DAMAR KEDHATON MENIKMATI KEBETULAN-KEBENARAN

(Liputan Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-72 “Mikul Dhuwur Mendhem Jero”, Minggu 15 Januari 2023)

Selalu ada kebetulan-kebenaran yang terjadi dalam keberlangsungan Simpul Maiyah Damar Kedhaton (DK) Gresik. Tidak sekali dua kali ini saja terjadi. Di balik itu semua, ternyata ada kesadaran yang tertanam dalam benak jamaah secara komunal. Barangkali boleh disebut begini, bahwa Jamaah Maiyah Damar Kedhaton (JMDK) gemar memaknai semua hal yang tengah terjadi. Mulai dari tempat, waktu (masa lalu, masa sekarang, dan masa depan), peristiwa sosial, tema diskusi, penanggalan kalendar Jawa, dan masih banyak lagi lainnya.

“Saya kira dulur-dulur Maiyah sering menyambung-nyambungkan banyak hal. Seperti di tempat pelaksanaan Telulikuran saat ini,” jelas Kamituwa Damar Kedhaton yang akrab disapa Wak Syuaib saat sesi elaborasi tema.

Dalam kesempatan ini, sinau bareng rutin Majelis Ilmu Telulikuran (MIT) Damar Kedhaton Gresik edisi yang ke-72 dengan mengangkat tema “Mikul Dhuwur Mendhem Jero”. Pertanyaannya, kebetulan-kebenaran apa yang berhasil ditangkap dalam momen kebersamaan berbalut kegembiraan pada malam hari itu?

Mari simak ulasan selengkapnya.

Mulanya, sedulur JMDK menyepakati pelaksanaan MIT pada hari Minggu 15 Januari 2023 itu bertempat di Cafe Cindellaras Desa Siwalan, Kecamatan Panceng. Ini didukung dengan sudah tersebarnya woro-woro atau pemberitahuan mengenai penyelenggaraan MIT yang diunggah di berbagai akun resmi media sosial Damar Kedhaton.

Namun, tepat pada hari-H pelaksanaan, ternyata ada informasi perubahan tempat. Perubahan ini dilatarbelakangi permintaan tuan rumah pelaksanaan dari sedulur DK Gresik Utara. Cak Yusuf, pemilik Cafe Cindellaras menyampaikan bahwa, tempat melingkar digeser sedikit. Dari Cindellaras dipindahkan ke Pendopo Taman Sayun (PeTaSan), situs budaya Siwalan yang terletak di seberang jalan Taman Keluarga Siwalan (TAKESI).

Meski begitu, tidak ada penolakan yang disampaikan oleh sedulur JMDK lainnya atas perubahan tempat berlangsungnya Majelis Ilmu Telulikuran. Dengan demikian, inilah secuplik kisah kemesraan dalam Maiyahan. Cair, mencair, saling melengkapi, saling mengisi, saling terbuka untuk membuka ruang diskusi selebar-lebarnya pada setiap pengambilan keputusan.

Kembali pada kebetulan-kebenaran yang penulis kemukakan di awal paragraf. Dalam hal ini, Wak Syuaib mencoba memantik Jamaah untuk mencari relevansi atau ketersambungan antara tempat pelaksanaan Telulikuran dengan tema yang dikaji. Sedikit catatan atau sebagai pengingat, sebut saja semacam ilmu “cocokologi”. Bahwa, para sedulur JMDK Gresik kerap berangkat dari cocokologi tersebut untuk memaknai dua hal yang berseberangan.

“Bagaimana kita menjujung tinggi nilai-nilai luhur Mbah-Mbah terdahulu. Di tempat ini adalah bukti, upaya untuk menjunjung, untuk ke depan lebih jauh,” terang Wak Syuaib.

Ditambahkan, bahwa apapun di dunia ini diciptakan dengan berpasang-pasangan. Tinggi-rendah. Luas-sempit. Besar-kecil, dan seterusnya. Kemudian, Wak Syuaib mengambil dari sudut pandang dua kata yakni kemuliaan dan kehinaan untuk memotret tema kali ini.

“Siapa saja, bangsa apa saja, kalau hina di mata Allah itu seperti bangkai yang terkubur tapi tanahnya tidak mencukupi,” tambah dia.

Menyoal pemaknaan atas tema “Mikul Dhuwur Mendhem Jero”, artinya Memikul tak cukup sekedar memikul, tapi harus sampai dhuwur. Menjunjung agar ia tinggi sehingga mudah terlihat dan bisa disaksikan. Mendhem tak cuma sekedar mengubur, tapi harus sampai jero. Memendam sampai kedalaman hingga sulit untuk diulik dan ditampakkan.

Piweling itu tentu saja relevan, mengingat pelaku kehidupan adalah sama-sama manusia, yang kepadanya oleh Allah diilhamkan fujuuroha wa taqwaaha, sehingga apa-apa yang diwariskan tentu saja ada baiknya, pun ada jeleknya. Maka terhadap yang baik-baik harus dipikul sampai dhuwur, yang jelek-jelek dipendhem nganti jero.

Lihat juga

Back to top button