JOGJA DAN KEMACETAN

(Seri Memandang Kota Jogja)

Homo homini lupus est. Ya benar. Manusialah sejatinya pemangsa manusia lain. Bisa jadi karena memang didorong oleh nafsu keserakahan pribadi yang muncul dari dalam diri. Atau muncul sebab alternatif lain. Dimunculkan oleh kahanan dan atmoster yang memaksa manusia untuk memangsa sesamanya. John B. Calhoun membuktikan dengan eksperimennya yang terkenal yang kita sebut sebagai behavioural sink (tulisan terkait hal ini akan lebih detail dibahas pada tulisan dengan judul “Peradaban Minimum”) 

Dalam dunia transportasi, khususnya di kota dengan populasi besar dan berkembang, fenomena “memangsa” sesama manusia kerap ditemui. Lebih-lebih di kota di mana moda transportasi publik belum menjadi budaya dalam perjalanan manusia dan barang. Tolehlah Jakarta atau Surabaya yang sudah sangat terbiasa dalam hal kemacetan. Meskipun beberapa tahun terakhir Jakarta mengambil langkah progresif untuk perbaikan transportasi. 

Memangsa adalah proses self satisfaction atau pemuasan diri. Tetapi memangsa juga bisa lahir dari ketakutan. Eat or be eaten. Seperti di pagi hari saat banyak manusia berlomba di jalanan untuk ke tujuan masing-masing. Ada perasaan puas jika pengguna jalan sampai di tempat kerja atau sekolah sebelum jam kerja dimulai. 

Tetapi, lebih sering pengguna jalan mengalami ketakutan dan melakukan segala upaya demi menghindari hukuman yang mungkin akan mereka terima jika terlambat. Konsekuensi dari semua itu adalah jalanan menjadi lahan kompetisi untuk saling memangsa. Penggunaan lajur yang tidak sesuai, pelanggaran lalu lintas, saling potong ruas jalan adalah contoh akibat dari kompetisi antar pengguna jalan. Tentu hal tersebut membawa dampak dan potensi kerugian bagi pengguna jalan sendiri. 

Kecelakaan sangat mungkin bisa terjadi. Belum lagi kerugian akibat biaya stres karena kemacetan. Juga waktu produktif yang hilang, biaya tambahan karena konsumsi bahan bakar, dan biaya karena peningkatan polusi. Di Los Angeles USA, misalnya, konsumsi bahan bakar naik dari 5 gallon bensin pada tahun 1982 menjadi 21 gallon pada tahun 2017 akibat kemacetan. 

Melihat dengan kacamata yang lebih besar, masalah kemacetan tentu akan mempengaruhi pertambahan konsumsi bahan bakar secara nasional dan otomatis akan berpengaruh pada belanja negara. Konsumsi bahan bakar ini didukung dengan pertambahan kendaraan bermotor yang saat ini justru dipermudah dalam proses leasing untuk kredit kendaraan bermotor. Tetapi masyarakat sungguh tidak dihadapkan pada pilihan. Tidak kredit motor berarti kesusahan untuk bekerja dan tidak punya alternatif transportasi umum yang efisien. Kredit motor berarti akan menambah biaya yang tangible maupun intangible dari stres, polusi, dan bahan bakar. 

Masyarakat tidak punya kewenangan untuk mengubah sistem. Mereka yang diberi mandat pemerintahan yang seharusnya bergiat menciptakan ruang alternatif baru. Bukankah ironi, kota yang didapuk sebagai kota pelajar tapi justru miskin inovasi dan lemah eksekusi? Juga kota budaya yang semakin terdegradasi oleh kahanan. Boro-boro berpikir tentang penciptaan kebudayaan dan jalinan sosial yang lebih indah seperti yang diwariskan leluhur. Waktu masyarakat kita akan lebih dihabiskan untuk bertanya tiap pagi: “telat gak ya sampai kantor/sekolah?”

Lihat juga

Back to top button