuatu itu adalah hal baru, tidak lantas sesuatu itu haram atau bid’ah yang harus diberantas. Mbah Nun menuntun anak-cucu untuk menangkap substansi-substansi sesuatu dan bilamana ternyata substansi tersebut ternyata merupakan hal-hal baik yang diperintahkan Islam, maka yang demikian itu juga termasuk dalam menjalankan atau mempraktikkan Islam. Toh sudah ada kategori ibadah, yaitu mahdloh dan ghoiru mahdloh. Bid’ah yang dilarang adalah yang menyangkut ibadah mahdloh, sedangkan pada ranah ghoiru mahdloh atau muamalah, sepanjang sesuatu yang baru atau belum ada pada masa Nabi itu baik dan berangkat dari nilai-nilai Islam, maka baik juga, dan tidak bisa diklaim sebagai bid’ah yang sesat.
Sekarang, menarik rasanya kita menimba ilmu dari fenomena kegiatan Ruwat Desa atau Ruwat Bumi yang menghadirkan Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng seperti di Desa Sima tadi. Paling terasa adalah adanya proses di mana Mbah Nun mengingatkan kembali hal-hal dasar dalam hidup kita dan itu juga perlu menjadi dasar dalam Ruwatan. Misalnya, Mbah Nun mengatakan, kita tak bisa ruwatan kalau hati kita masih konflik atau belum beres dengan Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Maka, pada segmen awal Sinau Bareng tadi malam, Mbah Nun mengajak semua jamaah dan anak cucunya untuk ngungkal (mengasah kembali) katresnan kepada Kanjeng Nabi serta ngungkal katresnan kepada Allah melalui mengasah roso Qur’an mereka.
Tidak hanya dicek suara mereka dalam melantunkan shalawat bersama para vokalis KiaiKanjeng, tetapi juga dicek pula berkaitan dengan hal-hal mendasar menyangkut shalawat, seperti apa yang dimaksud shalawat, apa itu syafaat Kanjeng Nabi, tentang makna “innallaha wa malaikatahu yushalluna ‘alan Nabiy”, tentang Qasidah Burdah dan siapa pengarangnnya, tentang Maulid Al-Barzanji dan Maulid Simtud Duror, tentang siapa pengarang lirik shalawat Badar, dlsb.
Demikian juga dengan ngasah roso Qur’an. Bersama-sama mereka diajak melantunkan surat an-Naas dan Adl-Dluha. Lulus. Semuanya hapal. Kemudian dicoba surat Ar-Rahman. Alhamdulillah sampai ayat ke-10 masih hapal semua. Mbah Nun mengatakan, meskipun hanya 10 ayat, insyaAllah, Allah sudah senang. Ibarat penulis lagu, lagunya dinyanyikan, pasti akan senang. “Ya Allah, abdi-abdi-Mu di Pemalang ini, mereka senang membaca Al-Qur’an. Cintailah mereka, berkahilah mereka…,” doa Mbah Nun.
Ruwat Bumi atau Ruwat Desa seperti di Desa Sima tadi malam, dengan hadirnya Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng menjadikan yang hadir tak hanya orang Desa Sima sendiri atau desa sekitarnya, tapi orang dari banyak daerah atau Kabupaten lain. Waktu KiaiKanjeng berhenti sejenak di sebuah SPBU di salah satu kecamatan Pemalang buat menunaikan hajat yang tak bisa dijadwal ini (baca: pipis), KiaiKanjeng bertemu serombongan satu mobil anak muda dari Pekalongan. Mereka akan datang ke Sima untuk Sinau Bareng tadi malam. Kata mereka, masih banyak rombongan di belakang mereka. Kehadiran banyak orang dari daerah atau kabupaten lain, tak hanya menambah semarak acara dengan hadirin yang sangat banyak, tetapi berarti pula makin banyak yang ikut mengamini doa-doa yang dilantukan Mbah Nun dalam Ruwat Bumi Desa Sima ini.