MEMBANGUN SUBCONSCIOUSNESS KOLEKTIF
(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya Edisi Juli 2024)
“Bismillahirrahmanirrahim. Semoga dulur-dulur sehat dan waras. Lupakan dulu hutang, lupakan dulu kesulitan. Hari ini kita ngawang-ngawang. Alhamdulillah masih ada yang mau memberi tempat dan berpikir masa depan yang lebih jauh. Tadi saya agak sedih juga bahwa pemerintah tidak bisa melihat pentingnya ruang publik untuk masyarakat berekspresi. Padahal masa depan datang dari obrolan tidak penting dan ngawang-awang,” sapa Mas Sabrang membuka diskusi merespons tema M-CLOUD, di majelis ilmu Bangbang Wetan yang diselenggarakan di STIKOSA-AWS, pada Selasa, 23 Juli 2024.Â
Pada sesi awal majelis ilmu Bangbang Wetan dibuka dengan nderes Al-Qur’an. Setelah itu dilanjutkan sholawatan yang dipandu oleh teman-teman remaja masjid A.Aziz, yang berada di komplek kampus STIKOSA-AWS. Setelah sesi sholawatan, moderator membuka sesi perkenalan dan bertanya sejarah kecintaan remas masjid A. Aziz kepada sholawat. Teman-teman remaja masjid ada yang menjawab karena sholawatan bisa memandunya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ada yang menjawab karena sejak kecil orang tuanya cinta sholawatan, maka dirinya juga terbawa secara otomatis cinta sholawat.Â
Pada sesi respons jamaah ada satu jamaah yang menarik digali lebih dalam, perihal perjalanan hidupnya dan keputusan yang diambil. Ada cerminan dari M-CLOUD atau simpanan nilai dan hikmah Maiyah. Jamaah tersebut bernama Hisyam Ahmad Ramadhan dari Surabaya Utara.
Hisyam bercerita sampai detik ini yang membuatnya sumpek paling ya karena pas tidak mempunyai uang. Tapi, kondisi itu tidak menjadi masalah pendalam bagi Hisyam. Dia mengaku kalau tidak punya uang, solusinya dibuat jalan-jalan saja. Misalnya hanya punya uang 5000, dibuat ngopi dan nyangkruk sama teman-temannya. Kalau lagi ‘pusing’ pikiran ya diterima saja ‘pusing’-nya, pokoknya yakin akan hari esok.Â
Hisyam baru merasakan sumpek banget ketika tidak punya uang tapi orangtua minta ditransfer uang untuk membantu kebutuhan hidup orang tuanya. Pada posisi itu Hisyam mengusahakan bagaimana caranya bisa memberi orangtua pada saat orangtua membutuhkan. Akhirnya yang dilakukan Hisyam adalah meminjam uang ke temannya.
Pokoknya bisa memberi orangtua ketika butuh uang. Karena menurut Hisyam, orang tua adalah prioritas utama di dalam hidupnya. Dia bersedia mengusahakan kerja keras demi orang tuanya. Prinsip hidup yang selalu dipegang Hisyam adalah berhusnudzon kepada Allah dan yakin kepada hari esok. Prinsip itulah yang membuat Hisyam bisa survive sampai sekarang.Â
Respons Narasumber terhadap gelaran Majelis Ilmu Bangbang Wetan
Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh, Pak Dr. Jokhanan Kristiyono M.Med.Kom., (Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya), Pak Imawan Mashuri, SH.MH., (Ketua Badan Pengurus Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur), Pak Suko Widodo serta Pak Darmaji (dosen Matematika ITS) hadir sebagai narasumber.Â
Pertama, Pak Jokhanan dipersilakan berbicara. Pak Jokhanan mengucapkan terima kasih kepada Bangbang Wetan dan Mas Sabrang karena mempercayakan STIKOSA menjadi ruang Sinau Bareng pada Selasa 23 Juli 2024. Pak Jokhanan malam itu mengaku berpakaian rock and roll karena biar bisa lebih dekat dengan jamaah yang hadir.Â
Pak Jokhanan gembira STIKOSA bisa melaksanakan arahan dari Pak Imawan Mashuri untuk menjawab tantangan bahwa ruang belajar tidak hanya tersekat oleh ruang-ruang kelas. Majelis Ilmu Bangbang Wetan yang dilaksanakan di STIKOSA malam itu merupakan ruang publik untuk belajar dan Sinau Bareng.Â
Pak Jokhanan mengungkapkan keresahannya bahwa selama ini para akademisi banyak terkungkung pada ruang-ruang akademik. Seharusnya para akademisi turun ke masyarakat, mengimplementasikan apa yang dipelajari di ruang akademik supaya bermanfaat di masyarakat.Â
Selanjutnya giliran Pak Imawan yang diminta berbicara. Sebelum Pak Imawan berbicara, Pak Suko memperkenalkan bahwa Pak Imawan merupakan orang yang pertama mendirikan televisi swasta lokal di Indonesia. JTV itu yang mendirikan Pak Imawan. Pak Imawan juga merupakan redaktur Jawa Pos. Maka dari itu, sekolah yang hebat termasuk STIKOSA-AWS melahirkan orang hebat seperti Pak Imawan salah satunya.Â
Pak Imawan malam itu menyampaikan keinginannya ada public space untuk Sinau Bareng. Setelah Balai Pemuda sudah tidak mungkin digunakan rutinan Sinau Bareng Majelis Ilmu Bangbang Wetan yang diskusinya dari hati ke hati, Pak Imawan berharap STIKOSA menjadi alternatif public space untuk Sinau Bareng.Â
Pak Imawan menceritakan kondisi STIKOSA ibaratnya sebuah bensin yang diam saja tidak berbuat apa-apa. Tiba-tiba pada suatu hari ada Pak Suko yang mengajak Pak Imawan untuk tandang karena STIKOSA umurnya sudah matang.Â
Pak Suko mengajak Pak Imawan untuk berbuat sesuatu dengan kepentingan yang menyadari terhadap sebuah proses. Karena menurut Pak Imawan, manusia sekarang kehilangan kesabaran terhadap proses. Segala hal ini tiba-tiba saja ingin cepat segala-galanya. Rasanya seperti baru lahir sudah disuruh cepat-cepat menikah.Â
Pak Imawan mengajak kita berproses bahwa sunnatullah dalam setiap proses. Karena yang dinilai prosesnya. Maka bersabarlah menjalani proses.
Pak Imawan mengungkapkan kebahagiaanya karena Mas Sabrang bisa hadir di majelis ilmu Bangbang Wetan yang diselenggarakan di STIKOSA malam itu. Pak Imawan ingin pertemuan malam itu diramu supaya bermanfaat.Â
Berikutnya Pak Suko Widodo menyapa jamaah dengan menegaskan bahwa yang duduk di atas panggung dan di bawah panggung sama saja karena pondasi kesadaran kita adalah Sinau Bareng. Pak Suko malam itu menyampaikan bahwa Mbah Nun mempunyai peran besar terhadap dunia media, dari mendirikan UNAIR termasuk STIKOSA.Â
Pak Suko Widodo menyampaikan Sinau Bareng malam itu yang mengangkat tema M-CLOUD menjadi tema bahasan yang penting. Beliau mengibaratkan posisinya di tengah ruang Sinau Bareng malam itu sebagai kebo nyusu gudel (kerbau menyusui anaknya). Karena hari-hari ini seperti yang diprediksi banyak orang, akan terjadi pergolakan luar biasa antara yang muda dengan yang tua.Â
Pak Suko sudah mengajar kurang lebih 35 tahun. Dulu, pada tahun 1991, Pak Suko ketika bepidato di depan mahasiswa selama 2 jam itu mahasiswa mendengarkan bahkan masih ada yang bertanya. Sekarang, ketika Pak Suko ngomong 10 menit di depan mahasiswa, rata-rata mahasiswa sudah kehilangan fokus dan tidak menyimak apa yang disampaikan Pak Suko.Â
Menurut Pak Suko, ada cara baru di komunikasi dalam melihat public space karena yang muda tidak mau kalah dengan yang tua, serta yang tua mau tidak mau harus mau menyesuaikan.Â
Pak Suko menyampaikan keresahannya bahwa televisi yang menjadi public space sekarang kurang diminati generasi muda. Generasi muda sekarang ini kebanyakan mengakses informasi dan komunikasi dari gadget.Â
Pak Darmaji malam itu juga urun merespons tema M-CLOUD. M-CLOUD atau bahasa sederhananya storage hikmah dan nilai Maiyah bentuknya ditangkap oleh Pak Darmaji karena dipertemukan dengan Pak Jokhanan dan Pak Imawan malam itu. Pak Jokhanan meskipun ketua STIKOSA sekarang tetapi dulu kuliah S1-nya jurusan Mesin di ITS. Kemudian S2 dan S3-nya jurusan Komunikasi di UNAIR, salah satu anak didik Pak Suko.Â
Pak Jokhanan merasa masih mempunyai rasa almamater ITS sehingga beliau mengungkapkan ke Pak Darmaji bahwa urusan Pak Jokhanan sekarang di STIKOSA adalah mesin komunikasi. Jadi riwayat pendidikannya dari mesin ke komunikasi dijadikan satu. Tentunya hal itu merupakan suatu ungkapan bahwa Pak Jokhanan tidak pernah melupakan almamaternya yang dulu.Â
Menurut Pak Darmaji, pertemuan dan perkenalan dengan orang baru di Maiyah untuk saling berbagai pengalaman merupakan pola yang asyik untuk kita copy paste. Termasuk pertemuan Pak Darmaji dengan Pak Jokhanan dan Pak Imawan. Dari pertemuan atau silaturahmi kita bisa Sinau Bareng dari tidak tahu menjadi tahu merupakan salah satu bentuk dari M-CLOUD.Â
Salah satu bentuk kegembiraan STIKOSA karena dipercaya menjadi ruang Sinau Bareng Bangbang Wetan adalah panitia STIKOSA selain ikut menata parkir kendaraan jamaah, menggelar tikar, menampilkan grup sholawat rebana, juga menyuguhkan camilan seperti pisang, kentang, ubi dan ketela rebus yang cukup banyak. Camilan itu didistribusikan merata ke jamaah yang hadir.Â
Awang-awang Model Survival Anak Muda
Mas Sabrang malam itu bersyukur karena masih ada yang mau memberi tempat dan berpikir masa depan yang lebih jauh. Tadi beliau agak sedih juga bahwa pemerintah tidak bisa melihat pentingnya ruang publik untuk masyarakat berekspresi. Padahal masa depan datang dari obrolan tidak penting dan ngawang-awang.Â
Mas Sabrang pernah dikritik kenapa Maiyah itu ngobrolnya awang-awang, tidak ngomong yang beneran. Padahal ngawang-awang itu model survival anak muda. Maksudnya, seperti kata Mbah Nun, manusia itu butuh mengkerut, kadang memanjang, kadang juga tinggi dan rendah.Â
Kadang-kadang kita mengurusi serius yang di depan mata, kadang-kadang ya melamun (ngawang-awang). Karena cita-cita tidak datang dari kesulitan hidup, cita-cita datang dari ngawang-awang. Kalau hidup tidak mempunyai cita-cita, lantas kenapa meneruskan hidup? Karena kita tidak mempunyai imajinasi ke depannya.Â
Pondasi Bawah Sadar Kolektif pada Komunitas
Tema M-CLOUD imajinasinya di Maiyah ada cloud. Di Padhangmbulan Jombang yang terselenggara sehari sebelum Bangbang Wetan, Mas Sabrang sempat ngomong ada yang namanya pola. Pola itu abstrak (ngawang-awang), kemudian kita melihat contohnya di dalam dunia riil.Â
Kalau kita mau memahami M-CLOUD, kita coba melihat dunia riil yang lain terlebih dahulu pada pola yang sama untuk memahami bahwa M-CLOUD fungisnya buat apa dan kenapa kita membangun M-CLOUD?!
Mas Sabrang mengajak kita melihat contoh yang riil dengan melihat gedung. Ketika ada gedung, yang kita bayangkan adalah apa yang kita lihat yaitu bangunan gedung. Tapi semua gedung dan bentuknya tidak lepas dari yang namanya pondasi. Terhadap pondasi tidak ada yang bisa melihat.Â
Semua bangunan dan semua bentuk itu pasti ada pondasinya, yang tidak bisa kita lihat. Semua bangunan itu ada yang mendasarinya. Tidak mungkin gedung bangunan bentuknya tidak sesuai pondasi. Kemungkinan besar bangunan itu kalau bangunan bentuknya tidak sesuai pondasi akan ambruk. Artinya pondasi yang ditanam terlebih dahulu, berikutnya tumbuh atau dibangun menjadi bangunan gedung.Â
Mas Sabrang malam itu memakai teori Carl Gustav Jung (psikolog yang berasal dari Swiss, ia yang merintis dan mengembangkan konsep psikologi analitik atau psikoanalisis), untuk mengidentifikasi diri manusia. Menurut teori Carl Gustav Jung, dalam diri manusia terdapat tiga layer.Â
Layer yang paling atas adalah kesadaran. Layer kesadaran yaitu layer yang kita menyadari bahwa kita berpikir dan memproses informasi. Layer kedua adalah bawah sadar. Layer bahwa manusia masing-masing mempunyai bawah sadar. Contohnya ada yang senang kopi, ada yang senang teh, ada yang senang cewek berhidung mancung, dan segala macam itu ada pondasi bawah sadarnya.Â
Tapi di bawahnya bawah sadar ada pondasi lain yang disebut sebagai collective unconsciousness. Collective unconsciousness adalah bawah sadar yang tidak disadari tapi menjadi pondasi dari sebuah komunitas.Â
Collective Subsconsciousness Maiyah
Mas Sabrang mencontohkan kasus dari collective unconsciousness dengan menceritakan pengalaman temannya bekerja di Jepang. Di perusahaan itu ada dua kelompok pekerja dari kelompok orang Jepang dan orang Indonesia. Suatu hari perusahaan mengangkat pekerja terbaik yang ternyata didapatkan orang Jepang.Â
Teman Mas Sabrang mencoba kumpul dengan orang Jepang untuk mengetahui komentar dari orang Jepang terhadap pekerja terbaik yang terpilih. Orang Jepang rata-rata berkomentar bahwa pekerja terbaik yang terpilih itu pantas terpilih karena dia rajin dan pintar. Sehingga memotivasi mereka untuk bekerja lebih rajin dan belajar agar lebih pintar ke depannya.
Selanjutnya, teman Mas Sabrang mencoba kumpul juga dengan kelompok orang Indonesia untuk mengetahui komentarnya terhadap pekerja terbaik yang terpilih. Komentar orang Indonesia menilai pekerja terbaik yang terpilih karena pintar ‘menjilat’ dan ‘cari muka’ kepada pimpinan sehingga dipercaya dan dipilih.Â
Jika kita lihat komentar dari kedua kelompok sama sekali berbeda. Komentar berbeda datangnya itu datanya dari collective subconsciousness. Dari kedua komentar itu menunjukkan bahwa collective subconsiousness dari dua kelompok berbeda.Â
Budaya collective subconsciousness orang Indonesia merupakan contoh budaya yang tidak baik untuk dipertahankan. Kalau begini caranya timnas sepak bola kita tidak akan pernah maju karena satu tim saling tarik-menarik bukan saling mendorong untuk maju bersama.Â
Mas Sabrang malam itu tidak sedang menjelek-jelekkan Indonesia karena beliau juga bagian dari Indonesia. Mas Sabrang mengajak untuk berubah dengan ngobrol bersama dan merefleksikan ke dalam diri kita masing-masing. Ketika kita sudah bisa mendefinisikan masalah, baru kita bisa menghadapinya dan lebih waspada. Karena, jika masalah tidak dibahas secara terbuka, akan menjadi perasaan-perasaan dan tidak menjadi kesadaran bersama.
Menurut Mas Sabrang, Mbah Nun membangun Maiyah salah satunya adalah membangun collective subconsciousness (alam bawah sadar kolektif) yang berbeda. Karena, di Maiyah siapa saja boleh naik panggung dan berbicara menyampaikan gagasannya dan di Maiyah tidak terbiasa untuk suudzon. Setiap keadaan dicari dan diambil baiknya. Salah satunya contohnya di Mocopat Syafaat ada Pak Mustofa W. Hasyim yang dikenal dengan penyair rusak-rusakan.Â
Pak Mustofa W. Hasyim dikenal penyair rusak-rusakan karena kalau membaca puisi tidak cetho pelafalannya dan terkadang mengomentari dan mengejek sendiri puisi yang dibacakan. Kalau menggunakan klasifikasi di luaran saja, Pak Mustofa tidak memenuhi syarat menjadi penyair di manapun dan di zaman apapun.Â
Tapi, di Maiyah Pak Mustofa diterima sebagai penyair dan diambil indahnya. Hal itu menjadi collective subconsciousness dari kumpulan yang mencoba dibangun di dalam Maiyah. Agar kita bisa menjadi kelompok yang mempunyai pondasi berbeda sehingga tumbuh manusianya menjadi orang yang berbeda.Â
Wajar kalau Mbah Nun pernah menyampaikan kalau Maiyah panennya bisa beberapa puluh tahun ke depan, tidak harus sekarang. Karena, Maiyah ibaratkan bangunan yang pertama dibangun adalah pondasinya, tidak langsung membangun genteng dan mengecat tembok.Â
Kita sekarang bisa mengamati orang-orang yang mempunyai collective subconscious yang pernah ikut Maiyah sudah masuk kemana-mana. Ada yang di perusahaan, ada yang ikut partai, serta di banyak tempat dan di berbagai tempat. Dan mereka minimal mempunyai kesadaran yang berbeda. Memiliki sudut pandang berbeda karena terbiasa mempunyai perspektif berbeda. Hal itu merupakan terjemahan Mas Sabrang terhadap M-CLOUD.Â
M-CLOUD kalau memakai analogi teknologi letaknya cloud bukan di  dasar melainkan di atas, tapi secara fungsi sama. Ada stage gadget serta ada software. Kemudian software tidak bisa dibuat apa-apa tanpa dibuat download aplikasi. Aplikasi letaknya di cloud.Â
“Maka, yang dibangun Maiyah Cloud adalah kesadaran subconscious collective. Karena kalau diajari seperti kuliah, jadinya kesadaran kognitif. Kognitif itu penting, kalau untuk pondasi yang benar. Kalau pondasinya sudah tidak benar, segala macam kepandaian akan digunakan dengan cara yang salah,” tegas Mas Sabrang.Â
Deklarasi IdentitasÂ
Mas Sabrang menceritakan kalau siang hari sebelum malamnya rutinan majelis ilmu Bangbang Wetan sempat ngobrol dengan dosen muda Surabaya tentang metode pendidikan. Mas Sabrang mengatakan bahwa metode pendidikan kita itu meng-copy tapi lupa dengan pendidikan aslinya. Pendidikan kita dulu yang dimulai dari Ashram mempunyai metodologi yang berbeda. Tidak ada batch atau angkatan.Â
Pendidikan modern dibuat ada angkatan karena pendidikan dibuat untuk pekerja pabrik dan pekerja pabrik modelnya angkatan; masuk jam berapa, pulang jam berapa. Sehingga dilatihkan sejak dini di sekolah dengan menerapkan aturan masuk jam berapa, pulang jam berapa, memakai lonceng sebagai penanda waktu masuk atau keluarnya siswa, duduknya berseragam serta mau masuk kelas baris terlebih dahulu. Dulu, siswa secara psikologis memang disiapkan seperti pekerja pabrik.Â
Ada pondasi yang sama sekali berbeda pendidikan tradisional kita dengan pendidikan modern yang diimplementasikan sekarang. Mas Sabrang bukan sedang berbicara pendidikan modern pasti buruk, tetap ada baiknya. Tapi, kita ‘kan kepenginnya pendidikan kita yang lebih baik, maka dari itu Mas Sabrang merefleksi ke pendidikan zaman dahulu.Â
Sepemahaman Mas Sabrang, zaman dahulu itu menganggap ilmu sebagai senjata yang berbahaya. Karena ketika orang pandai, dia jadi mampu untuk mengakali orang lain. Memanfaatkan kepandaiannya untuk menginjak orang yang bodoh. Sehingga ada syarat utama sebelum anak diberi pembelajaran keilmuan, itu yang namanya pondasi.
Zaman sekarang tidak ada pondasi pembelajaran. Anak berumur dini sudah diberi pembelajaran kemampuan kognitif serta sudah dimasukkan sekolah. Zaman dahulu, anak diberi pembalajaran membaca dan ilmu bisa di umur 10 atau 12 tahun, dengan syarat pondasinya sudah benar.Â
Pondasinya adalah deklarasi identitas dari diri. Deklarasi identitas dari diri ini yang tidak pernah kita bahas sama sekali. Minimal kita tahu kita ini siapa? Misalnya kalau di Surabaya ada alamat Jl. Darmo Kali, gang Taek. Kita yang berasal dan tinggal di sana, mendeklarasikan diri bahwa kita warga gang Taek. Setiap orang pasti mempunyai cantolan identitas. Orang akan mencari siapa sebenarnya dirinya.Â
Misalnya jika orang menemukan identitasnya berasal gang Taek, orang itu akan menggunakan ilmunya untuk membela identitasnya. Hal itu merupakan sifat dari akal. Akal itu akan bekerja untuk membela identitasnya. Itulah sebabnya sering terjadi keributan di media sosial, karena yang diributkan orang-orang di media sosial adalah untuk membela identitasnya.Â
Naluriah akal itu pasti membela identitasnya. Misalnya tidak mau disalahkan, tidak mau kalah dan seterusnya. Artinya kalau identitasnya kelompok, dia akan membela kelompoknya dan menginjak kelompok lain. Pondasi pendidikan zaman dahulu itu memastikan pondasi indentitas pembelajarnya adalah manusia. Identitas utamanya adalah kita manusia. Kalau di dalam Islam, identitas utamanya adalah kita abdi atau hamba Allah, bukan kita anak siapa atau kelompok mana.Â
Kalau pembelajar sudah mempunyai pondasi identitas manusia, semua ilmu yang ada di kepalanya digunakan untuk membela manusia dan tugasnya, tidak peduli siapapun, kalau manusia serta alam semesta akan dibela.Â
Apalagi kalau kita mempunyai kesadaran pondasi identitas bahwa kita hamba Allah serta menjadi khalifah di muka bumi, tidak mungkin akan merusak alam, tidak mungkin akan merusak keadaan, tidak mungkin akan menghancurkan. Sebab, tahu persis bahwa ilmu yang kita tampung untuk membela identitas yang kita sadari. Itu yang Mas Sabrang maksudkan dengan pondasi. Karena tumbuhnya manusia berdasarkan pondasinya. Seperti tumbuhnya bangunan pasti ikut pondasinya.Â
Maiyah ini mencoba jika pondasinya tidak bisa diganti, minimal merenovasi sedikit demi sedikit. Paling tidak kita tahu apa yang mesti diperbaiki, sehingga generasi berikutnya bisa membangun pondasi yang lebih baik.Â
Kalau kita berbicara soal agama, Islam itu sudah memberikan rumus yang luar biasa. Tapi kebanyakan dari kita menggunakannya sebagai pengetahuan kognitif, bukan ssbagai bagian dari pendidikan.Â
Coba kita bayangkan kalau pendidikan utama pondasi identitasnya adalah kita hamba Allah dan khalifah di muka bumi, (yang kita tancapkan di dalam hati), baru kemudian berperan sebagai orang Indonesia serta orang Surabaya. Peran apapun yang kita jalani terserah asalkan kesadaran utama kita adalah hamba Allah dan khalifah di muka bumi.Â
Maiyah dengan M-CLOUDÂ (Maiyah Cloud) mencoba membawa pondasi agar kita bertumbuh menjadi bangunan dengan pondasi yang kuat. Kita (jamaah Maiyah) mau menjadi bangunan apa terserah, karena Maiyah tidak pernah membawa proses Maiyah menjadi ormas, partai atau apapun itu, karena semua itu adalah bangunan.Â
“Wis, monggo! Ke bangunan manapun terserah. Kalau pondasi kita baik, kita akan membuat bangunan itu menjadi lebih baik. Semoga kita bisa meneruskan cita-cita itu (Mbah Nun). Maturnuwun,” pungkas Mas Sabrang yang disambut dengan tepuk tangan jamaah.Â
The LUNTAS (LUdrukan Nom-noman Tjap Arek Suroboyo) malam itu tampil ludrukan di jeda sesi diskusi. Kehadiran Cak Robert dan Cak Ipul membuat jamaah tertawa dari yang semula serius dan fokus menyimak uraian dan penjelasan dari Mas Sabrang.Â
Pukul 00.45 WIB, Majelis Ilmu dipungkasi dengan bersholawat bersama yang dipimpin oleh Cak Lutfi.
Surabaya, 24-25 Juli 2024