DUNGO-DINUNGO
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Poci Maiyah Tegal Jawa Tengah Edisi September 2024)
Seringkali, manusia diposisikan dalam keadaan yang tak mampu berbuat apa-apa selain berdoa.
Dua dari banyak hal yang menjadikan manusia seringkali tersesat adalah doa dan takdir. Tidak ada satu pun makhluk berakal yang tidak berdoa pada Tuhannya. Sebagian orang tidak memikirkan lebih dalam – tentang doa dan takdir, sebagian lagi berupaya keras mencari jawaban. Apakah manusia wajib berdoa? Mengapa ada doa yang dikabulkan, dan ada yang tidak/belum dikabulkan? Mengapa yang berdoa keinginannya tidak terwujud, sedangkan yang tidak nampak rajin berdoa atau beribadah justru nampak selalu terwujud hajat-hajatnya? Apa ukuran kebenaran dari pemaknaan manusia dari doa yang belum atau bahkan tidak terwujud?
Mari kita menengok tiga landasan filosofis dalam memandang suatu hal. Pertama adalah epistemologi, secara sederhana, memandang segala sesuatu dalam nilai yang berpasangan : benar-salah, kalah-menang, halal-haram. Cara pandang epistemologis menilai segala sesuatu ada dasar hukumnya. Contoh, korupsi itu haram. Membunuh manusia itu salah. Minuman keras itu haram. Sholat 5 waktu itu wajib, dan sebagainya.
Kedua, adalah aksiologi, ini cara pandang kebermanfaatan yang lebih besar. Jika secara epistemologis, penilaiannya adalah dikotomi, benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya, maka aksiologis menitikberatkan pada kebermanfaatan manusia. Contoh, membunuh itu dilarang secara hukum, tapi jika terpaksa dan dalam kondisi teraniaya, maka itu dimaklumi. Terakhir adalah ontologi, cara pandang yang ‘tanpa nilai’, tapi menerima dunia dan kehidupan sebagaimana adanya. Contoh, secara ontologis, dunia ini ada peperangan, kemiskinan, pembodohan, dan hal-hal baik buruk lainnya yang manusia tak harus memikirkan itu semua. Tidak harus berdoa untuk segala hal dan tiap detail kondisi kehidupan. Sebab manusia hanya dibebani sesuai dengan kemampuannya. Walaupun di sisi lain, boleh juga berdoa untuk ditambahkan kemampuan/kekuatan hidup, untuk tanggung jawab yang lebih besar. Karena, dalam kekuatan yang besar, terdapat tanggung jawab yang besar pula.
Seperti kisah Nabi Sulaiman ketika berdoa ingin memiliki kekuatan yang tidak akan dimiliki orang lain dan belum pernah dimiliki seseorang sebelumnya. Secara sederhana, dalam satu tafsir, Nabi Sulaiman melihat di masa depan seseorang yang menyerupai dirinya, dan menduduki singgasananya. Bagaimana hipotesa Nabi Sulaiman melintasi waktu, skip dulu. Dalam sinau bareng kali ini akan fokus dengan konsep-konsep doa, khususnya doa-doa kebaikan akhlak seperti yang Nabi Mahammad ajarkan : tabligh, fatonah, shidiq, dan amanah.
Bahwa manusia sekelas Nabi Sulaiman saja, mau berdoa dan banyak meminta. Berbeda dengan apa yang pada umumnya diinginkan oleh umat-umat nabi lain, umat Nabi Muhammad dikhawatirkan semakin terpecah belah oleh doa-doa duniawi. Doa-doa keinginan materil yang tidak tersambung dengan ketinggian akhlak. Seperti dalam salah satu hadits ketika nabi mengkhawatirkan umatnya, sebab akan lemah tak memiliki kekuatan jiwa. Bukan karena jumlahnya sedikit, melainkan karena cinta dunia dan takut mati. Akhlak mulia yang seharusnya menjadi permintaan dalam doa, umumnya sudah terganti dengan hajat-hajat duniawi yang terputus dari sisi ukhrowi (akhirat).
Di malam gelaran sinau bareng Poci Maiyah ini, mari kita luruskan dan perbaharui niat-niat sejak dari doa. Meski banyak kondisi yang menjadikan kita tak bisa apa-apa selain berdoa, teruslah berharap. Andai manusia tahu tentang tata kelola semesta, bahwa doa-doa yang manusia kira tak terjawab, akan mengalir pada generasinya di masa mendatang, atau bisa jadi ditukar dengan bencana yang urung datang.
Tegal, 5 September 2024
(Redaksi Poci Maiyah/Abdullah Farid)