HIDUP ITU SILMUN

Itulah sepenggal kalimat dari Cak Nun dalam acara Mocopat Syafaat bulan Oktober ini. “Hidup itu silmun.” Saya berlaku sebagai jamaah Maiyah yutubiyyah, menyimaknya dengan saksama karena saya tidak bisa  menghadirinya secara langsung, maka saya berusaha untuk mencari tahu apa makna dan konteksnya. Saya pun kemudian mencoba mencari tahu, sambil buka-buka laman, dan menemukan:

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Hai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kaffah (menyeluruh/total). Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh nyata kalian”.

Hidup itu totalitas. Boleh saja kita bertindak atau beraktivitas yang bersifat lokal atau spesifik, tetapi hendaknya kita berpikiran dan bersikap global. 

‘Think globally, act locally’ 

Sampai pada siang tadi Yai Helmi menyapa, seperti biasa, mengingatkan untuk menulis. Dan sampai kita berlanjut dengan pembicaraan ringan yang menyangkut kesibukan masing-masing, sampai-sampai mau janjian ngangkring saja belum kesampean.

Saya terus terngiang-ngiang dengan sepenggal kalimat Cak Nun di atas. Sampai pada pembahasan masalah sistem pendidikan kita yang fakultatif, bahkan yang saya tempuh sekarang ini adalah lebih sempit lagi di mana alur hierarkhi pendidikan saya yang sudah saya tempuh di tingkat perguruan tinggi adalah sangat bertingkat.

Universitas (Gadjah Mada) – Fakultas (Kedokteran) – bagian Ilmu Kesehatan Anak – divisi kanker anak dan penyakit darah – lebih kecil lagi adalah kanker darah (leukemia) – lebih spesifik lagi Myeloid Leukemia. Kalau dilihat dari alur ini, betapa manusia diarahkan kepada sesuatu yang sangat ‘sempit” namun spesisik dan mendalam. Namun dalam kehidupan sehari-hari toh kita tidak bisa menolak orang yang datang ke kita dengan keluhan batuk pilek maupun demam atau bahkan diare. Apakah terus kita tolak? 

Atau katakanlah teman-teman saya yang ahli dalam bidang jantung anak, dr. Ita misalnya, masih muda dan terampil, calon guru besar, ahli di bidang jantung anak, apakah akan tidak menerima anak dengan keluhan pusing? Keluhan lemas? Pasti akan diterima.

Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam hal mengajar kepada para mahasiswa, dalam hal srawung dengan tetangga, dengan satpam, dengan teman-teman clenaing service, dengan sahabat-sahabat perawat, dengan tukang kebun, tukang parkir atau siapapun, apakah juga kita akan membanggakan ijazah kita, mengaplikasikan ilmu andalan kita? Lha wong ada juga yang nanya ke saya, salah seorang driver teman kantor saya, dia menghampiri saya dan setengah berbisik, bertanya kepada saya: 

Pak obat ngaceng ki opo yo?” (Pak, obat ereksi apa, yah?). 

Sambil menahan senyum, saya memandang Pak Suhar (sang driver tersebut). Lha ini adalah kenyataan riil yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Amat jauh dari apa yang saya pelajari selama ini. Tapi inilah faktanya. 

Ben marahi ngaceng opo ben marahi ora ngaceng?’ (biar ereksi atau biar enggak ereksi?),” jawab saya. 

Dan kemudian berlanjut dengan obrolan-obrolan seputar kehidupan, bagaimana Pak Suhar melayani tuannya yang sudah berpuluh tahun mengabdi, bagaimana sikap dan perlaku tuannya dan bahkan sampai kejadian-kejadian konyol pun dia ceritakan, misalnya karena marah dan jengkel kepada tuannya, dia tinggalkan tuannya di daerah Wates, dan dia pulang naik bus. Lha tuannya kan nggak bisa nyetir….! 

Kami berdua ngekek dan saya bilang…“Oooo cah kenthir….!” Hidup indah, dengan guyon, canda dan tawa. Dengan siapapun!

Sampai akhirnya saya tinggalkan Pak Suhar yang berjanji mau ngelapi kendaraan saya nanti.

Saya masuk bangsal untuk menjumpai “guru-guru” saya, sahabat-sahabat saya. Beberapa guru saya memang butuh pengamatan, serta pengelolaan yang lebih spesifik.

Adalah Bayu, seorang “guru” saya yang menderita kanker tulang yang selama sakitnya tak pernah turun dari bed (karena sakitnya). 

—bersambung—

20/10/2022

Lihat juga

Back to top button