MENERIMA KERIS KYAI SENGKELAT DENGAN KEJERNIHAN ILMU
(Liputan 5 Silatnas Penggiat Simpul Maiyah 2022, Rumah Maiyah Kadipiro, Minggu 11 Desember 2022)
Setelah sehari penuh berlangsung Silatnas Maiyah 2022 di Rumah Maiyah, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, acara dipuncaki dengan kehadiran Bapak Muhammad, Bapak Manu J. Widyaseputra, dan beberapa sahabat Mbah Nun lainnya.
Mbah Nun mengawali acara dengan berbagi pemahaman bahwa perubahan dapat terjadi melalui tiga level kualitas. Pertama, perubahan yang langsung dilakukan oleh manusia. Mengubah beras menjadi nasi, kayu menjadi kursi, tanah liat menjadi batu bata adalah contoh perubahan level pertama. Kedua, perubahan yang dilakukan langsung oleh Allah Swt. Ketiga, perubahan yang dikerja-samakan antara Allah dan manusia.
Merujuk pada surat Ar-Ra’d: 11, Mbah Nun menegaskan bahwa sejatinya pelaku utama perubahan adalah Allah Swt. Namun, apa yang telah dilakukan manusia selama berabad-abad? Manusia justru menciptakan bancana—bukan bencana—sejak kurun waktu yang lama hingga sekarang. Menurut Bapak Manu J. Widyaseputra bancana adalah tipu daya antarsesama manusia.
Pemaknaan di atas bukan tanpa maksud. Malam itu Bapak Muhammad akan menyerahkan pusaka keris Kyai Sengkelat kepada Mbah Nun. Ini merupakan upaya perubahan level kedua. Teriring doa semoga Allah Swt berkenan mengubah sesuatu yang ada pada kaum itu. Atas keris yang diterima itu Mbah Nun mewanti-wanti para penggiat simpul agar tidak memandang peristiwa ini sebagai klenik.
Perjalanan cerita hingga keris itu diserahkan kepada Mbah Nun dituturkan Bapak Muhammad. Sejak proses persiapan drama Mlungsungi tanda-tanda itu sudah terbaca. Bapak Muhammad menerima isyarat ibu pertiwi sedang mlengos. Apa maknanya? Ndilalah, Mbah Nun bersama Teater Perdikan tengah mengerjakan drama WaliRaja RajaWali. Drama itu mengangkat lakon Ibu Pertiwi yang diperankan oleh Ibu Sitoresmi Prabuningrat.
Sesuai dawuh dari para sesepuh Bapak Muhammad menyerahkan keris Kyai Sengkelat kepada Mbah Nun.
Keseimbangan ilmu dan cara pandang selalu ditekankan pada proses sinau bareng. Demikian juga pada malam serah terima itu, Mbah Nun memberikan kesempatan penuh kepada Bapak Manu—filolog yang menguasai 29 bahasa India, 17 bahasa timur tengah, 39 bahasa Nusantara—untuk menyampaikan sejumlah poin penting tentang sejarah Nusantara, teknologi nenek moyang, dan keris Kyai Sengkelat itu sendiri.
Keris dan Teknologi “Ji”
Ada sisi antropologi Nusantara yang jarang dikaji sehingga penduduknya bahkan generasi modern Indonesia tidak mengerti kahanan “rumah” mereka sendiri. Di kepulauan Nusantara, selain Irian Jaya, rata-rata bersifat maskulin. Hanya pulau Jawa dan Bali yang feminin. Maskulin dan feminin sebagai watak kebapakan dan keibuan juga dimiliki pulau-pulau di Nusantara.
Anak-anak cenderung dekat dengan ibunya. Tidak heran pulau Jawa dan Bali akan selalu menjadi “ibu” bagi anak-anak Nusantara dan menjadi pulau paling padat penghuninya. Kalau bapak bersifat tak acuh kepada keperluan hidup anaknya. Beda dengan ibu yang ingat dan peduli terhadap keperluan hidup anaknya.
Hal itu membawa implikasi terhadap penemuan teknologi pertanian di Nusantara. Para ibulah menemukan teknologi pertanian untuk mengolah dan menjamin kesejahteraan hidup anak-anaknya.
Ringkasnya, Jawa menjadi pusat peradaban. Kaum Brahmana dengan para murid bernama Brahmacari melakukan inovasi teknologi khas manusia Jawa Kuno. Mereka adalah manusia aksara—dan kita semua tumbuh sebagai manusia huruf.
Teknologi peradaban pun digerakkan oleh aksara. Misalnya, kata “Ji”, yang artinya kekuatan alam semesta. Kalau kekuatan itu diterima oleh manusia, maka ia bernama A-Ji. Raja adalah representasi seorang A-Ji. Kalau simbol-simbol kekuatan alam semesta itu ditampilkan pada uborampe, ia bernama Sa-Ji. Kita menyebutnya sesa-Ji.
Keris—nama lainnya “Tosan (logam) Aji”—memiliki teknologi Ji yang “diinstal” oleh empu yang telah menamatkan proses belajar kepada Brahmana. “Ini bukan klenik apalagi mitos,” ungkap Bapak Manu. “Itu semua ada naskahnya, ada sumber literatur primernya. Siapa saja bisa membaca dan mempelajarinya.”
Teknologi itu berlaku dan berfungsi hingga sekarang. Bapak Manu lantas menceritakan pengalamannya bagaimana teknologi “Ji” bekerja pada keris Kyai Sengkelat di kraton Yogyakarta.
Pada sisi kenyataan yang lain, sahabat Mbah Nun ini merasa prihatin dengan generasi zaman sekarang. Jarang sekali anak-anak muda yang berminat menekuni dan mempelajari sumber primer sejarah Jawa Kuno. Akibatnya, orang berbicara keris, sesaji, atau cerita yang menurut mereka klenik dan mitos, berdasarkan tembung jare, katanya-katanya.
Keris Kiai Sengkelat di tangan Mbah Nun bukan untuk kepentingan kekuasaan, tetapi untuk mengantisipasi bancana, meminimkan korban, menyelamatkan yang dapat diselamatkan. Semua itu pasti atas perkenan dan izin Allah Swt.
Menerima amanah keris ini tidak mudah karena ada waja atau kekuatan alam. Hanya manusia yang memiliki waji yang sanggup menerimanya, demikian ungkap Bapak Manu. Waji itu tak ubahnya kekuatan pada seekor kuda. “Dan Anda semua, para penggiat simpul adalah kaki-kaki yang menopang kekuatan kuda itu,” ucap Mbah Nun.[] (Editor: Achmad Saifullah Syahid)