MAIYAH HIJRAH
I.
Mungkin kita bisa menapak ke depan
Menguak kabut itu bersamamu, menata kembali ruang
Sambil terus berunding dengan waktu.
Dan badai. Tentu, badai itu pasti menyongsong
Tapi coba kita lunakkan, kita lembutkan
Dengan sabar dan shalat Kemudian atas kerjasama yang baik dengan Tuhan Kita mohonkan agar tantangan itu diperkenankan
Menjelma jadi rahmat dan kegembiraan
I I
Jaman yang berganti-ganti dan tak masuk akal
Perjuangan berputar-putar, tak jelas maju mundurnya
Topeng-topeng berubah-ubah, tak tahu mana ujungnya
Memberiku kewajiban kemakhlukan, kewajiban persaudaraan
Kewajiban sesama warga suatu negeri
Sesama anggota suatu masyarakat.
Terlebih-lebih karena kewajiban cinta uluhiyah dan kemesraan kemanusiaan Membuatku terpojok dan berpikir untuk menapak ke depan bersamamu.
Tapi mungkin juga tidak, segala sesuatunya bergantung pada ketetapan hatimu
III
Aku akan membisikkan sesuatu ke telingamu
Aku akan langkahkan kaki dan gerakkan tanganku bersamamu
Bisikan pertama sebelum bersama kita tempuh perjalanan Atau mungkin ini bisikan terakhir, sesudah berpuluh tahun
Kutiup gendang batinmu dengan beribu bisikan
Beribu teriakan, bahkan beribu pekikan, yang kau sia-siakan
Sesudah kupersembahkan siang dan malam
Sesudah kubuang-buang diriku sendiri ke semak-semak kesunyian
Untuk menghasilkan kebebalan yang terus menerus
Pergumulan asyik yang tak sudah-sudah dengan kebodohan
Menyerah kepada keputus-asaan bersama yang ditutup-tutupi
IV
Aku akan membisikkan sesuatu ke lubuk kesadaranmu
Karena waktu bagimu dalam hidupku sudah hampir habis
Aku sudah tua dan tidak mungkin meneruskan langkah
Yang tanpa pengharapan apa-apa bagi kemajuan hidupmu
Aku sudah senja dan tidak lagi akan kutaburkan benih-benih
Yang tak kau sirami, tak kau pelihara, bahkan kau injak-injak sendiri
Aku sudah udzur dan tak sanggup lagi setiap kali menjumpaimu
Terpuruk lagi dan terpuruk kembali di lembah kesengsaraan
Yang disebabkan oleh kemalasan berpikir
Dan ketidaksungguh-sungguhanmu sendiri dalam bersikap
V
Di hadapanku ada tumpukan makanan dan hanya kucicipi
Di hadapanku ada sawah ladang menghampar
Dan kubiarkan orang-orang memperebutkannya
Di hadapanku ada kursi-kursi dan tak satupun kududuki
Di hadapanku terkuak masa depan dan aku tak perduli
Di hadapanku terbuka pintu-pintu dan tak kumasuki
Di hadapanku berbaris peluang-peluang dan aku berpaling
Di hadapanku sasaran-saran tembak menganga
Dan tak satu pelurupun pernah kulepaskan
Dan belum juga kenyang engkau makan penderitaanku
Kau tak pernah percaya kepada puasaku
Namun kau selalu datang mengeluh dan mengemis kepadaku
VI
Aku tidak meminta kepada bumi
Aku mengizinkan tanganku menadah hanya ke langit
Aku tidak mengemis kepada negara
Tidak kepada para hulubalang, jendral atau perwira
Aku tidak menyodor-nyodorkan gelas kosong ke sana kemari
Untuk menanti tetesan air belas kasihan kepada manusia
Siapapun namanya, apapun pangkat dan organisasinya
Kumakan dagingku sendiri, kuminum keringatku sendiri
Kupijati, kuurut badan penatku dengan minyak kencingku sendiri
Dan kau belum puas,
VII.
Kau bunuh eksistensiku, dan kau bercita-cita
Aku teronggok di tepi jalan dengan pakaian kumal dan wajah putusasa
Demi memuaskan dendam dan kecemburuanmu
Menenggelamkan diri di jurang nasib malangmu
Ketika engkau bekerja, dari badanmu keluar keringat darah
Ketika engkau menangis, airmatamu merah membara
Engkau mencangkuli penghidupan, dan tanahmu ditanduskan orang
Engkau membanting tulang, dan makan minummu diserobot
Oleh para hulubalang, oleh para cerdik pandai
Oleh anak-anakmu sendiri yang kau sekolahkan
Yang menyuapi mulutmu dengan dusta dan perampokan
Yang dibungkus dengan kertas indah perjuangan rakyat dan demokrasi
VIII
Para pemimpin berganti dari zaman ke zaman
Dan engkau tetap saja tak berpindah dari rumah-rumah kemiskinan
Para panglima negeri naik dan turun dari siang ke malam
Hartamu, hak-hakmu, kelayakan hidupmu disembunyikan
Sampai akhirnya engkau sendiri yakin bahwa itu semua memang
Tidak layak engkau dapatkan
Engkau ditelan sangat mendalam oleh kemiskinan sandang pangan
Kemudian kemiskinan pengetahuan tentang dirimu sendiri
Kemiskinan wawasan mengenai apa yang sesungguhnya menimpamu
Kemiskinan pandangan tentang kebenaran dan penindasan
IX
Apa yang sebenarnya kau maksud dengan kemerdekaan
Kemerdekaan sekian puluh tahun dan orang tambah bodoh
Tidak menjadi hebat, tidak bergerak untuk sedikit lebih baik
Jangankan lembut dan arif, logispun tidak
Jangankan matang dan santun, sedikit dewasapun tidak
Jangankan menemukan dan menjalani demokrasi
Paham diri sendiri sajapun tidak
Orang makin nyaman ditindas, ditilap seperti bayi-bayi
Di bagian atas, negara digilir oleh perampok
Di bagian tengah dan bawah, negara digilir oleh pengemis
X
Kemerdekaan adalah setengah juta mayat bergelimpangan
Yang matinya oleh tangan dan disain besar
Namun berangkat mati dari kekerdilan dan soal remeh temeh
Kemerdekaan adalah tiga ratus ribu pengungsi di rumah sendiri
Yang dalam pengungsiannya yang penuh kepengapan dan derita
Hanya menemukan ilmu pengetahuan vcd porno
Kemerdekaan adalah kepala-kepala bergelindingan di jalanan
Dan diambil menjadi hiasan di pagar-pagar rumah kemenangan
Kemerdekaan adalah bagian-bagian tubuh yang tercecer di parit-parit
Kemerdekaan adalah manusia yang tak sempat menjadi manusia
XI
Kemerdekaan adalah puluhan jutaan petani bengong seratus tahun
Kemerdekaan adalah jutaan buruh yang gugup dan bingung
Adalah orang-orang kecil yang mustahil punya masa depan
Adalah orang-orang yang bukan orang-orang di mata negara
Adalah orang-orang kampung dusun yang merindukan Belanda
Kemerdekaan adalah seribu politisi tanpa kerendahan hati
Kemerdekaan adalah kaum cerdik pandai yang sama sekali
Tidak punya kesanggupan untuk merasa kalah pandai
Dibanding rakyat kecil yang membiayai sekolahnya sendiri
Kemerdekaan adalah Nabi yang kesepian
Dan Tuhan yang disembunyikan
XII
Akalmu kewalahan oleh tumpahan derita yang tak habis-habisnya
Otakmu tak sanggup menampung keruwetan yang berkepanjangan
Kepalamu hampir pecah oleh kebingungan demi kebingungan
Masalah-masalah tak bisa kau kejar
Problem-problem tak bisa kau rumuskan
Penyakit-penyakit tak bisa kau sangga
Bahkan tak bisa kau hapal nama-namanya
Engkau, engkau, menjadi debu, debu, debu,
Debu Yang oleh pihak manapun sama sekali tak diperhitungkan
Namamu disebut-sebut, namun hak dan nasibmu diremehkan
XIII
Akhirnya engkau tercampak di dalam set penjara kemiskinan hati
Dadamu hanya berisi dendam dan kebencian
Karena sabar dan keikhlasan sudah tidak ada alasannya
Jiwamu hanya berisi api kekerasan dan kekejaman
Karena kelembutan dan kebersamaan sudah tidak ada landasannya
Diam-diam engkau menumbuhkan pengharapan
Membangkitkan dan memelihara cita-cita
Untuk kapan-kapan kalau bisa direkrut ke dalam pasukan perampok
Kau pasang gambar-gambar para penyamun di dinding rumahmu
Dan dengan dungu engkau berdoa kepada Tuhan agar kapan-kapan Engkau diperkenankan menjadi bagiannya
XIV
Tetapi pengharapanmu itu kosong
Setiap bangun pagi dari tidur engkau disapa oleh kekosongan itu
Ke manapun matamu memandang, kau ditampar kehampaan
Ketika engkau hidupkan semangat hidup, kesia-siaan
Dan akhirnya keputus-asaan menampar kesadaranmu
Engkau terlindas oleh kemelaratan total
Engkau ditelan oleh kemiskinan absolut
Miskin raga, miskin jiwa, miskin dunia, miskin akhirat
Sampai kemudian menyerah Dan menjadi pengemis, pengemis, pengemis
Ya Rahman ya Rahim, ampunilah ketololan hamba,