BERLAKSA CAHAYA DI KENDURI CINTA

(Catatan Kenduri Cinta edisi Agustus 2023)

 

Sebelum tiba waktu senja
Ku genggam tanganmu dan bertanya
Apakah bisa kau membawa
Rasa yang engkau punya selamanya

Tentang kita dan tentang cinta
Tentang janji yang kau bawa
Jika nanti saat kau sendiri
Temukanku di fatwa hatimu

Kenduri Cinta edisi Agustus kali ini dihelat pada akhir pekan, di hari Sabtu 12 Agustus 2023. Tidak pada Jumat kedua sesuai patronnya. Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang diambilnya keputusan bergesernya hari. Namun sebenarnya bukan hal yang baru di Kenduri Cinta. Meskipun patron aslinya adalah Jum’at kedua, namun sangat fleksibel untuk bergeser di hari yang lain.

”BERLAKSA CAHAYA” sebuah tema yang diangkat Kenduri Cinta pada edisi Agustus ini. Sederhana awalnya, mengutip lirik pembuka dari lagu KiaiKanjeng yang berjudul ”Berjuta Lagu Cinta”. Maiyah, jika boleh dikatakan sebagai sebuah gerakan, maka sudah berlangsung selama 3 dekade. Bila kita menghitung langkah awal dari Maiyah adalah lahirnya Padhangmbulan di Menturo, Jombang. Sebuah forum yang awalnya adalah forum keluarga, namun kemudian bertumbuh dan menjadi fenomena. Forum yang niatannya sangat sederhana, untuk menyediakan waktu bagi Mbah Nun agar setidaknya satu kali dalam sebulan pulang ke Menturo.

Lihat juga

30 tahun berlalu, embrio Padhangmbulan melahirkan Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta, Bangbang Wetan dan puluhan titik simpul Maiyah di seluruh Indonesia dan juga luar negeri. Anak cucu Maiyah tersebar di seantero negeri, dan beberapa belahan dunia. Mereka adalah murid ideologis Mbah Nun yang telah bersepakat dengan nilai-nilai Maiyah yang dibawa oleh Mbah Nun.

Pencerahan. Banyak orang memiliki motif pribadi untuk datang ke Maiyahan, agar mendapat pencerahan. Lazimnya, pencerahan hanya akan dirasakan oleh mereka yang merasakan kegelapan. Maiyah dianggap sebagai cahaya yang mencerahkan banyak orang yang bersentuhan dengannya. Maiyah menjadi tempat bagi orang untuk bersandar, menepi sejenak, ada yang juga mungkin sekadar melepas penat dari himpitan persoalan hidup, tapi tak sedikit juga yang memiliki tujuan untuk menata hati dan menjernihkan fikiran.

Ba’da Isya’, forum Kenduri Cinta dimulai dengan nderes Ar-Rahman dan pembacaan beberapa munajat Maiyah. Salah satu hajat yang dipanjatkan malam itu tentu saja untuk kesehatan Mbah Nun, guru kita semua, beserta keluarga. Mbah Nun yang saat ini sedang mengambil haknya untuk berkumpul bersama keluarga. Mbah Nun yang puluhan tahun telah menyediakan dirinya untuk masyarakat, untuk sementara ini sedang mengambil haknya untuk berkumpul dengan istri dan anak-anak. 

Setelah nderes dan munajat, forum dilanjutkan dengan diskusi mbeber alas, mukadimah tema ”BERLAKSA CAHAYA”. Penggiat Kenduri Cinta satu-persatu merespons judul kali ini. Tentu saja, kata ”Cahaya” menjadi kata yang diulas dari berbagai sudut pandang. Ada yang mengambil sudut pandang fisika, ada yang mengulas dari cara pandang spiritual, filsafat, hingga sosial dan budaya.

Begitulah asyiknya diskusi di Kenduri Cinta. Sebagai sebuah forum dengan seribu podium, mampu menjadi arena bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapatnya. Sesuatu hal yang nyaris langka saat ini. Di tengah arus perkembangan teknologi, ketika manusia memilih media sosial sebagai panggung publiknya di dunia maya, forum-forum Maiyahan seperti Kenduri Cinta mampu untuk terus eksis menjadi media forum rakyat yang terbuka.

Kenduri Cinta edisi Agustus kali ini terasa istimewa. Letto dengan personal lengkap berksempatan hadir di Kenduri Cinta. Dalam catatan arsip Kenduri Cinta, terakhir kali Letto hadir di Kenduri Cinta secara full band adalah di tahun 2016, saat ulang tahun Kenduri Cinta ke-16. Februari lalu, Letto sempat hadir di Kenduri Cinta, namun tidak tampil secara lengkap personelnya. Kali ini, Letto hadir dengan konsep akustik.

Saat naik ke panggung, Letto menyapa jamaah Maiyah Kenduri Cinta dengan 2 nomor; Permintaan Hati dan Fatwa Hati. Dibawakan sangat apik dengan aransemen akustik. Nomor “Permintaan Hati” bahkan dibawakan dengan aransemen yang sangat berbeda dari biasanya. Sebuah lagu andalan yang biasa dibawakan dengan alunan nada menghentak, malam itu dibawakan dalam nuansa yang lebih soft  di awal, baru kemudian menghentak di tengah-tengah lagu.

“Ada yang tidak bisa dibayar dengan uang, yaitu kemesraan yang tulus dari kesungguhan dan kebersaman kita malam ini”, Mas Sabrang menyapa jamaah Kenduri Cinta sebelum membawakan 2 nomor pertama. Turn over kehadiran jamaah di Kenduri Cinta dan juga forum Maiyahan lainnya juga menjadi perhatian tersendiri bagi Mas Sabrang. Mayoritas yang hadir di Maiyahan saat ini adalah generasi-generasi muda, yang kemudian kita sering menyebutnya sebagai bonus demografi. Generasi yang secara usia lebih muda, secara pemikiran lebih segar, dan yang sangat terbiasa dengan perkembangan-perkembangan terkini.

Setelah 2 nomor lagu dibawakan, Fahmi Agustian mengajak Mas Ali Hasbullah, Habib Anis dan Rony K. Pratama untuk bergabung ke panggung Kenduri Cinta. Fahmi memberi lambaran mengenai tema “Berlaksa Cahaya”, yang kemudian sedikit mundur ke belakang dari tonggak awal perjalanan Maiyah, Fahmi mengambil satu episode perjalanan Mbah Nun; “Lautan Jilbab” yang juga merupakan fenomena tersendiri di akhri 80-an. Hadirnya Ronny malam itu tentu juga dalam rangka untuk semakin memperkuat khasanah ilmu Maiyah. Rony sendiri beberapa tahun yang lalu cukup aktif menulis rubrik Akademika di caknun.com dan beberapa diantaranya mengulas mengenai fenomena “Lautan Jilbab”. 

Yang menarik adalah bahwa “Lautan Jilbab” dipotret sebagai salah satu gerakan politik identitas. Sebuah istilah yang dalam beberapa tahun terakhir justru terkesan sebagai istilah yang memiliki konotasi negatif. Sepertinya ada narasi yang salah yang digunakan untuk mengangkat kembali istilah politik identitas itu.

Pada tulisannya yang berjudul Lautan Jilbab dan Politik Identitas, Rony mengulas riset yang dilakukan oleh Barbara Hatley menyoroti kemunculan “Lautan Jilbab” sebagai format teaterikal untuk medium pertunjukan dalam rangka mengangkat nilai-nilai Islam. Dalam penelitiannya, Barbara menulis bahwa sebenarnya kemunculan Teater Muslim di Yogyakarta sudah ada sejak tahun 60-an, hanya saja saat itu lebih diproyeksikan sebagai bentuk perlawanan terhadap komunitas teater yang berhaluan kiri. Sementara “Lautan Jilbab” yang dipentaskan oleh Mbah Nun bersama Sanggar Salahuddin saat itu hadir di akhir 80-an bukan dengan alasan itu. Namun benar-benar sebagai bentuk perlawanan rakyat kepada penguasa yang sangat otoriter saat itu.

Lebih jauh Rony menyampaikan bahwa Mbah Nun adalah manusia yang memiliki kemampuan interdisipliner. Karya-karya Mbah Nun tidak semata-mata berfokus pada satu bidang keilmuan saja. Rony mengamati di Google Scholar, ada cukup banyak hasil karya riset dari kaum intelektual yang meneliti tentang kiprah Mbah Nun. Dan tidak terfokus pada karya sastra saja, namun juga meliputi banyak sudut pandang. Termasuk gerakan sosial yang salah satunya direpresentasikan melalui ”Lautan Jilbab”. Bahkan bukan hanya gerakan sosial semata, tetapi juga sebagai gerakan politik identitas.

”Ada kesadaran budaya dan kesadaran kritis dalam Lautan Jilbab”, ungkap Rony. Hal ini sangat berbeda dengan istilah politik identitas saat ini. Di lain pihak, jika kita melihat peristiwa di tahun 80-an itu, yang terjadi adalah pelarangan perempuan muslim untuk mengenakan jilbab. Sementara beberapa tahun terakhir ada fakta lain di lapangan yang terjadi, bukan melarang perempuan muslim mengenakan jilbab di sekolah, namun justru sebaliknya, yang terjadi sekarang adalah memaksa perempuan muslim untuk berjilbab. 

Fahmi menambahkan bahwa yang diperjuangkan oleh Mbah Nun melalui ”Lautan Jilbab” bukan semata-mata mengenai jilbab itu sendiri. Melainkan, Mbah Nun memperjuangkan kemerdekaan setiap manusia untuk memilih sesuatu yang memang ingin ia kenakan.

Ali Hasbullah juga turut menambahkan mengenai apa yang dilakukan oleh Mbah Nun selama ini. Dalam sudut pandangnya, Ali berpendapat bahwa setidaknya Mbah Nun memiliki 2 hal utama yang menjadi core value beliau; Pertama, Mbah Nun sangat menguasai situasi forum saat hadir di sebuah majelis. Kedua, Mbah Nun itu melakukan apa yang beliau katakan di forum. 2 hal ini menjadi titik berat mengapa Maiyah mampu bertahan sampai hari ini. Ada nilai sitiqomah dalam perjalanan Maiyah ini.

Hal lain yang disoroti oleh Ali Hasbullah adalah produktifitas Mbah Nun dalam menulis. Banyak hal yang ditulis oleh Mbah Nun, sejak beliau masih muda, dan tulisan-tulisan itu masih relevan sampai hari ini. ”Sementara kita hari ini lebih sering mengoleksi quote-quote di media sosial, yang belum tentu kita melakukannya”, tandas Ali.

Habib Anis juga mengamini apa yang disampaikan oleh Ali Hasbullah ini. Ada satu tulisan Mbah Nun yang berjudul Hutang-Hutang Kebudayaan. Sebuah tulisan ilmiah yang ditulis oleh Mbah Nun di tahun 1978, dan dipublikasikan di Majalah Pustaka, Perpustakaan Masjid Salman ITB. Sebuah tulisan yang mendapat apresiasi dari tokoh-tokoh senior saat itu, seperti Pak Umar Kayam salah satunya.

Bagi Habib Anis, Mbah Nun adalah manusia yang memiliki sebuah privilege yang diberi oleh Allah, sebuah kelebihan dalam diri Mbah Nun yang mampu menyambungkan resonansi dari berbagai generasi. 

Mas Sabrang kemudian menambah khasanah ilmu yang dibahas malam itu. ”Simbah itu selalu mengajarkan kita untuk menunjuk diri kita terlebih dahulu, bukan menunjuk orang lain”, ungkap Mas Sabrang. Ketika arus zaman membiasakan orang untuk menunjuk orang lain, Mbah Nun justru sebaliknya. Misalnya, dalam satu edisi Maiyahan, saat ada pembahasan mengenai muslim-kafir, Mbah Nun mengajak kita untuk berani mengatakan bahwa yang kafir adalah diri kita sendiri, bukan orang lain yang kita tuduh tanpa alasan yang mendasar.

Tentu saja ini bukan dalam rangka mengajak kita untuk kemudian mengumumkan di depan umum bahwa diri kita adalah kafir. Bukan itu. Tetapi, yang ditumbuhkan oleh Mbah Nun adalah kesadaran bahwa seharusnya yang harus diwaspadai adalah diri kita sendiri. Jangan-jangan justru kita ini adalah pihak yang salah, bukan pihak yang benar. Yang kita alami hari ini adalah, banyak orang merasa bahwa dirinya paling benar, kemudian memaksakan kebenaran yang kita yakini kepada orang lain.

Ditambahkan oleh Mas Sabrang bahwa di dalam Al-Qur`an ada surat Al-Furqon yang salah satu kandungannya adalah membincangkan panduan untuk kita berbicara mengenai benar dan salah berdasarkan kriteria Islam.

Mas Sabrang menganalogikan dengan buah mangga yang dikupas menggunakan gergaji dan pisau. Cara mengupasnya berbeda, tetapi sama sekali tidak menghilangkan hakikat sebuah mangga. Bahkan, jika dikupas langsung dengan gigi kita sekalipun, ia tetaplah mangga. Ia tidak berubah menjadi pisang, jeruk atau apel. Ia tetap mangga. Menggunakan gergaji atau pisau, mana yang lebih benar menjelaskan tentang mangga? Itu hanya cara yang berbeda untuk mengupas kebenaran mangga itu sendiri. ”Dunia itu butuh difahami dengan pisau analisa tertentu”, lanjut Mas Sabrang.

Sains, tidak mungkin lengkap menangkap dunia. Itu adalah sebuah konsekuensi yang harus kita fahami bersama. Karena salah satu syarat dari narasi sains adalah bahwa teorinya harus bisa disalahkan. ”Jangan rancu antara kebenaran dengan konstruksi dari narasi ilmu. Jadi semua yang kita dengar dari keilmuan itu tidak ada satupun ngomong tentang kebenaran. Semua hanya ngomong mengenai narasi kebenaran dari potret tertentu, dan itu tetap berharga. Karena manusia jika menemukan narasi yang bermacam-macam, maka ia juga akan menemukan kebenaran dari sesuatu hal yang sedang diamati”, Mas Sabrang menjelaskan.

Sementara hari ini, antara sains dana gama selalu dipertentangkan. Seperti sebuah pertanyaan yang muncul; ”Coba buktikan adanya Tuhan secara sains?”. Bagi Mas Sabrang pertanyaan itu adalah pertanyaan yang goblok. Karena hipotesis mengenai Tuhan tidak pernah dibuktikan oleh sains. Lantas kenapa sains harus membuktikan keberadaan Tuhan?

“Al-Qur`an mengantisipasi kemungkinan otak manusia untuk mencapai kebenaran”, Mas Sabrang melanjutkan. Dalam surat Al-Isra’ ayat 36 Allah menegaskan; Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Maka tugas manusia adalah mencari tahu detail mengenai sesuatu yang tidak ia ketahui itu. Ada fungsi otak untuk meneliti, sehingga kebenaran yang dicari akan ditemukan. Kebenaran itu sangat mungkin akan bertumbuh dan bisa juga kebenaran hari ini akan digantikan oleh kebenaran di kemudian hari. Maka menurut Mas Sabrang, nomor satu yang harus diawasi adalah kebodohan diri kita sendiri.

Diskusi yang semakin hangat, dengan bahasan semakin berat memerlukan jeda sejenak. Letto kemudian membawakan 2 nomor lain; Ruang Rindu dan Layang-Layang.

Banyak sekali ilmu yang berpendar di Kenduri Cinta edisi Agustus ini. Tentu akan sangat melelahkan untuk dibaca jika ditulis dalam satu edisi. Reportase ini masih akan berlanjut pada edisi berikutnya.

(Redaksi Kenduri Cinta)

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button