MENYIKAPI ARTIFICIAL INTELLIGENCE
Akhir-akhir ini, perbincangan mengenai Artificial Intelligence begitu marak. Teknologi yang semakin cepat perkembangannya membuat sebagian dari kita tampak gagap mengikutinya. Saat pandemi Covid-19 bermula, kita yang awalnya terbiasa bertatap muka secara langsung saat berjumpa dengan orang lain, harus terbiasa melakukan concall entah itu dengan Zoom, Google Meet, Microsoft Teams dan lain sebagainya. Agak aneh rasanya berbicara di depan layer laptop saat itu. Paltform-platform tersebut pun kini semakin canggih fitur-fiturnya. Teknologi yang awalnya kita tidak terbiasa dengan fitur-fitur yang ditawarkan, kini semakin memudahkan kita. Hal yang paling sederhana saat ini, kita bisa dengan mudah memesan tiket, makanan, hingga ojek hanya dari gadget yang ada di tangan kita. Dengan QRIS, kita semakin mudah melakukan pembayaran saat berbelanja. Marketplace menjadi salah satu aplikasi yang sering kita buka setiap hari, entah memang kita ingin membeli sesuatu atau hanya angen-angen saja dengan menyimpan beberapa item barang di wishlist. Entah kapan akan kita checkout. Berkirim pesan pun sudah semakin cepat, hanya dalam hitungan detik, pesan yang ingin kita sampaikan dapat terkirim ke orang yang kita tuju.
Sebelum kita membahas lebih lanjut apa itu Artificial Intelligence, mungkin bisa disimak sedikit penjelasan mengenai AI ini yang saya nukil dari ChatGPT. “Konsep kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) pertama kali diusulkan pada tahun 1956 oleh sekelompok ilmuwan komputer yang terdiri dari John McCarthy, Marvin Minsky, Nathaniel Rochester, dan Claude Shannon dalam konferensi Dartmouth. Konferensi tersebut memperkenalkan istilah “artificial intelligence” dan bertujuan untuk mempelajari kemampuan mesin untuk meniru kecerdasan manusia. Meskipun konsep AI muncul pada tahun 1956, perkembangan teknologi AI dan implementasinya dalam sistem komputer nyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Perkembangan awal AI melibatkan pengembangan algoritma dan metode komputasi yang mendasari pemrosesan bahasa alami, pemecahan masalah, dan pembelajaran mesin. Pada awalnya, kemajuan terbatas karena keterbatasan perangkat keras dan perangkat lunak komputer.”
Jadi, AI itu sebenarnya bukan barang baru. Kalian yang kuliah di jurusan Teknik Informatika maupun Komputer, semestinya sudah mendengar tentang AI jauh sebelum akhir-akhir ini diperbincangkan. Sebelum AI ini booming, kita sudah terbiasa dengan Google. Kita mencari informasi mengenai apapun melalui Google. Meskipun ada platform lain seperti Yahoo dan Bing, kita lebih familiar dengan Google. Di dalam Google, tertanam salah satu cabang dari AI; Machine Learning. Apalagi ini?
Kita pasti pernah mengalami, saat mencari sesuatu di internet, beberapa saat kemudian iklan-iklan yang muncul di gadget kita adalah iklan yang relevan dengan history pencarian kita. Atau bahkan, baru kita ucapkan secara lisan, dalam beberapa saat kemudian iklan-iklan yang muncul adalah sesuatu yang relevan dengan apa yang kita ucapkan. Itulah salah satu bukti kecanggihan dari Machine Learning.
Semakin canggih perkembangan Machine Learning, semakin luas pula penggunaannya di berbagai sector industri. Untuk membuka akses di gadget kita saat ini, kita bisa memanfaatkan scan pengenalan wajah atau sidik jari, dari yang sebelumnya hanya menggunakan konfigurasi PIN atau pola garis saja. Dan itu sebenarnya juga merupakan cabang dari AI. Saat ini, otentifikasi sidik jari kita di handphone, dapat memberi akses yang sangat luas untuk menggunakan fitur-fitur yang ada didalamnya.
Saat kita membuka gadget untuk sekadar mengakses media sosial, atau membuka market place, kita akan diberikan rekomendasi mengenai hal-hal yang sedang relevan dengan kita saat ini. Saat kita membuka Youtube, maka rekomendasi video yang muncul adalah video yang relevan dengan video-video yang sebelumnya kita tonton. Begitu juga di Spotify, Netflix, Shopee, Tokopedia dan lain sebagainya. Karena Machine Learning sudah ditanam dalam aplikasi-aplikasi yang kita gunakan saat ini. Selain Machine Learning, ada bagian dari AI yang lain; Deep Learning yang bisa digunakan dalam teknologi pemberian akses menggunakan scan pengenalan suara, atau saat kita ingin memerintahkan gadget kita untuk mencari sesuatu dengan perintah suara. Pengguna iPhone mungkin sudah sangat familiar dengan Siri? Kalian yang memiliki smart TV di rumah, apakah sudah pernah mencoba Google Assistant? Itu merupakan satu contoh bagaimana Deep Learning digunakan.
Selain itu, ada Natural Language Processing yang merupakan salah satu cabang dari AI yang berkaitan dengan pemahaman, pengolahan dan generasi teks dalam Bahasa manusia. Saat kita mencari informasi di Google, jika ada hal yang kia acari namun menurut Google tidak relevan, maka akan diberikan rekomendasi untuk mengkonfirmasi apakah yang kita cari itu sesuai dengan rekomendasi Google atau tidak. Begitu juga saat menggunakan Google Translate, terkadang kita asal saja mengetik kalimat untuk diterjemahkan dalam bahasa lain melalui Google Translate, NPL akan membantu kita untuk Menyusun kalimat yang lebih tepat sehingga hasil terjemahan yang kita dapat akan lebih baik. Ada banyak hal pengaplikasian NPL dalam teknologi yang mungkin sehari-hari kita gunakan, entah dalam bidang pendidikan, bisnis, Kesehatan dan lain sebagainya. Dan itu baru sebagian dari fungsi dasar NPL.
Sebenarnya masih ada banyak hal yang bisa kita eksplor lebih dalam mengenai Artificial Intelligence. Tapi, seperti judul tulisan ini, apakah AI adalah sebuah ancaman bagi kita? Haruskah kita mengkhawatirkan AI?
Mas Sabrang dalam Mocopat Syafaat edisi Mei lalu menyampaikan bahwa teknologi selalu ada limitasinya. Yang harus kita lakukan kemudian adalah memahami limitasinya, kemudian tidak meremehkan teknologinya, lalu memahami kemampuannya sehingga kemudian bisa kita manfaatkan. Disinilah tantangan kita sebagai manusia untuk mampu berjalan beriringan dengan AI, bahkan pada titik tertentu AI harus bisa kita taklukan agar AI bisa kita manfaatkan.
Mungkin, sesuatu yang membuat kita khawatir adalah karena perkembangan AI hari ini sebegitu cepatnya sehingga kita merasa inferior dengan teknologi AI itu sendiri. Salah satu kekhawatiran di dunia kerja saat ini adalah bahwa manusia akan digantikan oleh AI. Sebenarnya tidak semudah itu juga. Kecanggihan robot dalam industri manufaktur saja belum sepenuhnya bisa bekerja secara otomatis, masih membutuhkan keterlibatan manusia untuk menjadi operator. Begiitu juga dengan AI saat ini, misalnya Midjourney AI yang merupakan satu platform AI khusus untuk membuat gambar. Dengan memasukkan code (prompt) tertentu, Midjourney AI akan menghasilkan gambar dengan kualitas tinggi. Tapi hasil gambarnya pun bergantung pada prompt yang diinput oleh manusia. Maka, mengenai AI ini tergantung bagaimana cara pandang kita dan bagaimana kita menyikapinya.
Manusia sebagai Khalifah dan AI sebagai objeknya
Jelas difirmankan oleh Allah Swt saat penciptaan Adam AS; Wa idz qoola robbuka li-l-malaaikati innii jaa’ilun fi-l-ardhli kholifah. Tujuan utama penciptaan Adam AS adalah sebagai Khalifah di bumi, yang kemudian juga menjadi fungsi manusia di muka bumi. Seperti yang sudah kita ketahui dari ilmu semester awal Maiyah; Mbah Nun menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk kemungkinan, sementara malaikat adalah makhluk kepastian. Manusia memiliki kemungkinan untuk menjadi baik atau buruk. Sementara malaikat hanya memiliki kepastian untuk patuh kepada Allah Swt.
Artificial Intelligence adalah bukti dari kreatifitas manusia sebagai khalifah. Dengan akal dan fikirannya, manusia mendayagunakan kemampuannya itu untuk menciptakan teknologi yang membantu dan memudahkan kehidupannya. Mbah Nun pernah bercerita bahwa dahulu untuk menulis sebuah tulisan, harus menggunakan mesin ketik, sehingga penulis harus memiliki kesiapan yang lengkap mengenai ide yang ingin ia tuangkan dalam sebuah tulisan. Karena, jika salah ketik satu huruf saja, maka harus mengulang dari awal. Berbeda dengan sekarang, dengan berbagai aplikasi penulisan di komputer, notebook, tablet hingga handphone yang kita miliki, kita bisa menulis dengan lebih mudah. Dan jika ada kesalahan dalam penulisan, bisa kita hapus kemudian kita revisi. Pada sudut pandang ini, teknologi memudahkan manusia.
Media sosial adalah salah satu teknologi yang awalnya diciptakan untuk menyambungkan manusia tanpa mempertimbangkan jarak. Orang di Indonesia bisa bersilaturahmi dengan orang yang tinggal di Amerika. Konsep awalnya sesederhana itu. Namun hari ini amplifikasi media sosial telah berkembang jauh dari konsep awal kemunculannya. Ada banyak sekali hal yang bisa dieksplor dari media sosial. Bagaimana media sosial hari ini menjadi salah satu alat untuk branding baik personal maupun untuk produk bisnis. Dan ternyata, melakukan branding terhadap sebuah produk juga tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tidak bisa kita generalisir bahwa sebuah konten di media sosial menjadi viral kemudian konten-konten selanjutnya juga akan menjadi viral. Ada algoritma yang harus dipelajari, ada ide yang harus difikirkan dan diracik dengan matang, hingga kemudian ide tersebut dieksekusi dengan baik melibatkan tim kreatif yang lebih besar lagi. Pun saat dieksekusi tidak sesederhana yang dibayangkan, ada proses kreatifitas yang tentu menguras tenaga, fikiran juga psikis yang tidak ringan.
Benar adanya bahwa ada banyak penyalahgunaan teknologi di internet. Hoax, hate speech, cyber crime, phisinhg, skimming, data breach, data forgery hingga cyber espionage dan masih banyak hal lagi yang negatif yang bisa dilakukan dengan menggunakan media sosial. Kembali lagi bahwa itu semua bergantung pada manusia yang memanfaatkannya.
Kembali ke Artificial Intelligence. Mas Sabrang di Mocopat Syafaat edisi Mei lalu juga menyampaikan bahwa tantangan manusia ke depan adalah manusia bukan berhadapan dengan Artificial Intelligence. Melainkan, manusia berhadapan dengan manusia yang menguasai AI. Karena AI, ada batasnya, ada limitasinya. Maka manusia diperlukan untuk mengelola AI. Akan selalu ada perubahan, akan selalu ada pembaharuan. Manusia harus mampu beradaptasi dengan pembaharuan itu.
Justru sebagai khalifah, dengan adanya AI ini manusia akan lebih mendapat challenge yang lebih besar untuk mendayagunakan kekhalifahannya. Bagaimana kita seharusnya menyikapi AI, sebagai orang Maiyah sudah seharusnya memiliki jawabannya. Karena teknologi akan terus berkembang, akan terus berinovasi. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia menyikapinya. CEO Apple saat ini, Tim Cook, pernah menyampaikan; Technology doesn’t want to be good. It doesn’t want to be bad, it’s neutral.