PEMUDA ITU MENERAPKAN ILMU MAIYAH DALAM BERMASYARAKAT

“Dadio Ahli, dadio wong seng manfaat kanggo sekitar, minimal ndek keluargamu,” pesan Mbah Nun kepada Anak-Cucu Maiyah.
Baru saja saya mendapat musibah berupa kematian, nenek saya meninggal dunia pada Senin 24/02/2025 kemarin.
Nenek saya adalah penduduk asli Mojokerto yang tinggal di Desa Mlirip. Kebetulan ketika meninggal dunia, nenek saya ikut dengan saya di Kutorejo Mojokerto. Pengurusan jenazah dilakukan di rumah saya dan pemakaman dilakukan di Mlirip tempat Nenek tinggal.
Apa hubungannya dengan Maiyah? Begini ceritanya. Saat pemandian, saya dibantu masyarakat desa saya, dan saat pemakaman, saya belum mengetahui, siapa yang membantu di Mlirip sana. Pukul 9 malam jenazah sampai dirumah duka. Ada pria muda gendut membantu keluarga saya, mulai dari tradisi bedah bumi hingga, riwa-riwi di pemakaman.
Setelah saya datang, pemuda itu menyapa saya, nyalami dan bertanya, “Wes suwi melu Ma’iyah?”
“Alhamdulilah Mas, dangu,” jawab saya.
Ternyata pemuda itu mengenali saya karena peci merah putih yang saya bawa.
Setelah ngobrol panjang lebar mengenai Mbah Nun, ternyata pemuda tersebut adalah pasukan dari SWS asuhan Ustad Luthfi Bangbang Wetan.
Dulu pemuda tersebut kuliah dan kos di Surabaya. Setelah pulang, ia menjadi anggota Karang Taruna desa dan antusias dalam membantu kegiatan desa, terutama kematian.
Dalam hati saya bergumam, ini adalah hasil dari pendidikan Mbah Nun terhadap anak-cucunya. Penerapan ilmu Maiyah yang sebenarnya, Mbah Nun berhasil mendidik anak-cucunya untuk tidak antipati terhadap sekitar.
Saya jadi ingat dawuh Mas Sabrang ketika di Padhangmbulan
“Kepedulian terhadap sesama dapat meningkatkan keharmonisan dan kerukunan dalam masyarakat. Di era ini peduli terhadap orang lain sangat langka, untuk memahami perbedaan-perbedaan yang ada, kita harus memiliki keperdulian terhadap sesama biar ruang di dalam hati kita tidak sempit,” ujar Mas Sabrang.

Jamaah Maiyah Asal Trawas, Perbatasan Mojokerto Pasuruan.