IMAN DAN KERAGUANNYA (3)
Menurut Ibnu Atha’illah as-Sakandari, ada dua jalan untuk menempuh tahapan pendakian ruhani. Yang pertama dengan metode salik atau thariqah, belajar berjenjang dengan bimbingan mursyid. Metode ini pada dasarnya bertujuan mengantarkan manusia untuk sampai pada kondisi siap menerima kebenaran.
Dalam pandangan Syaikh Ahmad Al-Alawi dari Mostaganem, Aljazair; jalan ini setidaknya menghasilkan barokah, berupa kebahagiaan dan ketenangan batin bagi salik bila ia tak mampu merengkuh dan merealisasikan Kebenaran. Pada titik ini thariqah pada dasarnya hanya berfungsi menyiapkan reciever bagi Kebenaran; sementara hadirnya Kebenaran itu sendiri sepenuhnya hak Allah.
Yang kedua adalah jalan jadzab; di mana seseorang secara tiba-tiba ditarik oleh Allah ke dalam Kebenaran dan diberi kemampuan merealisasikannya. Sudah pasti istilah tiba-tiba ini hanya berlaku bagi manusia, karena pasti ada sesuatu yang sadar atau tak sadar secara tersembunyi telah mendahului dan menjadi sebab Allah menariknya.
Kondisi jadzab ini unik, secara sederhana mungkin bisa dianalogikan dengan orang desa yang tak punya gambaran apa-apa tentang kota, tiba-tiba diterjunkan ke kota metropolis yang serba canggih. Tentu ia akan luar biasa takjub. Dan, tak jarang, ketakjubannya tak terkontrol sehingga kadang terlihat seperti ‘orang gila’ bagi orang lain.
Meski pada titik tertentu, seperti diungkap oleh Ibnu Atha’illah, ia akhirnya akan beradaptasi juga dengan kenyataan yang dihadapinya. Artinya, dalam banyak kasus, kondisi jadzab sebenarnya temporer, bukan permanen. Meski temporernya seringkali tetap dalam rentang waktu yang tak pendek juga.
Yang menarik, Ibn ‘Arabi yang lebih dikenal sebagai sufi falsafi, tidak menempatkan ilmu sebagai puncak, tapi justru menempatkan cinta dan kondisi jadzab-nya sebagai capaian tertinggi manusia. Kondisi jadzab biasanya memang lebih dihubungkan dengan sufi yang berorientasi cinta, mahabbah; karena kondisi tersebut dianggap hanya lahir dari cinta dan kerinduan yang luar biasa mendalam. (Bersambung)