IMAN DAN KERAGUANNYA (1)

Saat Nabiyullah Ibrahim alaihis salam tampak ragu tentang adanya kebangkitan setelah kematian, dan meminta kepada Allah: Robbi, tunjukkan padaku bagaimana Engkau menghidupkan yang sudah mati? Allah pun menjawabnya dengan pertanyaan: belum berimankah engkau? Yang dijawab Ibrahim: tidak demikian halnya, tapi agar hatiku tenang saja.

Sangat mungkin keraguan Ibrahim bukanlah tentang kebangkitan secara ruhani; tapi lebih spesifik, yaitu tentang proses hidup kembali secara jasmani dan ruhani setelah mati. Ini bisa dilihat bila kita mencermati jawaban yang kemudian diberikan Allah. 

Meski ada dua penafsiran yang berbeda: yang pertama, yang paling banyak dipakai, menyebut bahwa empat jenis burung yang sudah dipelihara oleh Ibrahim, dicacah-cacah dan cacahannya dicampurbaurkan; yang kedua menyebut bahwa empat jenis burung yang berbeda tersebut dicampubaurkan secara acak. Tapi intinya hampir sama: yang pertama menyebut saat dipanggil oleh Ibrahim masing-masing burung itu kembali ke kondisi semula seperti sebelum dicacah; sementara yang kedua menyebut bahwa burung-burung tersebut kembali ke kelompoknya masing-masing setelah diacak dan ditempatkan di empat bukit yang berbeda. 

Secara obyektif, jangkauan nalar manusia memang lebih mudah memahami makna hidup kembali hanya secara ruhani; karena setelah mati dan dikuburkan, jasad biasanya hancur sehingga sulit membayangkan bisa kembali utuh seperti semula. Meski pada dasarnya keraguan semacam ini bisa dianggap umum; tapi agak mengejutkan mendengar ini diucapkan oleh seorang Nabi yang sekaligus Rasul. 

Dan Ibrahim jelas bukan sembarang Rasul, tapi satu dari lima penghulu para Rasul. Apalagi keraguannya menyangkut hal yang sangat mendasar: kebangkitan setelah kematian yang merupakan satu dari dua landasan penting keberagamaan, yakni tentang sangkan paran, tentang asal dan tujuan, tentang yu’minuna billahi wal yaumil akhir.

Lihat juga

Tapi, bukan itu yang akan kita bicarakan di sini. Fokus kita adalah fakta: bahkan seorang Nabi pun bisa dihampiri keraguan. Bagi yang terlanjur menganggap keraguan itu sesuatu yang buruk; tentu ini harus dihindari dan tidak boleh terjadi. Tapi kenyataannya, keraguan adalah bagian penting dari dinamika proses keimanan itu sendiri; dan keraguan yang ditunjukkan oleh Ibrahim sekaligus menunjukkan bahwa kenabian bukanlah sesuatu yang selesai, mandek, final seperti yang sering kita bayangkan; tapi adalah proses perjalanan panjang yang secara dinamis terus bergerak dan berkembang menuju kesempurnaannya sendiri-sendiri.

Demikian juga dengan keimanan, sehingga pada titik tertentu Sayyidina Ali pernah mengatakan: belum beriman seseorang sebelum ia mampu meragukan keimanannya sendiri.  Sementara di sisi lain, seorang sufi pernah mengatakan: mungkin kau kira mereka yang terus terang menentang kebenaran adalah musuh kebenaran yang terkeji. Tapi tidak demikian, karena mereka yang menentang kebenaran masih mungkin akan melihat kesalahan pikiran mereka. Sedang mereka yang menyangka dirinya sebagai anggota yang tulus dari masyarakat kebenaran, tak akan pernah menemukan ketulusan karena mereka tak mencarinya lagi dan merasa telah memilikinya.

Wallahu a’lam bishawab.

Lihat juga

Back to top button