MBAH NUN SAMBANG ANAK CUCU MAIYAH SEMERU BROMO RAUNG
(Liputan Acara Ngai Ma Dodera Sambang Anak Putu Semeru Bromo Raung, Kamis, 6 April 2023)
KEDATANGAN
Sedikit cemas banyak rindunya. Mungkin itulah kata yang tepat mewakili perasaan yang tergambar dari sekian banyak orang di depan kami. Menungu Simbah Emha Ainun Nadjib datang, Semenjak siang sudah banyak yang menunggu dan mempersiapkan kedatangan beliau. Melihat arloji, menatap ujung jalan, atau berkoordinasi melalui HT. Tampak sekali kecemasan itu akan segera hilang dan kerinduan itu akan segera terobati
Lantunan Shalawat memecah keheningan. Simbah Emha Ainun Nadjib tiba bersama rombongan—turut pula sahabat beliau Mr. Ian L. Betts—turun dari kendaraan dan berjalan menuju ruangan yang sudah dipersiapkan. Tak lama kemudian adzan Maghrib berkumandang dan kami pun bergegas untuk berbuka puasa bersama saudara dan jamaah yang sudah datang semenjak sore.
Sementara itu Simbah masih tampak bersemangat bercengkrama dan berbicara tentang banyak hal dan merespons problematika sosial yang disampaikan oleh beberapa jamaah yang juga ikut bergabung di ruang itu. Tak lama setelah itu Simbah dan Pak Ian L. Betts dipersilakan berbuka puasa bersama dengan menu khas ala desa.
ANAK PUTU SUNGKEM
Setelah berbuka puasa dan berbincang sejenak Cak Kin dan Kaji Haris memohon kepada Simbah untuk diizinkan anak putu beliau terutama yang anak-anak dan perempuan untuk bisa sungkem, ngalem (bermanja), dan nyuwun doa kepada Simbah dan simbah mengiyakan permohonan tersebut tanpa pikir Panjang. Silih berganti anak-anak itu didoakan, dipeluk, diusap kepalanya, dan ditepuk-tepuk punggungnya.
Tidak sedikit yang mengantre namun penuh kemesraan dan keyakinan semua pasti mendapat momen spesial itu. Momen langka dan juga jarang. Biasanya acara semacam ini berlangsung di panggung namun kali ini sungguh-sungguh berbeda. Simbah didampingi Pak Ian L. Betts dan Mbah Dil yang juga melihat dan merasakan momen spesial itu.
Saya sendiri yang ikut mendokumentasikan tak kuasa menahan haru. Betapa Simbah begitu tulus dan penuh rasa menyayangi yang luar biasa kepada anak putunya. Raut wajah beliau sungguh teduh dan menyejukkan. Memang benar-benar beliau adalah sosok Ngai Ma Dodera.
BERTEMU ANAK PUTU SIMPUL MAIYAH
Sedulur perwakilan dari simpul Maiyah di Kaki Semeru, Bromo, dan Raung duduk melingkar bersama simbah sebelum acara. Mereka semua dipersilakan memperkenalkan diri. Ada yang dari Jember (Wening Galih dan Jembaring Manah), Maiyah Pasuruan, Maiyah Semeru, Maiyah Bromo. Bahkan ada saudara dari Maiyah Banyuwangi dan Rampak Osing juga hadir membersamai kita semua bersama Simbah
Di Awal Mbah Nun menyampaikan bahwa pertemuan ini adalah Majelis Ilmu. Jadi kita diminta untuk mengeksplorasi seluas-luasnya dan membagi teman-teman Simpul menjadi dua kelompok dan diminta menemani Mbah Nun di panggung ketika acara berlangsung. Ada pula dari rekan Panitia, yaitu Mas Rozaq, Mas Fikri, dan Mas Edwin juga diminta untuk bergabung bersama.
Mbah Nun Mengajak kami semua untuk sadar dan paham bahwa “We Only have One Choice” bahwa setiap keputusan (syariat) yang kita ambil adalah pilihan satu-satunya yaitu beriman kepada Allah Swt. dan tidak ada pilihan lain. Selain itu, beliau mengelaborasi ayat Al-Qur’an tentang kesucian dan ilmu yaitu: Subhanaka laa ilma lana Illa ma ‘allamtana. “Ilmu itu datangnya dari Allah dan kalian semua harus bisa mengaksesnya dengan penuh kesadaran dan keseimbangan berpikir,” tutur Mbah Nun.
Mbah Nun memperkenalkan Pak Ian L. Betts yang merupakan sahabat beliau yang sudah lama bersama Mbah Nun sejak lama hampir 30-an tahun. Beliau juga menyampaikan bahwa Pak Ian adalah Sekjen Maiyah Internasional yang telah belajar serius tentang Islam, tentang Maiyah, dan mendampingi Mbah Nun di berbagai belahan dunia.
ACARA NGAI MA DODERA SAMBANG ANAK PUTU (SEMERU BROMO RAUNG)
Meriah dan intim. Barangkali dua kata itu sudah sangat mewakili bagaimana suasana ngaji bareng yang berlangsung semalam, 6 April 2023. Semenjak sore hari sudah banyak jamaah yang memadati lokasi Ngaji Bareng di desa Sumberjati Kecamatan Tempeh Kabupaten Lumajang.
Seluruh simpul Maiyah yang berada di wilayah tapal kuda berkumpul menjadi satu, Maiyah Bromo, Maiyah Semeru Jonggring Saloko, Jembaring Manah, Wening Galih, Rampak Osing, dan Maiyah Banyuwangi dan penggiat maiyah dari Pasuruan, Jombang serta masih banyak lagi jamaah yang hadir.
Kehangatan sangat terpotret sekali dalam balutan nuansa paseduluran. Karena, momentum seperti ini sangat jarang sekali ditemui. Belum tentu satu tahun sekali dapat terwujud. Bakda Isya kita mulai memasuki acara inti. Dimulai dengam pembacaan Al-Qur’an surat Al-Kahfi lalu disambung dengan pembacaan Tawashshulan yang dipimpin oleh Cak Majid dengan diiringi gamelan Padang Hawa dari penggiat Maiyah Pasuruan.
Sebelum Simbah rawuh di atas panggung, para perwakilan dari tiap simpul diajak naik ke atas panggung. Untuk memperkenalkan diri dan bercerita kegiatan di tiap-tiap simpul. Tak berselang lama Simbah hadir di tengah-tengah jamaah. Kerinduan pun pecah. Bahagia dan bahagia sangat tergambar sekali di raut tiap jamaah yang hadir. Bahkan cukup dengan lambaian tangan dan sapaan dari Simbah sudah serupa hidangan segelas air yang direguk setelah sekian waktu berpuasa terhadap pertemuan.
Dahaga sirna, lapar pergi entah kemana, lunglai seketika menjelma tenaga. Entah bagaimana lagi harus menggambarkan suasana yang terlahir malam itu. Bahkan alam sekitar turut haru dengan turunnya gerimis yang hadir mengiringi Ngaji Bareng. Pertautan yang dalam dengan nilai-nilai Maiyah menjadikan para jamaah seolah enggan menepi. Gerimis yang menjelma hujan dinikmati sebagai bagian yang sah dari berkah Allah. Para jamaah tetap istiqomah dengan tidak beranjak dari tempat Ngaji Bareng, membiarkan sekujur tubuh mereka basah disapa hujan. Rasa dingin yang hinggap tidak lebih besar dari kehangatan rindu yang mendekap atas momentum pertemuan dengan Simbah.
Hal pertama yang disampaikan oleh Mbah Nun adalah jika suatu saat nanti beliau kapundut sebagai suatu peristiwa sunnatullah, beliau meminta kepada Allah agar diperkenankan sambang anak putu. Indikasi bahwa Mbah Nun hadir adalah adanya gerimis, bau harum yang mengepung, shalawatan merem terbayang wajah Mbah Nun atau bermimpi bertemu Mbah Nun.
Setelah menyapa para jamaah Mbah Nun kembali menegaskan bahwa setiap kita berangkat Maiyahan hendaknya selalu bertanya pada diri sendiri apa yang masih kurang, agar saat Maiyahan kita bisa meng-upgrade diri menjadi semakin baik lagi. Beliau mengatakan bahwa sesuatu disebut hidup itu karena terus bertumbuh, terus mengalir, dan terus berproses. Kalau kita berhenti berproses, secara esensi sebenarnya kita sudah mati. Beliau berpesan kepada kita agar mengusahakan setiap harinya untuk tumbuh, untuk cukul. Bekal utama untuk bertumbuh dan cukul adalah sabar: Ishbiru wa shoobiru.
Mbah Nun memulai Ngaji Bareng dengan membagi dua kelompok perwakilan dari tiap simpul yang ada di atas panggung. Selanjutnya Mbah Nun mengajak para wakil ini untuk bermain game, semacam menjawab spontan pertanyaan yang nantinya akan dilemparkan oleh Mbah Nun. Untuk mengawalinya Mbah Nun meminta salah satu untuk membacakan QS. Ibrahim ayat 24-26 beserta artinya.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.
Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.”
Dua kelompok yang ada diatas panggung diminta untuk merespons dan mentadabburi maksud ayat tersebut secara keseluruhan. Setelah masing-masing memberi respons, Mbah Nun mulai ngoncek’i keterkaitan dari setiap kata dari QS. Ibrahim ayat 24-26. Beberapa poin penting adalah kalimat thayyibah tidak hanya terbatas pada kalimat yang sering kita ucapkan. Dalam ayat ke-24 Allah menyampaikan bahwa kalimat thayyibah adalah pohon yang baik. Dari kata ‘pohon’ Mbah Nun mengajak untuk menggali unsur-unsur yang terkait dengan pohon.
Setidaknya ada beberapa jawaban yang timbul dari respons jamaah yaitu cukul (bertumbuh), kayu, akar, bunga, daun, buah, dan benih. Dari sekian unsur yang ditemukan, Mbah Nun kembali mengajak untuk mencari korelasi dari tiap unsur yang ada pada pohon. Pohon disebut hidup karena bertumbuh dan ujungnya adalah berbuah. Sempurnanya pohon karena berbuah, meskipun ada pohon lain yang tidak perlu berbuah, ia cukup diambil rindangnya saja, yaitu Ngai Ma Dodera. Yang mana nama itu tak lain adalah gelar yang diberikan oleh Sultan Ternate kepada Mbah Nun. Ngai Ma Dodera adalah pohon yang rindang tempat burung-burung berteduh di senja hari.
Mbah Nun kembali mengajak jamaah melihat dalam skala individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Dari proses menanam bibit sampai berbuah. Individu, Keluarga, Masyarakat, dan Negara yang disebut hidup itu seperti apa? Karena setiap skala memiliki rentang waktu dan buah yang berbeda. Dalam hal ini terkhusus saat kita melihat negara, melihat Indonesia. Dari perumpamaan proses hidupnya pohon Mbah Nun mengaitkan dengan Pancasila. Bahwa buahnya adalah sila kelima, akarnya sila pertama, dan batang pohonnya dari sila kedua sampai sila keempat.
Dari uraian tersebut akhirnya timbul pertanyaan, apakah rakyat Indonesia sudah dapat menikmati buah yang berupa sila kelima. Kalau dirasa masih belum, perlu analisis mendalam apa saja faktor yang menjadikan tidak berbuah. Baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Berlanjut pada kata ashluhaa tsaabit (akar yang menghujam), dalam skala negara ia berarti dasar atau pondasi yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Penerapan dasar yang baik akan menimbulkan cabang yang baik, yang menjulang ke langit.
Kembali saat melihat pohon juga terkait globalisasi. Dari globalisasi yang berbentuk media sosial, fakta yang dapat dilihat bahwa buah dari media sosial bukanlah lahirnya kerukunan melainkan permusuhan. Maka dapat dilihat bahwa ada pertumbuhan yang tidak benar, tidak baik, karena akarnya tidak mengarah pada Tuhan. Fenomena ini terkait dengan tiga ruang atau frekuensi dalam kehidupan. Pertama, khusyuk yang artinya konsentrasi kepada Allah. Tingkatan di bawahnya, yaitu Asyik yang artinya kesenangan atau kebahagian yang tidak memiliki hubungan dengan Tuhan. Dan yang terakhir adalah cengengesan. Ini sifatnya main-main atau dolanan. Media social berada di wilayah cengengesan atau main-main. Paling tinggi pun dia berada di wilayah cengengesan-asyik.
Setelah penyajian nomor Wakafa, Mbah Nun mengajak jamaah untuk belajar menganalisis dan mengidentifikasi dengan metode 5w+1h. Terutama dalam menganalisis dan mengidentifikasi Maiyah itu sendiri. Mbah Nun melemparkan pertanyaan kepada dua kelompok di panggung: What (apa) dan Who (siapa) Maiyah itu? Beragam jawaban muncul dari teman-teman saat mendefinisikan apa dan siapa itu Maiyah, yang semuanya tergantung bagaimana perspektif pada setiap individu. Untuk tiga poin: Where (di mana), When(kapan), dan Why (mengapa) adalah pertanyaan yang mudah jawabannya. Nah, untuk satu poin terakhir How (bagaimana), Mbah Nun mempersilakan Pak Ian L. Betts untuk menyampaikan bagaimana Maiyah ke depannya terutama pada lingkup internasional.
Menurut Pak Ian L. Betts, Maiyah sangat mungkin untuk bertumbuh di berbagai tempat di belahan dunia. Bahkan dunia saat ini sangat membutuhkan apa yang selama ini telah Maiyah jalani. Hal ini mengingat riwayat perjalanan Mbah Nun dan KiaiKanjeng di berbagai momentum besar di belahan dunia. Mbah Nun dan KiaiKanjeng merespons isu-isu yang memicu perpecahan antar manusia. Pergerakan Maiyah tumbuh secara organik dari bawah. Tidak ada paksaan dalam bermaiyah, segala hal yang terjadi adalah murni karena keterpanggilan dalam menebarkan cinta, dan merekatkan hubungan antar manusia.
Setelah pemaparan Pak Ian L. Betts, Mbah Nun membuka sesi tanya jawab bagi jamaah. Ini yang menarik, salah satu penanya bernama Ali Muhdor dari Kunir, Lumajang bercerita bahwa beliau aktif mengikuti Ngaji Bareng melalui youtube. Sebelumnya belum pernah bertemu dengan Mbah Nun. Keinginan terbesarnya adalah bertemu, bersalaman, dan memeluk Mbah Nun. Dan malam itu apa yang selama ini ia impikan menjadi terwujud. Baginya, Maiyah telah menuntunnya menemukan ketenangan dalam hidup. Sebuah ekspresi cinta juga dismapaikan teman-teman Maiyah dari Jember yang memberikan kenang kenangan kepada Simbah berupa Lampu dan Wayang yang menambah suasana menjadi semakin berwarna.
Tepat pukul 12 malam, Ngaji Bareng usai dengan ditutup doa oleh Mbah Nun dan diiringi shalawat oleh gamelan Padang Howo. Beberapa penggiat yang sudah lama mengikuti Sinau Bareng, bahkan lebih dari sepuluh tahun, menuturkan bahwa malam itu adalah malam yang mengantarkannya pada nostalgia acara Ngaji Bareng beberapa tahun silam. Suasana kebersamaan yang hangat di tengah guyuran hujan, keintiman yang terjalin antara Mbah Nun dan jamaah saat berdiskusi, juga celometan yang sama sekali bukan ekspresi ngelamak melainkan bentuk lain dari keakraban. Sungguh benar, malam itu adalah malam di mana rindu benar-benar dicumbu. Tanpa kaku, tanpa malu, sungguh syahdu.
Terima kasih Mbah telah disambangi, kapan-kapan ya, lagi.
PASCA ACARA
Selepas acara, Mbah Nun dan rombongan bergegas untuk kembali ke Yogyakarta. Namun sebelum itu beliau sempat menyapa kembali anak putunya seolah masih ingin lama bersama anak putunya di daerah Sekar Kijang (sekitar Kresidenan Besuki dan Lumajang) dan berfoto bersama. Sungguh sebuah kemesraan yang otentik dari beliau. Sekali lagi momen itu menunjukkan bahwa benar beliau Mbah Nun adalah Ngaima Do Dera
Di bawah alis Mbah Nun anak cucunya berteduh. Di mata beliau, rindu, cinta, dan kemesraan kami berlabuh. Sebuah ungkapan suci dan orisinal. Sebuah pengalaman empiris yang membuat kami semakin teguh menjalani hidup dan tantangan di masa depan. Doa selalu kami haturkan untuk Simbah kami Emha Ainun Nadjib, Lalu beliau berpamitan dan kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah Mbah Nun pulang para jamaah dan saudara Maiyah juga berpamitan, kembali ke kotanya masing masing. Mereka berpamitan, bersalaman, dan berangkulan. Sebuah pemandangan yang menyadarkan bahwa ternyata maiyah adalah jalan yang tidak hanya mempertemukan, tetapi juga mempersatukan dan mempersaudarakan.
Tak lama setelah itu kami diminta Kaji Haris dan Cak Kin untuk berkumpul bersama. Beliau berdua sangat berbahagia melihat adik-adiknya kompak dan solid selama acara berlangsung. Dengan kerendahan hati beliau berdua juga meminta maaf apabila selama acara ada kesalahan dan kekhilafan. Begitu juga beliau berdua meminta Tuan Rumah, Ketua Panitia dan sebagian dari kami untuk memberikan “closing statement” Singkat kata ini adalah pengalaman hidup yang luar biasa bagi kita semua, dan menjadikan kita sumber (mata air) yang mengalir kepada kesejatian sebagai manusia
Dan suasana haru kembali pecah ketika kita tutup dengan Indal Qiyam bershalawat atas Nabi dengan dasar kecintaan dan kerinduan, dilanjutkan dengan bersalaman dan berangkulan satu per satu. Penuh kekhusyukan kesucian bahkan ada yang juga meneteskan air mata dari mata air nuraninya.
Lumajang 17 Ramadan 1444 H
(Panitia Bersama Acara NGAI MA DODERA Sambang Anak Putu Semeru Bromo Raung/Mukhammad Khaqqul Yaqin, Syafiq Barza, dan Moch. Nurul Hidayah)