SENGKEL ATINE

Sangat terkejut dan haru, menjelang istirahat kegiatan Silatnas Maiyah 2022 hari minggu kemarin, saya mengetahui bahwa malam harinya akan ada prosesi penyerahan pusaka Kyai Sengkelat kepada Mbah Nun dari Pak Muhammad berdasarkan petunjuk dari para ‘Sesepuh’.

Akhir bulan lalu saya dan kawan-kawan di Masyarakat Maiyah Cirrebes (Cirebon dan Brebes) membahas tema Pusaka. Biasanya dipahami bahwa Pusaka merupakan benda sakral yang mempunyai nilai khusus dari keluarga, kelompok, atau negeri yang terwariskan turun-temurun kepada generasinya.

Ibu pertiwi dan tanah air pusaka tidak bisa dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara sampai saat ini. Tanah air adalah ekspektasi dari kaya raya dan melimpah sumber daya alamnya, yang menjadi warisan leluhur Nuswantara. Jika tidak terjaga, maka akan habis oleh kerakusan-kerakusan anak cucunya. Maka jangan lupakan Ibu pertiwi sebagai pemilik alam semesta, yang melahirkan nilai-nilai agar manusia hidup menghargai seluruh ciptaan Tuhan, tidak semena-mena dan saling mendzalimi.

Kisah pusaka keris Kyai Sengkelat tidak asing lagi dalam cerita tanah Jawi khususnya masa Majapahit di kala terjadi ketimpangan dan ketidakadilan penguasa terhadap rakyatnya saat itu.

Konon Kyai Sengkelat diciptakan untuk meredam para pejabat Majapahit agar tidak mementingkan diri sendiri.

Sengkelat sendiri adalah singkatan dari “Sengkel Atine”, melambangkan kesedihan dan kekecewaan rakyat Majapahit kepada penguasanya.

Entah apa maksid para ‘Sesepuh’ memberikan kado berharga ini kepada Mbah Nun.

Semoga dengan realita kondisi saat ini dan akan datang yang perlu diambil petikannya adalah jangan sampai rakyat merasa “Sengkel Atine” kemudian melakukan perlawanan terhadap Pejabat atau Penguasa yang bisa membuat ‘korban’ lebih banyak terutama untuk meredam gejolak alam.

Kalau saya lihat dari analogi, bisa dari istilah ‘Manunggaling Kawula Lan Gusti’ yang disampaikan Mbah Nun dalam beberapa Maiyahan bahwa Di dalam diri pemimpin, rakyat dan Tuhan menyatu dalam dialektika. Kalau pemimpin menyakiti rakyat, Tuhan marah. Kalau pemimpin mengingkari Tuhan, rakyat dicelakakan.

Dalam kesempatan malam itu, Mbah Nun memberikan pengertian bahwa ada beberapa ‘kewenangan’ yang perlu dilakukan oleh diri sendiri, dilakukan Tuhan dan dilakukan bersama oleh diri sendiri dan Tuhan. Jadi, prosesi penyerahan Kyai Sengkelat bukanlah peristiwa klenik. 

Anak cucu Maiyah harus menjadi pangkal dari sebuah peristiwa sejarah baik yang sedang terjadi ataupun yang akan datang. Karena dengan bekal ilmu pengetahuan masa silam harus menjadikannya lebih baik lagi.

Tonggak perjuangan itu bukan hanya disematkan kepada Mbah Nun semata, karena Mbah Nun sempat ngendiko bahwa “Nek aku Kuda, kowe kabeh kaki- kaki ku rek, kaki-kaki Kuda!”

Sangat menarik bagi saya, terserah apa persepsi tentang kuda itu?! Daya semangat juangkah? Daya satu kesatuankah? Atau jangan-jangan malah Kuda Sembrani Parikesit? 

Wallahu a’lam…

Lihat juga

Back to top button