IMAN DAN KERAGUANNYA (2)

Abu Yazid al-Busthami pernah mengatakan: puncak kewalian adalah langkah awal kenabian. Pernyataan ini merujuk pada tahapan-tahapan ‘pendakian’ ruhani; tahapan peningkatan kesadaran melalui langit demi langit kenyataan, di mana di tiap langit ada lapisan vertikal mau pun lipatan horisontal yang sangat beragam dan hampir tak terhitung jumlahnya, yang hanya bisa dikenali lewat pola-polanya.

Itu pun masih dengan catatan: hanya mereka yang ada di atas, atau setidaknya sejajar dengannya saja yang bisa mengenali. Bisa diperkirakan bahwa inilah asal ungkapan: la ya’rifu waliy illa waliy; tak mengenali wali kecuali sesama wali. Ungkapan ini pun sebenarnya masih terlalu umum, karena sebagaimana banyak ditulis dalam beragam versi, wali pun bertingkat-tingkat kedudukannya. Berarti sebenarnya tak semua wali mengenali wali juga, kecuali yang berada pada lapisan atau langit kenyataan yang sama; atau di bawahnya. Mereka tetap tak akan mengenali yang ada di atasnya, kecuali sekadar menyangka atau paling jauh merasakannya saja.

Berdasar hal ini, seperti menegaskan ungkapan Abu Yazid, Al-Ghazali pernah menyatakan bahwa tak seorang pun bisa tahu tahapan dan kedudukan seorang Nabi. Ini karena kenabian berada di luar ‘orbit’ kesadaran puncak kewalian sekali pun. Tak mengherankan bila, berbeda dengan posisi seorang wali, seorang Nabi harus mengungkapkan dirinya sendiri agar dikenali. Tanpa mengenalkan diri, tak seorang pun akan mengetahuinya. Meski pengungkapan ini seringkali harus disertai dengan hujjah yang kuat berupa mu’jizat.

Semua penjelasan ini sebenarnya hanya ingin menunjukkan adanya tingkatan dan lapisan yang hampir tak terhingga yang harus ditempuh manusia untuk mencapai Kebenaran, Al Haqq. Tingkatan dan lapisan yang satu dan lainnya dibatasi hijab; lapisan atau tirai penutup. Hijab yang menurut sebuah hadits 70 ribu jumlahnya, masing-masing untuk kegelapan dan cahaya. Sebagaimana kita tahu angka tujuh adalah lambang ketak-terbatasan. Ketak-terbatasan karena titik akhirnya adalah Allah sendiri yang maha tak terbatas.

 Kalau kita pakai hadits ini sebagai rujukan, kita bisa mengatakan bahwa sebenarnya tak pernah ada kebenaran paripurna di tangan manusia; karena kebenaran paripurna sejatinya adalah Allah sendiri yang maha tak terbatas. Dalam kaitan ini, taklah terlalu mengejutkan saat Ibn ‘Arabi secara radikal mengatakan bahwa seorang Nabi yang paling dekat dengan Allah sekali pun, tetap dalam berada dalam jarak tertentu dengan-Nya.

Lihat juga

Dari satu sisi, bila mengikuti apa yang dinyatakan Ibn ‘Arabi tersebut; tetap dipertahankannya keberjarakan bisa dipandang sebagai salah satu bentuk pemuliaan Allah pada manusia. Jarak ini justru menegaskan adanya otonomi, kedaulatan, yang dikhususkan Allah pada manusia. Dalam kaitan ini istilah menyatu atau melebur hanyalah majaz; karena puncak capaian manusia adalah menjadi insan kamil, manusia paripurna, di mana seluruh keutamaan yang secara potensial telah diberikan Allah mampu dimanifestasikan secara sempurna.

Karena itu, sebagian ulama menafsirkan ungkapan ana al haqq-nya Al Hallaj bukan sebagai kebenaran paripurna, tapi lebih ke kebenaran kreatif; yang merujuk pada pengungkapan Kebenaran dalam ruang waktu tertentu. Menurut mereka pada dasarnya kata haqq mengandung pengertian kreatif juga; dan di titik ini pulalah keikut-sertaan manusia dimungkinkan. (Bersambung)

Lihat juga

Back to top button