BERGURU PADA LAPAR

Sabtu malam (16/3/2024) kami, Paseduluran Maiyah Pasuruan, melingkar bersama bertempat di House of Kitchen, Pandaan. Suasana hangat menyertai kedatangan setiap jamaah yang hadir. Tak lama kemudian, maiyahan dimulai bersamaan dengan turunnya hujan. Maiyah berselimut hujan, selalu syahdu, mengenangkan setahun lalu ketika maiyahan bertema Ngaima Do Dera, di Lumajang. Perjumpaan dengan Simbah berlampar hujan sepanjang malam dengan suasana yang akan selalu tertanam dalam hati diiringi Al-Atlal dari grup Padhang Howo.

Tema maiyahan Berguru Pada Lapar mengikat diskusi dan obrolan malam kami setelah lantunan Tawashshulan rampung dibaca bersama-sama. Masih relevan dengan kajian saat bulan Ramadhan,  obrolan bedah tema mengingatkan kembali tentang kewajiban berpuasa bagi orang-orang yang beriman seperti orang-orang yang terdahulu.

Disampaikan oleh Gus Ishom bahwa ide poster kali ini tidak bersepakat dengan teknologi AI, hendak mengusung ide kemuliaan orang berpuasa. Sebagaimana orang yang mampu belajar dari rasa lapar akan mencapai kemuliaan, akan lebih tinggi dari yang lain. Seperti lazim kita ketahui bahwa pencapaian terhadap titik tertentu ada “poso”-nya.

Ditambahkan oleh Mas Zuhri bahwa dalam khasanah jawa bahwa puasa itu sinkretisasi makna lapar -luweh- dan “poso” yang biasa disebut nopo-nopo kerso. Makna sejatinya bahwa berpuasa adalah “manembah” ke dalam sehingga semua dimatikan, nafsu yang dikendalikan.

Kita masih ingat waktu kecil ketika anjuran makan 3x diaplikasikan bapak ibu disertai teriakan mengingatkan untuk makan. Cerita dibagikan Mas Saiful tentang masa kecil yang tertuntut makan 3x sehari. Namun, ketika kita bisa menahan dan memaknai makanan, makan sekali sehari bisa cukup untuk tenaga aktivitas seharian. Saat-saat lapar bisa membuka kreativitas. Menunda sarapan pun bisa memberikan sensasi lebih enak untuk tubuh.

“Lapar itu kerja hormon,” begitu sahut Mas Ari. Dihasilkan sebuah penelitian bahwa situasi lapar muncul karena dopamin. Dopamin, zat yang juga muncul ketika kita mengakses sosial media. Uniknya, dopamin pencetus lapar bisa dialihkan dengan aktivitas lain. Merelasikan pada konteks yang lebih luas, lapar-lapar ini mewujud pada banyak hal, tidak hanya soal isi perut, ada lapar ilmu, lapar kuasa, lapar harta. Kesemuanya kembali lagi, kendalinya ada pada pilihan setiap manusia, hendak menjadi penguasa dirinya atau dikuasai oleh laparnya.

Mas Ubed segera saja mengutipkan satu kalimat lagu Padang Bulan yang dinyanyikan Franki Sahilatua, yang diciptakan oleh Mbah Nun, “Pada laparmu, cinta Tuhan akan merekah.” Kewajiban berpuasa ini mengulangi kebiasaan orang-orang sebelum kita. Orang-orang Quraisy dulu juga berpuasa. Hewan juga berpuasa, tidak serta merta ada makanan dan dilahap terus. Berbeda dengan manusia yang bisa saja melahap setiap makanan tersuguh kecuali dia bisa memutuskan untuk berhenti makan. Kewajiban puasa menyebutkan kata “wahai orang-orang yang beriman” menegaskan bahwa gerbang keimanan perlu dilampaui dengan berpuasa. 

Puasa bermakna menahan diri, sebagaimana Allah senantiasa berpuasa. Dia Yang Mahakuasa berpuasa terhadap makhluk-Nya bernama manusia yang sebagiannya menggemaskan, menjengkelkan, dengan hobinya berbuat onar dan kerusakan. Jangan dibayangkan jika Allah berbuka, dunia berada di antara kata modyar dan ambyar.

Puasa bisa dimaknai dengan tiga tingkatan sebagaimana pernah disampaikan oleh Suech Kamba. Tingkatan pertama adalah menahan dari rasa lapar dan haus, tingkat kedua menahan dari emosi/nafsu, dan tingkat palinf tinggi adalah harapan keridhaan Allah SWT, tidak sombong karena puasanya.

Diskusi masih serius, Cak Jufri menyebutkan bahwa teman-teman beragama lain juga berpuasa, seperti teman-teman Katolik juga Yahudi. Ada mekanisme reset jasmani ketika kita berpuasa atas semua yang masuk pada diri kita.

Sangat disayangkan ketika momen Ramadan dilihat dari menahan makan saja, namun realitasnya tingkat konsumsi naik drastis. Puasa seharusnya bisa dimaknai lebih dari arus mainstream.

Meliuk pada sisi kesehatan, Mas Ari menyebutkan bahwa ketika kita tidak makan, ternyata dalam tubuh kita makan, proses autophagy. Terjadi optimalisasi energi ketika orang berpuasa. Ditambahkan oleh Mas Wira bahwa ketika Aktivitas sedikit, makan banyak maka potensi muncul penyakit lebih besar.

Putusan terbaik adalah makan saat butuh, makanlah saat lapar, berhenti sebelum kenyang sebagaimana wejangan Kanjeng Nabi. Substansi tema semakin menguat. Pemaknaan Berguru Pada Lapar bahwa kalau ingin hidup harus miliki pengendalian. Puasa menjadi pilihan bagi manusia sehingga diperlukan niat mengawalinya. Puasa juga sebagai penghormatan bagi ruh, karena sifat ruh tidak pernah rakus. (Redaksi Maiyah Sedulur Pasuruan/Marhamah)

Lihat juga

Back to top button