MENULIS BUKAN UNTUK GAGAH-GAGAHAN

(Mengenang Dua Tahun Iman Budhi Santosa Berpulang)

10 Desember, tepat 2 tahun lalu Romo Iman Budhi Santosa berpulang. Untuk mengenang, mendoakan, sekaligus merawat jejak nilai beliau, saya putar kembali video rekaman workshop Sastra Liman bersama Romo Iman dan Pak Mustofa W Hasyim yang bertajuk “Rangkailah Kata, Mulailah Berkarya”. Kenapa hingga kini saya masih terus belajar menulis? Salah satu alasannya ya Romo Iman Budhi Santosa. Beliaulah teladan mulia, guru yang patut digugu lan ditiru babagan ketekunan, ketelatenan, dan keistiqomahan. Mari kita hadiahi beliau Alfatihah.

Dalam acara workshop yang berlangsung hampir dua jam tersebut, Romo Iman menyampaikan hal-hal sederhana terkait kepenulisan, dan jagat sastra yang luput dari perhatian kita. Pertama, beliau menyinggung soal tema “Rangkailah Kata, Mulailah Berkarya”. Menurut Romo, merangkai kata merupakan sebuah upaya proses kreatif. Artinya membuat segala sesuatu yang pada awalnya belum ada menjadi sesuatu yang ada. Kalau dalam wacana bercocok tanam, seperti halnya seorang petani yang hendak menanam pada lahan kosong yang semula belum ada tanamannya. Pertanyaannya, mau ditanami apa lahan tersebut? Romo Iman memantik logika kita. 

Dalam sesi workshop tersebut, Romo dan Pak Mus saling bergantian menguraikan pandangannya. Saling merespons, saling melengkapi. 

Proses kreatif menulis dimulai dari menentukan tema apa yang mau dibuat. Proses kreatif harus berpola. Tidak asal-asalan. Jika dalam konteks petani, jenis tanaman itu ide. Lahannya pengalaman. Ide dan pengalaman sangat berpotensi menentukan hasilnya. Sebelum menulis mesti banyak-banyak membaca. Agar memiliki kekayaan referensi bahasa dan kata-kata. “Apa yang mau dirangkai jikalau stok kata-kata terbatas?” Tanya sekaligus gugat Pak Mustofa.

Tulislah. Rumuskan ide-ide menjadi catatan harian untuk dipelajari. Ya semacam buku harian. Romo Iman menyentil, hari ini orang menulis itu tujuannya biar dibaca orang. Padahal tulisan yang kita tulis itu tujuan utamanya untuk dipelajari diri sendiri. Ojo kuwalik. Jangan buru-buru tulisan itu dipublikasikan. Mesti dicermati berkali-kali, diresapi dalam-dalam. Agar tulisan menep, bernas, sehingga layak dipublikasikan dan bermanfaat pagi pembacanya. 

Basic dasar menulis itu mencatat. Apa yang kita lihat, dengar, rasakan, alami, dicatat supaya ingat. Ben ora lali. Sebab manusia itu gampang lupa. Sehingga mencatat adalah pekerjaan sepanjang waktu. Dari detik ke detik. Siang ke malam. Gejala demi gejala. Peristiwa demi peristiwa. “Catatlah, catatlah, dan catatlah.” Begitu pesan Romo Iman. 

Di sesi tanya jawab, Romo dan Pak Mus menjawab beberapa pertanyaan dari peserta workshop. Diantaranya menyoal pengertian sastra. Romo Iman menjelaskan, sastra berasal dari bahasa Sanskerta yang konon artinya sesuatu yang bermakna yang ingin disampaikan kepada orang lain. Isi dari karya sastra tidak lain adalah amanat. Ajaran—ajakan berbuat baik. Beliau menegaskan, “contoh karya sastra itu ya kitab suci.”

Ayat kalimat yang terdapat dalam kitab suci (apapun) tidak ada yang remeh-temeh, ngasal, atau sembarangan. Semua berpola. Tertata. Runut dan runtut. Bukan hanya menyajikan pesan penuh makna, tetapi juga sarat keindahan. Disitulah letak sastra dalam sebuah kitab suci. Bagi kaum muslim, Al-Quranul Karim merupakan Mahakarya sastra yang tak terkira, tiada tara. 

Di sesi akhir, Pak Mus menambahkan, selain aktif membaca dan mencatat, bergaul dengan komunitas (saling bertukar pengalaman) juga membantu dalam pendewasaan proses kreatif kepenulisan. Sering-seringlah kumpul dengan circle yang mendukung. Romo Iman menutup workshop dengan satu pesan berharga. “Yang paling penting dalam proses menulis itu bukan tulisannya, melainkan api semangat untuk terus mencatat dan menulis. Perkara tulisan itu nanti dipublikasikan atau tidak, mau jadi buku atau tidak, nggak ada masalah. Minimal tulisan tersebut bisa menjadi bahan pembelajaran bagi si penulis itu sendiri. Itu yang penting! Penulis atau pekerjaan menulis (penyair, pujangga, sastrawan, novelis, esais, dll) itu berada di bilik kesunyian. Sembunyi di balik layar. Tidak untuk mencari muka, gagah-gagahan, apalagi dibangga-banggakan.”

Terima kasih Romo, telah menampar keangkuhan dan kealpaan kami. Semoga pitutur, ular-ular, dan nilai kebajikan yang ditularkan Romo kepada kita semua dicatat oleh para Malaikat. Menjadi bekal hidup yang kekal, abadi, dan sentosa di sorga. 

Gemolong, 10 Desember 2022

Lihat juga

Back to top button