JAMAAH MAIYAH DAMAR KEDHATON GRESIK MENYELAMI QS. YASIN: 21 

(Liputan Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik, “Sinau Tanpa Pamrih”, Senin, 12 Juni 2023) 

Semangat tanpa pamrih yang diberikan oleh dulur-dulur Jamaah Maiyah Damar Kedhaton (JMDK) di Desa Pelemwatu, Kecamatan Menganti patut diapresiasi. Bagaimana tidak? sebagai tuan rumah dari wilayah Gresik selatan, mereka telah mensedekahkan waktu, energi, materi, dan sebagainya, termasuk juga tempat digelarnya Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-77 dengan tema “Tanpa Pamrih”, Senin, 12 Juni 2023.

Tepatnya di kompleks Pesarean Mbah Sayyid Abdullah, berdiri satu tiang lampu dengan empat buah bola lampu, tergelar rapi karpet berwarna merah dengan segala hidangan yang disajikan. 

Cak Basri, Cak Khusnul, Cak Jemi, Cak Dimas, dan Cak Fuad beserta beberapa dulur lainnya yang luput dari perhatian saya; mereka bahu-membahu merebus-mengaduk kopi, menyiapkan camilan, serta mengantarkan dari pawon dadakan menuju ke dulur-dulur lainnya. Sesaat sebelum dimulainya Majelis Ilmu Telulikuran. 

Suasana syahdu, sepi, sunyi, dan sesekali terdengar bunyi motor lewat menggambarkan bagaimana lingkungan yang ada di sekitarnya. Tempat itu juga dikelilingi oleh beberapa pohon-pohon besar, mulai dari pohon Asem, pohon Randu, dan pohon Kecicil. Tentunya menjadi pelengkap dan menambah kesakralan saat kegiatan berlangsung. 

Seperti biasanya, kegiatan diawali dengan nderes Al-Qur’an juz 17. Selanjutnya, jamaah diajak untuk melantunkan Wirid, Tawashshulan, dan Shalawat Diba’ memanjatkan puja-puji kepada Kanjeng Nabi sekaligus nyuwun paring-paring kepada Allah Swt. 

Sesi Elaborasi Tema Jamaah

Memasuki tema, agaknya cukup berat bila dikaji. Beragam sudut pandang diulas secara panjang lebar. Serius juga diselingi guyonan; menjadi diskusi ciri khas ala Maiyah. Tak jarang pula juga saling gojlok-gojlokan antar jamaah. Cak Fauzi mengawali diskusi dengan membawakan surat Yasin ayat 21, sebagaimana yang sudah tertulis dalam prolog tema telulikuran malam itu. 

Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Yasin ayat 21). 

“Dari ayat tersebut kita mencoba membangun narasi berpikir. Sederhananya, di zaman sekarang ini sangat tidak mudah menemukan hubungan bebrayan yang tidak mengandung laba, bahkan sampai level yang samar sekali pun,” jelas Cak Fauzi. 

Sehingga, pada malam itu arah diskusi yang berjalan dalam konsep Sinau Bareng untuk belajar mengidentifikasi sosok orang yang layak dan pantas untuk dijadikan sebagai panutan, atau rujukan pemberi petunjuk yang benar, bener, dan pener tanpa meminta imbalan. 

Cak Fauzi menekankan, teringat akan pesan dari Mbah Nun saat berlangsungnya Tawashshulan secara serentak pada 27 Mei 2023, “Pesan dari Mbah Nun saat Tawashshulan serentak 27 Mei 2023, kita diminta untuk stand by menerima datangnya hidayah Maiyah,” ucapnya. 

Sedangkan Wak Syuaib selaku Kamituwa Damar Kedhaton mengungkapkan ada empat poin pertanyaan pemantik yang perlu dikupas untuk dimaknai dan dicari jawabannya. 1. Siapa saktemene yang mendapatkan petunjuk? 2. Pamrih itu apa? Sejatinya apa? 3. Ikut itu, ikut yang bagaimana? Cetha dijelaskan di dalam ayat tersebut. 4. Berupa petunjuk, petunjuk itu yang bagaimana? 

Ditambahkan Wak Syuaib, terkadang seseorang kerap lupa dengan apa-apa yang berada di lingkar terdekatnya. Dalam hal ini, konteks yang dibawa Wak Syuaib ialah peran kedua orangtua yang dijalankan selama ini. 

“Ternyata, di terdekat kita yang tidak ada pamrih itu kedua orang tua. Melu/ndherek orang tua. Apa ya seperti itu? Kira-kira, kedua orangtua kita yang melahirkan, hingga saat ini, apa ada pamrih? Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh kepada Kanjeng Nabi atau Mbah Nun,” terangnya. 

Selanjutnya, Kang Anis menjelaskan perihal kata imbalan dengan menyodorkan beberapa ayat dalam Al-Qur’an, mulai dari Surat Yunus ayat 72, Surat Hud ayat 29, Surat Hud ayat 51, Surat Asy-Syu’ara ayat 109, Surat Asy-Syu’ara ayat 127, Surat Asy-Syu’ara ayat 145, Surat Asy-Syu’ara ayat 164, Surat Asy-Syu’ara ayat 180, Surat Saba’ ayat 47, Surat Shaad ayat 86, dan Surat Al-Furqon ayat 57. 

Sebelum mengurai makna dari orang atau siapa yang mendapatkan petunjuk, dalam bahasa Arab disebut sebagai Muhtadun, Kang Anis mengajak jamaah untuk paham terlebih dahulu tentang hidayah itu sendiri. 

“Hidayah itu banyak macamnya. Kita sendiri diberi banyak hidayah, dari ujung rambut sampai kaki itu bagian dari hidayah. Di luar diri kita (fisik-red) juga hidayah. Al-Qur’an dan hadist juga hidayah. Sebenarnya, hidayah itu dicari atau mencari? Sejatinya kan diberi. Orang-orang yang Muhtadun memang melakukan pencarian, tetapi goal-nya tetap akan diberi hidayah,” jelas dia. 

Selain itu, masih menurut Kang Anis, orang-orang yang memperjuangkan nilai juga termasuk bagian dari hidayah. Hal ini selaras dengan Surat Ar-Rad ayat 11, artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Kang Anis menyebut, perkumpulan seperti ini dengan atmosfer dan frekuensi yang sama juga termasuk representasi dari Muhtadun. Menyoal tema ‘Tanpa Pamrih’ diakuinya memang sangat berat luar biasa. 

“Orang-orang Muhtadun, persis sama dengan Muttaqin. Yang utama adalah bagaimana memperjuangkan kelayakan. Apa itu Muhtadun, indikasinya apa? Itu aslinya ngaji pada diri sendiri. Bangunlah jiwanya. Kokohlah jiwamu, tegarlah hatimu,” beber dia. 

Bukan forum Maiyah kalau diskusi hanya berjalan satu arah. Sehingga, para jamaah yang hadir bebas bertanya kepada siapa saja. Termasuk, juga memberikan respons atas berlangsung diskusi. Bahkan, saking ganyeng dan mesranya, pertanyaan bisa dilemparkan kepada siapa saja yang hadir secara acak. 

Seperti Cak Kaji Bombom yang mengajukan pertanyaan kepada Cak Tedjo, “Hampir di semua lini saat ini memikirkan untung rugi. Apakah pamrih boleh dilakukan hanya kepada Gusti Allah? Tawashshulan jelas, nyuwun paring-paring. Misal, pamrih kepada manusia boleh. Itu yang bagaimana?,” tanya dia. 

Cak Tedjo menceritakan sebuah kisah yang pernah dialami oleh Nabi Musa. Pada suatu ketika, telah terjadi bencana di sebuah kampung. Lantas, Nabi Musa bertanya kepada Allah,”Ya Allah, kenapa engkau turunkan bencana pada kampung tersebut, toh yang berbuat dosa hanya satu orang?”

Seketika itu dijawab langsung oleh Allah dengan melalui peristiwa, ketika Nabi Musa sedang tidur lelap di bawah pohon kakinya digigit semut merah. Nabi Musa sontak kaget, kemudian bangun dan jengkel. Akhirnya semua semut merah disitu di-pitesi.

“Bisa jadi satu orang berniat mengabdi (liLLah), yang lainnya tidak, bisa membuat Allah tidak tega menurunkan bencana karena satu orang mengabdi itu. Bisa juga sebaliknya, satu orang berbuat maksiat imbasnya bisa satu kampung yang kena. Misal, seperti adanya maling dari sebuah desa, yang membuat kampung tersebut dapat cap sebagai kampung maling,” jelasnya. 

Sementara Cak Rezky menjelaskan ulang mengenai peran Mbah Nun selama ini yang secara tidak sadar menggembleng kita semua. 

“Mbah Nun bagi saya adalah pelaku nilai sejati. Mbah Nun seringkali dalam beberapa kesempatan, orang-orang saat ini orientasinya kebanyakan untung rugi. Kalau pesan Mbah Nun, lakukan apapun itu sebaik mungkin. Awakmu saiki sibuk opo? Lakonono asal tidak melanggar syariat, tidak menyalahi norma-norma apa yang dilarang,” ucapnya. 

Diskusi terus berlanjut. Jamaah saling melempar pertanyaan dan merespons jawaban. Persaudaraan al-mutahabbina fillah tanpa pamrih yang nyata apa adanya, terangkum dalam kehadiran mereka, Jamaah Maiyah Damar Kedhaton Gresik setiap kali hadir dalam kegiatan rutin Majelis Ilmu Telulikuran yang digelar setiap satu bulan sekali.

Lihat juga

Back to top button