KADO UNTUK MBAH NUN

“Dia itu adalah santri tanpa sarung, haji tanpa peci, kiai tanpa sorban, dai tanpa mimbar, mursyid tanpa tarekat, sarjana tanpa wisuda, guru tanpa sekolahan, aktivis tanpa LSM, pendemo tanpa spanduk, politisi tanpa partai, wakil rakyat tanpa dewan, pemberontak tanpa senjata, kesatria tanpa kuda, saudara tanpa hubungan darah,” begitu ungkap Gus Mus saat ditanya pendapat beliau tentang Mbah Nun.

Selama lebih dari empat dekade, kiprah Mbah Nun mewarnai berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Berpuluh tahun berkeliling ke berbagai pelosok untuk mengelus-elus hati rakyat kecil, menghibur orang-orang yang dipinggirkan oleh kedzaliman kekuasaan dan kesombongan, memungut yang dibuang orang, menghidupkan yang dikubur orang, mengingat yang dilupakan orang.

Dengan kesungguhan hidupnya, menorehkan segitiga cinta dalam hati kita semua. Menuntun kita menuju yang sejati; Penghuni Rumah hati kita, menyeruakkan Kado Muhammad ke relung hidup kita, menuliskan sastra cinta dalam jiwa, meletakkan jalan puisi untuk dilalui.

Sudah saatnya, partikel dan gelombang cahaya yang terpancar dari Cahaya Maha Cahaya itu terserap, memantul, dan benderang. Sebagai kado, dari dan untuk. Seperti dalam puisi beliau :
“Anakku beratus-ratus, beribu-ribu,
Jumlah persisnya aku tak tahu,
Tetapi pasti tak hanya berpuluh-puluh,
Kebanyakan dari mereka tak pernah ketemu aku,
Aku sendiri tak tahu persis yang mana anakku,
Kecuali ketika satu demi satu,
Mereka tampil di panggung,
Memancarkan wajahku”

Mari melingkar Bersama Lingkar Maiyah Sedulur Pasuruan.

Lihat juga

(Redaksi Lingkar Maiyah Sedulur Pasuruan)

Lihat juga

Back to top button